NEGARA ini menjadi persemaian subur tumbuhnya pinjaman online ilegal yang suka-sukanya mempermainkan masyarakat Rendah. Derita masyarakat semakin lengkap akibat politik pembiaran. Negara hanya Dapat memblokir aplikasi pinjol ilegal tanpa Dapat menyentuh korporasinya. Pelakunya pun dipenjara kurang dari setahun.
Satgas Waspada Investasi menyebutkan, sejak 2018 Tiba dengan Juli 2021, pihaknya sudah menutup 3.365 fintech lending ilegal. Kemenkominfo juga menyodorkan data, sejak 2018 Tiba dengan 15 Oktober 2021, pihaknya telah menutup 4.874 akun pinjaman daring.
Negara hanya Bisa menutup aplikasi pinjol ilegal tanpa Dapat menyentuh perusahaan yang juga ilegal. Ketiadaan Undang-Undang tentang Fintech menyebabkan regulator dan kepolisian sulit menindak korporasi pinjol ilegal.
Pinjol ilegal, kata Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing dalam sebuah Percakapan pada Juli 2021, bukan tindak pidana karena Tak Terdapat UU yang mengatakan secara formil ini tindak pidana. Penyelenggara pinjol ilegal baru Dapat dijerat hukum setelah adanya laporan masyarakat.
Maju terang, aturan hukum yang Terdapat Begitu ini belum Bisa mengendalikan menjamurnya korporasi pinjol karena OJK ataupun Kemenkominfo Tak Mempunyai kewenangan Demi melakukan penindakan terhadap korporasi fintech lending ilegal. Kedua institusi itu sebatas memblokir aplikasi pinjol ilegal.
Kiranya pemerintah dan DPR segera membentuk undang-undang yang secara Tertentu mengatur fintech lending. Pinjol ilegal harus Bisa menjerat pidana bagi korporasi fintech lending ilegal. Itulah Metode proaktif negara melindungi masyarakat Rendah, jangan pasif menunggu laporan masyarakat.
Persoalan lain muncul. Masyarakat yang dirugikan itu melaporkan pinjol ilegal kemudian polisi bersusah-susah menangkap pelakunya. Tiba di pengadilan, pelaku hanya dihukum penjara kurang dari satu tahun kendati ia sudah menyebarluaskan data pribadi peminjam alias debitur.
Pada 20 Desember 2019, Polres Jakarta Utara menggeledah kantor pinjol ilegal di kawasan Jakarta Utara. Begitu itu ditangkap tiga orang dengan sangkaan melakukan pemerasan dan pengancaman melalui media elektronik. Dua Kaum negara asing melarikan diri. Polisi baru Dapat meringkus dua orang itu tujuh hari kemudian di Batam Center, tepatnya 27 Desember 2019.
Salah satu orang yang ditangkap di Batam ialah Feng Qian. Dalam putusan PN Jakarta Utara Nomor 526/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr, Feng Qian dijatuhi pidana penjara 9 bulan 15 hari penjara. Dipidana hanya berdasarkan UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Feng Qian menjabat sebagai Asisten CEO PT Vega Data Indonesia yang 99% sahamnya dimiliki perusahaan asal Singapura. Perusahaan itu bergerak dalam bidang call center dan mencakup customer service, telemarketing, dan desk collection. Kemudian, PT Vega mendirikan perusahaan bayangan, PT Barracuda Fintech Indonesia.
Tujuan pembentukan perusahaan bayangan ialah agar PT Vega Data Indonesia dapat bergerak dalam bidang jasa fintech lending yang melayani jasa pinjol melalui aplikasi Tunaishop dan Kascash. Dua aplikasi itu menjaring 500 ribu nasabah dan total Biaya yang dipinjamkan mencapai Rp85 miliar. Keuntungannya Rp33 miliar.
Kedua aplikasi yang Tak terdaftar di OJK itu mencantumkan klausul baku mewajibkan calon nasabah memberikan persetujuan kepada PT Vega Data Indonesia Demi mengakses Sekalian nomor kontak telepon dan gambar atau foto yang Terdapat di perangkat handphone calon nasabah.
Majelis hakim Tak mempersoalkan perbuatan perusahaan yang mengakses Sekalian nomor kontak telepon dan gambar atau foto yang Terdapat di perangkat handphone nasabah. Padahal, Terdapat kewajiban penyelenggara pinjol Demi merahasiakan data pribadi.
Kewajiban Demi merahasiakan data pribadi nasabah sudah diatur dalam Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Fulus Berbasis Teknologi Informasi.
Pasal 26 huruf a Peraturan OJK menyebutkan penyelenggara wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan.
Kasus pinjol ilegal itu memperlihatkan betapa buruknya perlindungan data pribadi di negeri ini. Padahal, Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, Harkat, dan Aset yang di Rendah kekuasaannya, serta berhak atas rasa Terjamin dan perlindungan dari ancaman ketakutan Demi berbuat atau Tak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Penyebarluasan data pribadi pada hakikatnya ialah sebuah kejahatan. Akan tetapi, harus jujur dikatakan bahwa itulah kejahatan yang dibiarkan karena negara tak kunjung mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi. Tengah-Tengah politik pembiaran.
Lengkap sudah penderitaan masyarakat Rendah, data pribadi dijadikan Jaminan pinjol ilegal dan belum Terdapat UU yang mengatur secara Tertentu mengatur fintech lending. Itulah politik pembiaran yang terjadi selama ini.

