Politik Lingkungan

Politik Lingkungan
Adiyanto Siaranwan Media Indonesia(MI/Ebet)

DALAM  beberapa bulan terakhir, sebagian besar wilayah Indonesia dilanda cuaca panas. Suhu rata-rata pada siang hari bisa mencapai 32-33 derajat Celsius. Bagi yang terbiasa hidup di bawah lindungan pendingin ruangan alias air conditioner (AC), mulai berangkat dari rumah, mobil, hingga kantor, dampak El Nino itu tentu hanya sekadar wacana yang sesekali lewat pada linimasa media sosial, seperti Tiktok atau Instagram.

Lain halnya bagi mereka yang beraktivitas sehari-hari di jalanan, seperti para pekerja komuter yang berdesakan dalam gerbong KRL atau yang melaju dengan motor matik kreditan, pedagang kaki lima, kurir, pekerja konstruksi, pengemudi ojek online, dan sebagainya. Bagi orang-orang seperti ini, panas yang menyengat adalah bentuk siksaan lain di kota ini selain polusi dan kemacetan.

Cek Artikel:  Menyoal Program Pensiun Tambahan Wajib

Begitulah, cuaca panas yang tidak wajar itu ternyata tidak memengaruhi semua orang. Individu atau sektor masyarakat yang rentanlah yang paling merasakan dampaknya, terutama para warga lansia atau mereka yang mengidap penyakit bawaan, seperti asma atau penyakit lainnya. Menurut Unit Pelayanan Kesehatan Kemenkes, selain dehidrasi, heatstroke, dan iritasi kulit, paparan sinar matahari dan polusi yang berlebihan dapat memicu sakit kepala sebelah atau migrain. Apa enggak bikin hidup makin rungkad?, belum lagi mereka yang masih harus memikirkan bayar cicilan rumah, tagihan listrik atau air di rumah yang membengkak, uang sekolah/kuliah anak, kredit motor, dan sebagainya.

Berbagai dampak tersebut mungkin dapat berakibat fatal bagi sebagian orang, tapi mungkin hanya sekadar pemandangan yang ‘mengharukan’ dari balik jendela Alphard tuan dan puan sekalian. Pengukuran temperatur mungkin cukup mudah dilakukan, tapi ada satu faktor rumit yang dapat menentukan perbedaan antara hidup dan mati seiring kenaikan suhu, yakni cuan alias uang.

Cek Artikel:  Kurikulum Merdeka, Berharap Pendidikan Lebih Demokratis

Para pakar lingkungan sudah sering mewanti-wanti bahwa dampak perubahan iklim, termasuk anomali cuaca yang terjadi akhir-akhir ini, paling dirasakan oleh mereka yang rentan, mereka yang tidak beruntung secara ekonomi. Tetapi, biar bagaimanapun, mereka juga bagian dari penghuni dan mesin penggerak roda pembangunan di negeri ini. Mereka bukan sekadar data statistik yang hanya dibutuhkan suaranya tiap kali penyelengaraan pemilu.

Strategi untuk mengatasi hal itu (termasuk menghadapi cuaca panas), misalnya, menurut para ahli lingkungan bisa dilakukan dengan mengubah cara pembangunan suatu kawasan yang lebih memperhatikan aspek ekologi, menyiapkan sistem peringatan dini berdasarkan prakiraan cuaca dan iklim, serta strategi intervensi lainnya. Ini boro-boro, polusi yang sudah berbulan-bulan menyelimuti langit Jakarta saja hingga kini belum ada solusi nyata selain cuma sibuk bikin seminar atau webinar.

Cek Artikel:  Kedaulatan Rakyat Dikorupsi

Langit Jakarta (dan kota-kota lainnya) yang kelabu akibat polusi mungkin akan segera sirna dengan datangnya musim penghujan. Sebagai gantinya, banjir, tanah longsor, puting beliung, dan bencana hidrometeorologi lainnya akan segera datang menghantui. Selama tidak ada kemauan politik dan langkah yang serius dan sungguh-sungguh dari para elite dan para pemangku kepentingan untuk mengatasi persoalan ekologi, ‘awan gelap’ sepertinya masih akan tetap menyelimuti negeri ini. Waspadalah.

Mungkin Anda Menyukai