SEJARAH baru telah dicatatkan. Pada sidang pleno UNESCO sesi ke-42 tanggal 20 November 2023, bahasa Indonesia secara bulat diterima untuk menjadi bahasa resmi Sidang Lumrah UNESCO. Bangsa Indonesia bersorak bahagia. Bukan hanya kalangan rakyat biasa atau pegiat bahasa Indonesia yang berbahagia. Bahkan, Presiden Jokowi pun berucap bangga. Dengan penetapan itu, politik pembuanaan bahasa Indonesia memasuki babak baru. Sebagai salah satu identitas bangsa, keberadaan bahasa Indonesia diakui warga dan organisasi dunia. Visibilitas bangsa—dan tentu juga bahasa—Indonesia makin tampak dalam teropong dan menjadi perhatian masyarakat dunia.
Pada satu sisi, keberhasilan itu merupakan salah satu penunaian janji dan sekaligus pemenuhan amanat Undang-Undang Nomor 24 Mengertin 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Musik Kebangsaan. Pada undang-undang tersebut, pemerintah diberi tanggung jawab untuk meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Kini, amanat itu telah ditunaikan, bahkan jauh lebih cepat daripada amanat Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XI tahun 2018 yang menargetkan pencapaian internasionalisasi bahasa Indonesia itu pada tahun 2045 bersamaan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Akan tetapi, pada sisi lain, diterimanya usulan Indonesia di UNESCO tersebut sesungguhnya menjadi beban baru kepada bangsa Indonesia untuk mengisi peluang emas yang kini telah ada di hadapan kita semua, dengan pintu-pintunya yang terbuka lebar. Kondisi itu menyisakan pertanyaan besar, apakah peluang itu akan membawa berkah atau malah menjadi mudarat?
Di luar riak-riak perdebatan kubu Muh. Yamin melawan kubu M. Tabrani dalam Kongres Pemuda Indonesia Kedua tahun 1928 untuk menetapkan nama bahasa dalam butir ketiga naskah Sumpah Pemuda, politik dan perencanaan bahasa Indonesia tampaknya selalu mengalami nasib mujur dengan jalan lempang. Pascapenetapan nama bahasa Indonesia pada ikrar Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang menjadi masa persemaian awal nama bahasa Indonesia, konstitusi Negara Republik Indonesia mengakomodasi nama bahasa Indonesia dalam Pasal 36 UUD Mengertin 1945.
Pengukuhan identitas negara yang baru merdeka dalam konstitusi ini bukan hanya ada di seputar ideologi dan bentuk tatanan negara, melainkan juga ada penegasan terang benderang tentang perlunya kesinambungan cita-cita untuk mempersatukan warga dan bangsa Indonesia melalui bahasa persatuan bernama bahasa Indonesia yang mulai berhasil dirajut pada tahun 1928. Kita dapat membaca bahwa begitu banyak negara yang sudah merdeka lebih dahulu, tetapi mereka tidak memuat nama bahasa negara dalam konstitusinya.
Bukan karena mereka tidak melihat pentingnya pencantuman identitas yang melekat dan dibawa melalui bahasa, melainkan justru karena mereka menyadari begitu besarnya potensi konflik yang mungkin timbul jika nama bahasa dicantumkan dalam konstitusi mereka. Pada sisi ini, bagi mereka, bahasa jelas-jelas bisa menjadi pembawa petaka timbulnya keresahan sosial. Sebaliknya, bagi bangsa Indonesia, kehadiran nama bahasa Indonesia dalam isi konstitusi justru menjadi berkah, sebab ia senafas dengan nama tanah air dan bangsanya, yakni Indonesia.
Bahasa Indonesia Bukan Bahasa Melayu
Demi meneguhkan politik penginternasionalan bahasa Indonesia, sangat penting dipahami bahwa bahasa Indonesia bukan—dan tidak sama dengan—bahasa Melayu, baik ragam bahasa Melayu di wilayah Republik Indonesia maupun yang ditemukan dan digunakan di Malaysia. Dalam strategi politik dan perencanaan bahasa dikenal dengan tahap penetapan status sebuah bahasa. Politik bahasa kita sudah menetapkan adanya tiga serangkai status bahasa, yaitu bahasa nasional, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Selain berstatus sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia juga merupakan bahasa nasional yang berfungsi sebagai bahasa resmi pemerintahan dan digunakan dalam pelayanan publik. Bahasa daerah merupakan bahasa yang sejak awal tumbuh dan berkembang di Indonesia dan umumnya menjadi bahasa-bahasa suku bangsa. Sementara itu, bahasa asing adalah selain kedua kelompok bahasa itu.
