Politikus Animasiis

Politikus Kartunis
Ilustrasi MI(MI/Seno)

KARTUN ialah objek belajar yang menunjukkan kreativitas seseorang dalam menggambarkan realitas kehidupan secara tidak nyata. Sebagai bagian dari jenis seni rupa, kartun dibuat para kartunis untuk menunjukkan daya imajinasi seseorang untuk menakar dan mengekspresikan rasa kesal, bahagia, marah, bahkan hingga panik.

Karena itu, para kartunis memang sangat pandai dan elegan dalam membuat tafsir visual atas sebuah kejadian yang tidak nyata menjadi seakan-akan realistis. Pengaruh dari gaya belajar kartunis itu kemungkinan hanya ada dua: menginspirasi atau mengganggu kestabilan emosi orang lain yang melihatnya.

Problem dasar dari masyarakat kita ialah seringnya mereka terjebak dan dijebak para politikus kartunis yang memberikan kepalsuan ungkapan seakan-akan janji mereka realistis, padahal sebenarnya tidak sama sekali. Itulah yang terjadi pada dunia politik kita saat ini.

 

DISC test

Baru dalam Pemilu 2024 ini kartun dijadikan sebagai alat kampanye. Sosok calon yang seharusnya memperkenalkan diri seperti apa adanya akhirnya menjadi sejajar dengan alam unrealistic. Tetapi, apa boleh buat masyarakat kita sedang senang-senangnya dengan imajinasi kartunis dari para politikus yang menjadikan kartun sebagai tabula rasa kehendak kekuasaan yang ingin menghapus jejak keburukan calon.

Karena itu, menjadi terpikir sekarang mengapa para calon tidak kita wajibkan mengikuti tes DISC (dominance, influence, steadiness, conscientiousness) untuk melihat dan memahami tipe-tipe perilaku dan gaya kepribadian seorang calon sehingga masyarakat menjadi yakin tentang kondisi psikologis calon untuk memimpin negara sebesar ini.

Meskipun dalam penerapannya, tes DISC itu banyak digunakan di dunia bisnis dan usaha, tetapi sebagai sebuah tool, tes tersebut dapat membuka wawasan dan pemikiran, baik secara profesional maupun secara personal. Sebagai sebuah tes kepribadian, DISC ditemukan oleh Dr William Moulton Marston pada 1928 melalui bukunya yang berjudul The Emotions of Kebiasaanl People.

Perlu diketahui bahwa pada era awal abad 19 ilmu psikologi memang hanya membahas seputar perilaku-perilaku menyimpang atau gangguan kepribadian. Tetapi, posisi tes DISC itu terus dikembangkan oleh para ahli sehingga versi terbarunya disebut sebagai DISC test v 0.2.

Penggunaan tes itu saya kira penting untuk melihat perilaku para politikus kita yang secara psikologis belum pernah diuji secara publik. Masyarakat hanya diinfokan tentang seorang kandidat dari gencarnya survei elektoral bagi setiap calon, tetapi abai dalam melihat kejernihan emosi dan ketajaman intuisi terhadap segala aspek kebutuhan masyarakat. Akhirnya, yang mengemuka ialah saling serang secara fisik, minim argumen dan gagasan, serta yang paling kentara ialah menunjukkan sikap paling benar sendiri, kasar, dan pihak lawan sebagai seseorang yang salah dan patut dipersalahkan.

Cek Artikel:  World Water Perhimpunan ke-10 dan KTT Air 2024 Krisis Air dan Urgensi Pengelolaan Air Demi MasaDepanPeradaban

Itulah ciri utama politikus kartunis yang selalu terjebak dalam kemampuan berpikir yang tidak realistis alias takut menggunakan data. Karena itu, tawaran-tawaran politiknya juga menjadi kurang realistis, bahkan ada yang tidak realistis sama sekali.

Dapat dilihat bagaimana para calon pemimpin kita saat ini yang masih bersifat kekanak-kanakan dan memiliki perilaku kartun (cartoon behavior). Mungkin karena masa kecilnya kurang bahagia, istilah-istilah yang mengemuka dalam usaha meraih popularitas pun menggunakan istilah Konoha, omon-omon, gemoy, dan masih banyak lagi.

