POLITIK sangatlah cair. Dinamikanya amat luwes. Dalam politik, sekarang kawan, besok bisa jadi lawan. Sebaliknya, kemarin jadi lawan sengit, lusa boleh jadi sudah jadi kawan karib. Kagak ada musuh abadi dalam politik.
Kata orang, politics is the art of the possible, politik ialah seni kemungkinan. Kecairan politik itu pada akhirnya kerap memupus sekat-sekat ideologis. Kendati berbeda secara ideologi, politik bisa menyatu karena faktor-faktor lain. Salah satunya karena kepentingan yang sama.
Pengangkatan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai menteri agraria dan tata ruang (ATR), kemarin, ialah contoh nyata betapa politik bisa sebegitu cairnya. Selama sembilan tahun lebih, Partai Demokrat yang kini dipimpin AHY ialah oposisi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mereka istikamah di jalan oposisi, berdua dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Kagak sedikit langkah atau kebijakan Jokowi yang dikritik, bahkan dengan sangat keras oleh Demokrat. Soal pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan cawe-cawe Presiden di awal-awal proses tahapan Pemilu 2024, misalnya. Berkali-kali isu tersebut menjadi sasaran kritik para politikus Partai Demokrat, termasuk oleh sang ketua umum AHY dalam pidato politiknya, Juli 2023 lalu.
Tetapi, itu cerita lalu. Orang politik selalu bilang, politik tidak boleh kaku. Harus fleksibel. Demokrat pada akhirnya mempraktikkan itu. Keoposisian Demokrat dan AHY seketika luruh setelah partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut bergabung ke dalam gerbong pendukung pasangan calon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Pemilu 2024.
Di belakang koalisi Prabowo-Gibran ada Jokowi. Bila Demokrat memutuskan masuk ke koalisi itu, apakah elok kalau mereka masih meneruskan misi ‘melawan’ Jokowi? Tentu saja tidak. Maka, terjawab sudah mengapa Demokrat, AHY, bahkan SBY, tampak bersukacita ketika Jokowi akhirnya menarik mereka masuk ke Kabinet Indonesia Maju meski usia kabinet itu hanya bersisa delapan bulan lagi.
Bukan kebetulan, memang sedang ada satu posisi lowong di kabinet Jokowi setelah Mahfud MD mundur dari jabatannya sebagai menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam). Desas-desus di awal, AHY akan langsung dipasang sebagai pengganti Mahfud sebagai menko polhukam.
Tetapi, entah dengan pertimbangan apa, Jokowi akhirnya memilih menggeser Menteri ATR Hadi Tjahjanto ke posisi yang ditinggal Mahfud, dan menempatkan AHY sebagai menteri ATR menggantikan Hadi Tjahjanto. Kali ini, Jokowi kiranya berhasil menerapkan falsafah Jawa, otak atik gathuk. Tempat kosong terisi, kepentingan kawan baru juga terpenuhi. Pemerintahannya pun makin kuat dengan bertambah satu teman koalisi.
Kini yang ditunggu publik ialah praktik dari kecairan politik ala Jokowi-AHY itu. Sebagian publik, setidaknya saya, menunggu momen-momen kelucuan ketika AHY sebagai menteri baru mesti bekerja bareng dengan orang-orang yang dulu menjadi lawan politiknya.
Sebagai contoh, AHY akan menjadi bos dari Wakil Menteri ATR Raja Juli Antoni, politikus dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang sebelumnya sangat berseberangan dengan Partai Demokrat. Dulu, keduanya ibarat air dan api, tak bisa disatukan. Karena itu wajar bila banyak yang menyangsikan duet air dan api ini bisa kompak memberangus mafia tanah sekaligus menyelesaikan segudang persoalan pertanahan lain.
Teladan kelucuan berikutnya, dalam kabinet ini AHY akan menjadi satu tim dengan Moeldoko. Kepala Staf Kepresidenan itu ialah orang yang sebelumnya sempat ingin ‘mengobrak-abrik’ Partai Demokrat. Moeldoko pernah meminta Kementerian Hukum dan HAM membatalkan pengesahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat dan kepengurusan partai itu berdasarkan Kongres Jakarta 2020.
Pada akhirnya Mahkamah Mulia (MA) memang menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Moeldoko terhadap Kemenkum dan HAM dan AHY. Akan tetapi, ketika itu, AHY sempat menyebut mantan Panglima TNI tersebut sebagai pembegal partai. “Tentu wajar para kader mereka semua takut, khawatir jika partai yang dibangun dan diawaki selama ini dengan susah payah dirampas begitu saja oleh para pembegal partai itu,” kata AHY.
Politik memang cair, tetapi apakah kecairan itu bisa dengan mudah menghapus luka-luka lama, tidak ada yang bisa menjamin. Tampak muka mungkin sudah bersahabat, tapi siapa yang tahu tampak belakang? Lumrah kalau publik mulai menduga-duga, jangan-jangan Moeldoko tidak hadir saat pelantikan AHY menjadi menteri karena masih ada ganjalan persoalan di antara mereka. Entahlah, mudah-mudahan ini cuma prasangka.
Yang pasti, dari fenomena ini pula kita jadi makin paham bahwa politik sejatinya bagaikan panggung besar yang disesaki para aktor peran dengan segmen drama masing-masing. Terkadang mereka bertengkar, bertikai, tapi di kesempatan lain mereka bersekongkol, berkoalisi, bahkan dengan mudah dapat bertukar peran.
Drama itulah yang lebih banyak mereka, para politikus itu, mainkan. Mereka lebih fokus melakoni drama demi meraih atensi dan simpati publik ketimbang mengurusi persoalan-persoalan masyarakat yang sejatinya menjadi tugas utama mereka.