Bahasa Melayu di Indonesia berbeda statusnya dengan bahasa Melayu di Malaysia. Di Indonesia, bahasa Melayu merupakan satu dari 718 bahasa daerah yang terdapat di wilayah Republik Indonesia. Bahasa Indonesia berakar dan diturunkan dari sebuah ragam bahasa Melayu yang saat itu menjadi lingua franca atau bahasa penghubung perdagangan dan interaksi sosial lainnya di kalangan masyarakat. Ragam bahasa Melayu di Malaysia adalah ragam lain dari bahasa Melayu. Di Malaysia, ragam bahasa Melayu ini dijadikan sebagai bahasa kebangsaan mereka.
Secara intrinsik, ciri-ciri kebahasaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu di Malaysia sudah sangat berbeda. Jikapun bahasa Indonesia berasal dari akar bahasa Melayu, bahasa Indonesia telah berkembang jauh melewati perkembangan bahasa Melayu itu sendiri. Bahasa Indonesia telah berkembang menjadi sebuah bahasa modern dengan dukungan sistem kebahasaan yang lengkap. Misalnya, tata bahasa, termasuk di dalamnya sistem ejaan, dan kosakata bahasa Indonesia telah jauh berbeda dengan bahasa Melayu di Malaysia.
Akibat perbedaan lingkungan untuk terjadinya kontak bahasa, bahasa Indonesia telah memantapkan jalan perkembangannya ke satu arah yang relatif berbeda dengan pengembangan bahasa Melayu di Malaysia. Pada satu titik tertentu, ke depan, besar kemungkinan, kedua ragam bahasa ini akan saling menjauh (mutually distancing).
Ketika ini kosakata bahasa Indonesia yang tercatat dalam Engkaus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada 120.509 entri. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah kosakata bahasa Melayu yang tercatat dalam Engkaus Dewan Perdana yang dikeluarkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia. Tetapi, perlu dicatat bahwa Engkaus Dewan Perdana ini mengambil cukup banyak kosakata yang berasal dari bahasa Indonesia dan juga bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Pengayaan kosakata bahasa Indonesia menjadi ciri pembeda linguistis lainnya dari bahasa Melayu. Keberadaan bahasa-bahasa daerah yang begitu banyak dengan mobilitas penggunanya yang semakin luas menjadi potensi sangat besar untuk pengayaan kosakata bahasa Indonesia. Badan Bahasa, Kemendikbudristek, telah menargetkan penambahan kosakata baru ke dalam KBBI menjadi 200 ribu entri pada tahun 2024.
Selain bersumber dari bahasa-bahasa daerah, pengayaan kosakata dilakukan melalui penyerapan kata dari bahasa asing. Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan proses pengayaan kosakata bahasa Melayu di Malaysia yang tidak memiliki sumber kosakata dari bahasa-bahasa daerah di Malaysia.
Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan aset dalam pembuanaan bahasa Indonesia. Dari sekitar 278 juta penduduk Indonesia, dapat dipastikan mayoritas penduduk bisa berbahasa Indonesia. Selain itu, ada persebaran penutur bahasa Indonesia di berbagai belahan dunia. Ketika ini, bahasa Indonesia diajarkan di 54 negara dengan jumlah pemelajar aktif tidak kurang dari 174 ribu orang, yang ditambah dengan ribuan alumni pemelajar bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA) lulusan penerima beragam beasiswa pemerintah Indonesia. Mereka semua bertutur dengan menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu.
Kalau ada pihak-pihak yang mengeklaim bahwa bahasa Melayu dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang, klaim itu pasti tidak benar. Faktanya, jumlah penduduk Malaysia yang menjadi penutur bahasa Melayu jauh lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Selain itu, para penutur bahasa Melayu di Malaysia umumnya dapat memahami pertuturan dalam bahasa Indonesia dengan baik.
Sebaliknya, para penutur bahasa Indonesia tidak selalu dapat menangkap maksud pertuturan dalam bahasa Melayu Malaysia. Dengan demikian, tidak ada alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa bahasa Indonesia sama dengan bahasa Melayu atau sebaliknya.
Dengan dalih menjaga kesatuan dan rasa persahabatan dengan negara serumpun, masih banyak pihak yang ingin tetap menggunakan istilah bahasa Melayu sebagai istilah yang juga meliputi bahasa Indonesia. Bagaimanapun, hal tersebut sesungguhnya merupakan sikap rendah diri dan tidak percaya kepada kebesaran bangsa dan bahasanya, juga hakikat bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan.
Bahkan, penyebutan istilah bahasa dalam forum-forum dan media internasional untuk merujuk istilah bahasa Indonesia juga dapat menjadi petunjuk tentang kurang luasnya pengetahuan dan pergaulan pengguna bahasa tersebut. Bukan ada rujukan yang dapat dipercaya dalam literatur manapun yang akan menyebutkan bahwa bahasa sebuah negara atau komunitas dengan istilah bahasa saja, tanpa diikuti oleh identitas negara atau komunitas pengguna bahasa tersebut.