Itu jelas menunjukkan bahwa daya imajinasi seorang calon pemimpin belum diuji secara psikologis sehingga masyarakat menjadi tahu mana pemimpin yang memiliki orientasi dominasi berlebih, tak memiliki etika ketika berbicara, senang bekerja sendiri, dan atau tidak sabaran alias pemarah.

Dengan tes DISC, bisa diketahui bagaimana sosok calon pemimpin yang sangat dibutuhkan bangsa ini. Mungkin sangat sah jika dikatakan bahwa perilaku kepemimpinan bangsa ini merupakan produk dari sistem pendidikan kita yang kering hati nurani dan keluar dari common platform moral yang menjadi asas kepercayaan masyarakat Indonesia: masyarakat yang beradab dan taat beragama.

 

Politikus bahagia

Salah satu ciri modern dari politikus kartunis ialah selalu bahagia. Masyarakat sudah muak karena dalam 25 tahun pascareformasi ternyata kita lebih banyak menghasilkan politikus kartunis: senang membuat janji manis berdasarkan imajinasi yang tidak realistis sehingga ketika terpilih dan berinteraksi dengan masyarakat menjadi pribadi yang abai dan kurang bertanggung jawab.

Mengapa begitu? Karena jika kita masukkan janji dalam katagori utang (al-wa’du dainun), para politikus, termasuk presiden yang sudah terpilih, bukan hanya secara teologis telah melakukan ikatan batin jual-beli dengan Tuhan secara pribadi, tetapi juga ikatan jual-beli dengan seluruh pemilih.

Kegagalan dalam memenuhi janji akan berakibat fatal, bukan saja terhadap diri pribadi politikus dan presiden, melainkan juga terhadap institusi dan lembaga-lembaga penopang demokrasi. Absurditas lembaga penopang demokrasi kita bahkan saat ini ada pada titik nadir yang mana tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik, DPR, kepolisian, kejaksaan, hingga Mahkamah Konstitusi sangat rendah.

Dengan kondisi kehidupan politik seperti hari ini, mengapa para politikus kita tetap saja berbahagia? Meskipun indeks demokrasi kita menurun tajam, bisa dipastikan para politikus kita tetap bahagia. Salah satu alasan yang mungkin pas ialah bahwa para politikus kartunis kita jangan-jangan sering ingkar janji, pura-pura tidak tahu dan tak mau tahu penderitaan yang dialami rakyat. Maka itu, jawaban yang muncul di tengah masyarakat kita ialah statement bahwa ketidaktahuan merupakan sebuah kebahagian (ignorance is bliss).

Cek Artikel:  Suka Duka Seorang Humas: Wajib Kerja Ikhlas, Cerdas, Berintegritas, Hadapi Masalah Tanpa Cemas

Jangan-jangan selama ini kita tidak melakukan proses demokrasi melalui serangkaian pendidikan politik yang apik, tetapi lebih memilih mengurusi aspek politic-tainment. Yang penting bagaimana membuat rakyat bahagia setiap 5 tahun sekali melalui serangkaian kegiatan tebar pesona dan tebar rupiah melalui bantuan sosial dan sebagainya agar rakyat bisa terus bisa dibodoh-bodohi. Jadi, biarkanlah rakyat dibuai oleh aktvitas saling hina tiada henti melalui melalui media sosial sehingga rakyat akan cepat mengambil kesimpulan bahwa orang bodoh di Indonesia tetap bisa hidup karena biasanya mereka selalu dikelilingi nasib baik.

Kecurigaan lain juga bisa muncul dari gejala lain mengapa rakyat kita juga sebahagia para politikus karena mereka bisa saling mengolok-olok kekurangan satu sama lain. Secara psikologis, jelas sekali ada paradoks yang besar antara catatan menurunnya indeks demokrasi yang rendah dengan rasa bahagia ini. Kebiasaanlnya seseorang akan merasa bahagia jika memperoleh kesuksesan karena bekerja keras dan belajar secara bersungguh-sungguh. Tetapi, untuk politikus di Indonesia, mungkin karena bangunan demokrasinya tidak dilandasi kecerdasan yang cukup, kata kerja keras dan belajar keras menjadi kehilangan konteksnya.

