Politikus Muda Ujug-Ujug

KATA banyak orang, Pemilu 2024 milik anak muda. Selain semakin banyak yang menjadi kontestan dalam kontestasi, anak muda mendominasi  kuantitas pemilih. Mereka ialah kekuatan yang menentukan.

Anak muda begitu dominan tecermin pada daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 yang telah diumumkan KPU yang berisi 204.807.222 orang. Mayoritas dari kelompok generasi Z dan milenial.

Generasi milenial ialah sebutan untuk orang yang lahir pada 1980 hingga 1994. Jumlah pemilih dari generasi itu 66.822.389, atau 33,60%. Generasi Z merujuk pada orang yang lahir pada 1995 sampai 2000-an. Pemilih dari kelompok itu 46.800.161, atau 22,85% dari total DPT.

Apabila diakumulasikan, pemilih dari generasi milenial dan generasi Z lebih dari 113 juta orang, atau mencakup 56,45% dari keseluruhan pemilih.

Itu soal pemilih. Pemeran dari anak muda juga banyak. Demi bakal calon penghuni Senayan yang ditetapkan KPU, misalnya. Meski masih didominasi umur di atas 40 tahun yang mencapai 6.661 orang, atau 67% dari total 9.925 caleg sementara, usia 21-30 tahun cukup banyak. Jumlahnya 1.507 orang. Sementara itu, bakal caleg berusia 31-40 tahun sebanyak 1.757.

Cek Artikel:  Rakyat bukan Pemenang Pemilu

Anak-anak muda mewarnai pula persaingan rumpun eksekutif. Bukan sedikit yang telah memenangi pilkada dan kiranya akan semakin banyak yang tampil di pilkada tahun depan. Anak muda bahkan sedang diperjuangkan untuk bisa menduduki kursi orang nomor dua di Republik ini. Ketentuan soal batas minimal usia cawapres diuji materi dari 40 tahun menjadi 35 tahun.

Kata para bijak, anak muda ialah agen perubahan. Mereka pemilik masa depan untuk menggantikan pengampu masa lalu, yang dewasa, yang tua-tua. Karena itu, patut kiranya kita berharap agar anak-anak muda tak lagi sekadar menjadi penonton dalam kompetisi penentuan arah negeri. Jadi, kalau anak muda kian tertarik politik, bolehlah kita sambut baik.

Tetapi, yang dibutuhkan bangsa ini bukan anak muda yang asal muda. Yang kita perlukan ialah anak-anak muda yang memang punya kapasitas, bukan besar karena fasilitas. Yang kita harap ialah anak muda yang benar-benar hebat, bukan besar karena kerabat.

Itulah persoalannya. Sulit untuk dimungkiri, banyak politikus muda ujug-ujug, makbedunduk. Karier politik mereka melesat cepat karena orangtua atau mertua mereka seorang pejabat. Mereka menjadi caleg, mendapat nomor urut bagus dari daerah pemilihan lumbung suara pula, karena orangtua, mertua, encang, teteh, pakde, bude, om, tante mereka petinggi partai. Menguatnya dinasti politik, itulah yang tengah menjadi sorotan dalam daftar caleg kali ini.

Cek Artikel:  Solusi yang Menyengsarakan

Salahkah? Bukan. Patutkah? Bukan juga. Tetapi, bukankah kepatutan, fatsun, etika, atau apalah namanya dalam politik kita memang bukan sesuatu yang penting?

Fenomena politikus muda tak hanya terjadi di Indonesia. Di mancanegara, hal serupa juga menggejala. Bedanya, pemimpin muda di luar negeri umumnya besar karena kehebatan diri sendiri. Bukan lantaran nama besar orangtua atau mertua, bukan karena berdarah biru.

Kita ingat Emmanuel Macron dari Prancis, Justin Trudeau (Kanada), Sebastian Kurz (Austria), atau Sophie Wilmes (Belgia). Terakhir ada Sanna Marin yang menjadi pemimpin Finlandia pada 2019 dalam usia 34 tahun sekaligus menjadi perdana menteri termuda di dunia.

Marin kiranya mewakili politikus atau pemimpin muda yang ideal. Dia orang biasa, tidak kaya, juga bukan trah penguasa. Orangtuanya berpisah sejak dia masih kecil. Dia tinggal di apartemen sewaan dan sempat bekerja di toko roti ketika berusia 15 tahun. Setelah lulus kuliah, dia menjadi kasir hingga sempat diejek sebagai ‘gadis pelayan toko’.

Cek Artikel:  Apalah Maksud Sebuah Bilangan

Marin mengawali karier politik pada usia 27 tahun dengan menjadi wali kota di kota asalnya, Tampere. Pada 2015, dia bergabung dengan parlemen hingga akhirnya menjadi perdana menteri setelah ditunjuk partainya, Partai Sosial Demokrat, menggantikan PM Rinne yang mundur karena mosi tidak percaya.

Marin telah membuktikan kepada dunia bahwa orang muda dari kalangan biasa juga bisa menjadi pemimpin. “Secara global citra seorang pemimpin masih sangat maskulin dan hanya sedikit pengambil keputusan dari generasi muda,” ungkapnya suatu saat.

Terlalu naif kiranya kalau saya menyebut semua politikus muda di Republik ini matang karbitan, eksis karena kekerabatan. Eksis pula yang matang pohon, merangkak dari bawah, ditempa tantangan dan pengalaman. Politikus muda seperti itulah yang dibutuhkan jika ingin Pemilu 2014 betul-betul menjadi milik anak muda. Sama dengan orasi Bung Karno dulu yang menginginkan pemuda yang benar-benar mampu mengguncang dunia.

Mungkin Anda Menyukai