Strategi Meloncatan Katak
Keberhasilan Indonesia menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Sidang Lumrah UNESCO tidak terlepas dari strategi lompatan katak yang ditempuh saat pengusulan. Pada masa lalu perdebatan tentang pembuanaan bahasa Indonesia sering berputar pada pertanyaan dari mana harus memulainya? Sebagian besar ahli berpandangan bahwa pembuanaan itu bisa dimulai dari kawasan Asia Tenggara melalui organisasi negara-negara Asia Tenggara ASEAN. Sebagian lagi menyatakan bahwa langkahnya dapat dimulai dari mana saja, yang membuat ketidakjelasan target yang akan dibidiknya.
Terdapat dua hambatan yang sulit ditembus kalau penginternasionalan itu dimulai melalui jalur organisasi ASEAN. Pertama, ASEAN tidak mengakui adanya bahasa resmi (official language) yang digunakan dalam organisasinya. Mereka hanya menganut istilah bahasa kerja (working language), yaitu bahasa Inggris. Dengan demikian, semua anggota organisasi ASEAN “cukup” menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa perundingan dan bahasa dalam sidang-sidang serta bahasa dokumen resmi di organisasi itu.
Negara anggota ASEAN dapat menggunakan bahasa masing-masing pada saat bersidang yang diiringi dengan tanggung jawab bahwa mereka harus menyediakan penerjemah ke dalam bahasa kerja atau bahasa negara anggota. Kedua, jika Indonesia mau mengusulkan bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi/bahasa kerja organisasi ASEAN, dapat dipastikan akan muncul keberatan dari anggota lainnya sehingga usulan tersebut bisa gagal. Indonesia tidak dapat melakukan lobi dan mengusulkan pemungutan suara karena keputusan dalam organisasi ASEAN selalu dibuat melalui konsensus, tanpa pemungutan suara.
Setelah mencermati kerumitan itu, diambillah strategi lompatan katak, yakni meninggalkan kawasan sekitar atau wilayah tetangga dekat untuk langsung melompat ke sasaran yang lebih jauh dengan perolehan dampak yang lebih besar. Gaung keberhasilan yang ditorehkan melalui UNESCO sebagai organisasi multilateral ternyata jauh lebih besar dan menggema melebihi kawasan Asia Tenggara.
Pemberitaan yang mengglobal tentang Keputusan UNESCO telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai sorotan dan mengangkatnya menjadi salah satu topik pembicaraan paling populer di media sosial. Respons positif dari mitra-mitra penyedia layanan pembelajaran BIPA di luar negeri sangat menggembirakan. Muncul kebanggaan baru di antara para penutur jati bahasa Indonesia dan para pemelajar BIPA di luar negeri. Mereka merasa bangga menjadi penutur dan pemelajar sebuah bahasa dunia.
Lebih dari itu, muncul juga ketertarikan baru dari warga dunia untuk mempelajari bahasa Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia dengan potensi ekonomi sangat besar, Indonesia kini memiliki daya tarik tambahan, yakni bahasa Indonesia yang sudah dinyatakan sebagai bahasa resmi Sidang Lumrah UNESCO.
Penguatan strategi internasionalisasi bahasa Indonesia harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan di dalam negeri guna mengikat dan menjamin adanya langkah bersama. Ego sektoral yang potensial muncul mesti dikesampingkan agar tujuan bersama dapat digapai. Bahasa Indonesia kini sudah menjadi salah satu bahasa dunia. Bagi penutur jati bahasa Indonesia, ketika berbicara di forum-forum internasional, pasti akan jauh lebih nyaman menggunakan bahasa negara sendiri dibandingkan dengan menggunakan bahasa asing, apalagi kalau tingkat penguasaannya kurang memadai.
Dengan demikian, pesan utama pun akan lebih mudah mengalir untuk disampaikan. Penggunaan bahasa sendiri pada saat berunding sekalipun pelaku diplomasi menguasai bahasa asing yang digunakan dapat dijadikan sebagai sebuah strategi diplomasi. Selalu ada kesempatan untuk berpikir pada saat bernegosiasi dengan perantaraan penerjemah.
Tampaknya, strategi ini pula yang dilakukan oleh para perunding dari China dan Jepang dengan mitranya dari luar negeri. Patut diduga bahwa mereka sesungguhnya mampu berbahasa asing, tetapi pihak lain justru dipaksa untuk memahami maksud pertuturan mereka melalui penerjemah. Bagaimanapun, militansi atau kegigihan kita sebagai penutur jati bahasa Indonesia akan menjadi pertaruhan untuk keberhasilan kita dalam mengisi dan memanfaatkan peluang yang sudah dalam dekapan kita bersama. Kita semua tentu bisa mulai berpikir bahwa menggunakan bahasa Indonesia dapat menjadi salah satu wujud sumbangsih kita kepada negara ketika sumbangsih lain belum bisa kita berikan. Semoga!