KIAN memburuknya polusi udara di Jakarta sebetulnya bukan Bukan Terdapat solusi. Jalan keluar Niscaya Terdapat, tetapi yang selalu menjadi persoalan ialah political will pemerintah yang kerap absen. Kalaupun Terdapat political will, datangnya Nyaris selalu terlambat dan eksekusinya pun tak mencerminkan keseriusan.
Viralnya Jakarta sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia sebetulnya sudah sejak Mei 2023 Lampau. Ketika itu, udara Jakarta yang mencapai level Bukan menyehatkan sudah ramai diberitakan dan dibincangkan. Dari pertengahan Mei Tiba Juni, indeks kualitas udara (AQI) Jakarta tak pernah kurang dari Nomor 150. Nomor itu tergolong tinggi dan masuk kategori Bukan sehat.
Bahkan, kalau kita mau jujur, sesungguhnya sudah sejak lelet Jakarta punya kualitas udara yang jelek. Bertahun-tahun Anggota Ibu Kota mesti hidup terkurung Serempak udara yang tak menyehatkan. Belakangan, ketika udara yang Bukan baik itu semakin memburuk, pemberitaan dan perbincangan soal polusi Jakarta kembali menggema. Jakarta disebut kian kritis karena pada akhir pekan Lampau, indeks kualitas udara di Ibu Kota tercatat mencapai 156.
Hari-hari ini mungkin memang semakin parah. Akan tetapi, sebetulnya persoalan polusi udara di Jakarta ini adalah persoalan yang sudah menahun. Aneh rasanya bila pemerintah seolah Tetap menganggap buruknya kualitas udara adalah masalah yang sporadis, masalah yang kadang muncul kadang menghilang. Padahal, kekotoran udara Jakarta hari ini merupakan rangkaian atau akumulasi dari polusi yang terjadi selama bertahun-tahun.
Ketika pemerintah Menyantap itu sebagai persoalan yang on-off, maka perhatian, juga solusi kebijakan yang diambil pun akan sporadis dan reaktif, terkesan sekadar Ingin mengurangi Nomor indeks secara harian atau bulanan. Kalau hari ini Nomor AQI tinggi, panik. Lampau dibikin regulasi agar udara Jakarta menjadi Bersih. Lantas, kalau esok harinya membaik, langsung puas dan lupa dengan program-program terdahulu.
Kelihatan bahwa pemerintah Bukan hanya Bukan serius, tapi juga Bukan siap menyelesaikan masalah polusi udara itu secara holistik. Kebijakannya parsial dan sektoral. Sepotong-potong. Persoalan Terdapat di hulu dan hilir, tapi kebanyakan yang tersentuh solusi hanyalah masalah di hilir. Penyelesaian masalah di hulu tergagap-gagap.
Dalam rapat kabinet terbatas di Istana Negara kemarin, yang digelar Tertentu Kepada membahas polusi udara di Jakarta dan kota-kota sekitarnya, dapat kita lihat Teladan betapa sepotong-potongnya penyelesaian polusi Jakarta ini. Dari usulan-usulan solusi yang disampaikan para menteri dan Pj Gubernur DKI Jakarta, sebagian besar ialah tawaran solusi Kepada mengatasi problem di hilir.
Misalnya, tentang usulan diberlakukannya sistem kerja hybrid, yakni antara kerja dari rumah dan kerja di kantor. Tujuannya Kepada mengurangi mobilitas dan aktivitas masyarakat menggunakan transportasi selama pergi dan pulang bekerja. Kita Paham transportasi selama ini memang dituding sebagai biang kerok polusi udara di Ibu Kota dan sekitarnya.
Efektifkah itu? Sangat mungkin Bukan karena persoalan di hulunya, yakni pengembangan transportasi massal yang Cakap Tiba ke Distrik-Distrik satelit Jakarta tak pernah secepat penambahan jumlah kendaraan bermotor pribadi. Pemerintah juga tak pernah kuasa membatasi jumlah kendaraan bermotor karena pajak yang Bisa didapat dari sektor tersebut cukup besar.
Begitu pula dengan usulan Kepada lebih banyak mengonversi mobil konvensional ke mobil listrik. Bukankah listrik yang digunakan sebagai tenaga itu sebagian besar juga berasal dari pembangkit bertenaga uap yang merupakan sumber polusi? Ketika ini, Jakarta dikelilingi delapan PLTU yang ditengarai juga menyumbang kotornya udara Ibu Kota. Kenapa Malah kebijakan pemerintah Bukan menyentuh ke sana?
Sudah saatnya Segala pihak harus Mempunyai paradigma sama bahwa udara kotor yang berpotensi mematikan itu sebagai sebuah petaka, sebuah bencana. Penyelesaiannya Bukan Bisa Kembali sepotong-potong dan parsial. Seluruh daya dan upaya mesti dikerahkan secara holistik demi udara Jakarta yang lebih Bagus, lebih Bersih.