ADA dua kawan berdebat soal strategi kampanye paling cocok di Indonesia. Yang satu percaya bahwa mayoritas pemilih cukup diberi gimik. Satunya yakin, kebanyakan gimik malah bikin mual. Salah-salah bisa muntah.
Mana di antara dua strategi itu yang cocok? Ya pasti bergantung pada siapa konsultan yang paling agresif meyakinkan kandidat sembari mengajukan proposal berisi praktik terbaik dan kisah sukses strategi yang mereka tawarkan. Semakin sanggup mereka ngegombal bahwa strategi yang mereka pakai terbukti manjur di banyak ajang kontestasi politik, semakin sukses pula mereka mendulang fulus hasil jasa konsultasi.
Itulah pula, banyak yang meyakini bahwa pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran menyewa konsultan politik yang pernah dipakai Marcos Jr atau Bongbong Marcos. Karena gaya kampanye pasangan nomor urut 2 di Pilpres 2024 itu sangat mirip dengan cara Bongbong Marcos berkampanye di Pilpres Filipina dua tahun lalu.
Kisah sukses itu hendak diulang di Indonesia. Dalihnya, struktur pemilih Indonesia mirip-mirip dengan Filipina. Kemiripan itu terletak pada demografi pemilih yang didominasi kaum muda serta rata-rata tingkat pendidikan pemilih yang masih rendah. Lebih dari separuh pemilih di Filipina dan Indonesia berpendidikan SD ke bawah.
Rata-rata pemilih muda di Filipina tidak paham sejarah pemerintahan otoriter dan korup Filipina saat dipimpin Ferdinand Marcos (ayah Marcos Jr). Di Indonesia, banyak juga pemilih muda yang sangat berjarak dengan rezim Orde Baru, kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, dan apa itu praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme, bukan kuliah kerja nyata).
Dalam potret kemiripan seperti itulah konsultan politik menggarap strategi kampanye penuh gimik, khususnya di media sosial. Menggaet content creator, joget bersama alih-alih menjual gagasan, hingga memanfaatkan influencer bahkan para buzzer. Gimik-gimik itu, dalam keyakinan konsultan dan tim kandidat, jadi mahasakti untuk mendulang dukungan dan pilihan.
Di Filipina, saat masa kampanye, Marcos Jr, atau Bongbong Marcos, menjalankan sejumlah strategi untuk menggaet pemilih muda, menggunakan media sosial untuk mendongkrak popularitasnya di kalangan pemilih berusia muda serta melawan narasi warisan diktator yang disuarakan lawan.
Terdapat dua poin utama dari strategi Bongbong Marcos dalam usaha merebut suara pemilih berusia muda. Pertama, memanfaatkan Tiktok dan influencer. Kedua, menggelar konser sembari berdansa dengan menampilkan selebritas yang lagi menjadi idola kaum muda.
Tim kampanye Bongbong Marcos memanfaatkan media sosial, terutama Tiktok. Mereka dengan gencar mengunggah video yang menggambarkan keluarga Marcos sebagai dinasti politik yang membawa kemewahan ala Kennedy dan rasa hormat global kepada Filipina saat dipimpin Marcos.
Bahkan, ada klip retro dari ibu negara Imelda Marcos yang berpakaian mewah, bertemu dengan Pangeran Charles dari Inggris dengan latar lagu hit Habits dari penyanyi pop Swedia Tove Lo. Tim sukses Marcos Jr juga membuat satu akun Tiktok yang didedikasikan untuk mengunggah dan menyebarkan klip video tentang keluarga Marcos.
Segala klip yang diunggah dan disebarluaskan itu dikemas dengan konsep anak muda. Misalnya, video yang menampilkan masa kecil Marcos Jr yang diiringi lagu viral Doja Cat dan Gwen Stefani You Right X Luxurious.
Lampau, banyak pula video pendek yang menggambarkan Bongbong Marcos sebagai pria yang penuh kasih sayang, dengan ketegasan seperti ayahnya, sebagai sosok yang siap mengembalikan harga diri negara yang dilanda covid-19 dan kesulitan ekonomi. Melalui beberapa akun anonim, tim sukses Marcos Jr memosting ulang konten pro-Marcos dari Facebook dan Youtube ke Tiktok. Timses Bongnong Marcos juga disebut-sebut membayar influencer Tiktok ratusan dolar AS untuk setiap klip yang diunggah.
Dalam video itu para influencer dengan pengikut besar di medsos diminta mengenakan perlengkapan kampanye, menari, dan menyanyikan jingle kampanye, lalu menginstruksikan pengikut mereka untuk memilih Marcos Jr. Buat menggaet suara anak muda, tim sukses Bongbong Marcos menggelar serangkaian konser di beberapa kota besar Filipina dan melibatkan sederet artis nasional ternama, yang secara terbuka menyatakan dukungan terhadap Bongbong Marcos.
Konser itu selalu ramai dihadiri para pendukungnya, yang mayoritas anak muda. Bahkan, remaja dan pemuda yang sebelumnya abai terhadap pemilihan presiden menjadi tertarik mendukung Marcos Jr.
Di Indonesia, ada pasangan yang mereplikasi gaya kampanye Bongbong Marcos itu. Mereka berjoget, direkam di video, lalu ting dan plung, diunggah di medsos. Di panggung-panggung terbuka, sembari menggaet para pesohor, mereka berjoget menarasikan ‘gemoy’, ‘santuy’, dan ‘ogah pusing’.
Parade testimoni dan ajakan dari para pesohor dan inluencer juga bertaburan di media sosial. Akankah peniruan itu berhasil? Terdapat yang yakin bisa, ada yang amat yakin tidak bakal sama. Mereka yang yakin berhasil mendasarkan pada kesamaan ‘postur’ pemilih antara di Indonesia dan Filipina.
Sebaliknya yang yakin bakal berbeda hasilnya mendasarkan pada serbuan pemilih kritis di medsos yang tidak kalah dahsyat. Buktinya, kontranarasi seperti Wakanda no more, Indonesia forever juga amat viral. Tagar ‘antipemimpin asam sulfat’ juga trending di mana-mana.
Segalanya sah-sah saja, asal masih dalam ranah kreativitas yang menyegarkan. Politik tetap butuh gimik, asal tidak overdosis. Bila overdosis, orang malah bisa pusing dan muntah.