Mungkin inilah yang juga bisa menjelaskan alasan psikologis bahwa kebahagiaan memang tidak bermula dari hal-hal yang bersifat materialistis seperti kekuasaan dan sebagainya.

Menurut Sonja Lyubomirsky, Profesor jurusan psikologi di University of California yang menulis buku Myth of Happiness, menyimpulkan ternyata rasa bahagia tidak berhubungan dengan kekuasaan dan kekayaan materi, tetapi hubungan antarsesama, yaitu melalui persahabatan, bersama pasangan, dan keluarga. Mungkinkah persahabatan yang serbasaling membantu dalam pengertian yang negatif seperti perilaku politik uang menjadi penyebab tumbuhnya kebahagiaan setiap orang?

Menjadi terang benderang sekarang bahwa ketidaktahuan benar-benar akan membawa manusia Indonesia kepada kebahagian abadi. Para politikus kartunis bukanlah seorang pembelajar yang baik. Mereka tak perlu memikirkan mekanisme politik melalui sistem demokrasi bekerja menurut keinginan mereka, tak perlu memiliki determinasi untuk membuktikan janji-janji kampanye karena kepastian nasib sudah jelas: bahagia, apa pun situasi dan kondisinya.

Cek Artikel:  Problem Demokrasi dan Tiga Aras Penentu Pemilu 2024

Carpe diem, dan karena itu nikmati saja hidup ini, tak usah terlalu sulit memikirkan rakyat. Kalau memang benar kesadaran semacam ini yang muncul di benak para politikus kartunis, dunia politik dan alam demokrasi kita memang sedang berada pada titik nadir keterpurukannya.

Saya membayangkan para politikus kita ialah para pekerja sosial yang bekerja sepanjang waktu keterpilihannya, minimal dalam lima tahun serta tidak menawarkan perilaku kartun kepada rakyat. Bacalah petualangan Greg Mortenson dalam Three Cups of Tea, di tengah ketakutan, kegalauan, dan keputusasaan yang menyelimuti dengan hebat pikiran dan perasaan anak-anak pada masa perang dan konflik seperti di Pakistan dan Afghanistan, justru dia menemukan para pembelanya dari kalangan laskar Taliban dan kearifan lokal.

Sungguh tak terduga bahwa alam yang keras sekalipun dapat menyediakan begitu banyak kebijakan dan persahabatan. Modal Greg sangat sederhana dalam membangun kesadaran politik masyarakat untuk tetap mau belajar, yaitu percaya diri dan menebarkan senyum sebanyak-banyaknya. “A smile should be more than memory. Kesadaran dan kesediaan model Greg itulah yang patut disemai dalam pikiran para politikus kita agar kita tak terjebak pada halusinasi demokrasi yang percaya pada simbol-simbol kartunis kehidupan.

Terdapat banyak bukti yang dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa bangsa ini harus dituntun para politikus yang mencintai kerja keras dan kesungguhan untuk terus mau belajar. James Tooley (2013) dalam The Beautiful Tree: A Personal Journey Into How the World’s Poorest People are Educating Themselves mengonfirmasi beragam bentuk perlawanan masyarakat miskin terhadap sistem pendidikan dan politik yang tidak berpihak terhadap mereka.

Kehidupan ialah soal menjaga kemungkinan untuk tetap hidup di hati dan kepala setiap orang serta sistem demokrasi yang baik tentu saja harus mengadopsi beragam kemungkinan, termasuk memelihara asa dan kemungkinan agar rakyat bisa diajak untuk cepat cerdas dan mau belajar dengan sungguh-sungguh.

Saya menikmati nasihat almaghfurllah KH Buya Syakur Yasin tentang makna orang yang berbahagia. Katanya, orang-orang yang sudah bahagia itu tidak punya waktu untuk membenci, menyindir, mencela orang lain, apalagi mencari kesalahan-kesalahan orang lain karena hidupnya tenang dan hatinya sudah senang. Semoga masa depan demokrasi dan politik kita tidak terjerembap masuk ke lubang kegelapan hati karena pekatnya rasa iri, dengki, dan sakit hati yang terus dipelihara atas nama ideologi politik aliran sesaat. Amin aja dulu!

Mungkin Anda Menyukai