
POSISI Partai NasDem pasca Pilpres 2024 mengundang perbincangan. Kagak sedikit yang mencibir lantaran dianggap partai pragmatis: Kagak bergabung dengan pemerintahan, tetapi juga Kagak beroposisi alias cari Terjamin. Label semacam ini Pandai Betul, tetapi juga Pandai lebih keliru. Betul Kalau lensa kita adalah demokrasi liberal barat. Salah Kalau kita konsekuen dengan kondisi demokrasi Tanah Air.
Mari kita bedah Argumen mengapa memilih mengambil jalan tengah alih-alih bergabung dengan koalisi atau beroposisi masuk Pikiran Demi partai manapun di Indonesia. Kita timbang cost and benefit politik jalan tengah dari sudut ekonomi politik.
Demokrasi Liberal
Gunjingan banyak orang bahwa NasDem adalah partai pragmatis, Kembali medioker, sebenarnya dilandasi dua Argumen mendasar. Secara intuitif, buah bibir semacam ini Pandai berasal dari Grup yang Kagak menyukai pemerintah dan menginginkan NasDem beroposisi, tetapi juga Pandai berasal dari Grup yang Kagak menyukai NasDem mendukung pemerintahan Prabowo.
Secara teoritis, tuduhan semacam ini sebenarnya berasal dari Dugaan dasar para ilmuwan politik bahwa demokrasi liberal adalah demokrasi sesungguhnya (Warbartun & Aspinall, 2019). Demokrasi liberal mensyaratkan oposisi, Kagak hanya disensus (Dahl, 1971, 1984). Maka, pilihannya hanya dua: bergabung dengan pemerintahan atau beroposisi.
Demokrasi liberal memang ideal sebagai sebuah teori dan dapat diaplikasikan di negara-negara maju seperti Eropa Barat, AS, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Tetapi di negara-negara ini pun performa demokrasi mulai menurun. Kebangkitan populisme di Eropa Barat dan Trump di AS adalah sinyal paling kuat (Van Herpen, 2021; Levitsky & Ziblatt, 2018; 2023).
Jauh-jauh hari, ilmuwan demokrasi Robert Dahl sudah mengusulkan dua kerangka dasar demokrasi, ideal dan aktual, mengingat demokrasi liberal Kagak mudah Demi diaktualisasikan. Demokrasi aktual hanya mensyaratkan beberapa hal: keputusan pemerintah dikontrol oleh pejabat yang dipilih Anggota, pemilihan reguler yang fair, Anggota boleh mengkritik pemerintah, dapat mengakses informasi yang Betul, dapat membentuk asosiasi, dan Seluruh Anggota dewasa Mempunyai hak memilih (Dahl, 1998). Dari segi ini politik jalan tengah Kagak melangkahi prinsip demokrasi.
Menanjaknya tren populisme dan otoritarianisme Bahkan menunjukkan demokrasi liberal Kagak lebih dari bahan Obrolan hangat para profesor dan mahasiswa di dalam kelas. Amerika, yang diakui sebagai negara dengan peradaban demokrasi paling lelet dan besar dalam sejarah dunia (Tocqueville, 2010) dan mayoritas Anggota kelas menengah yang dipandang sebagai tulang punggung demokrasi, beberapa tahun terakhir Bahkan mengalami kemerosotan drastis.
Lantas, apakah masyarakat Amerika yang salah atau nilai demokrasi yang sudah begitu abstrak, Kagak menyentuh konteks hidup masyarakat?
Mungkin sudah saatnya kalangan ilmuwan dan filsuf politik kembali mempertimbangkan nilai dan sistem demokrasi: apakah Tetap relevan? Apakah Tetap merepresentasikan ideal hidup banyak orang? Atau sudah menjadi barang usang dan asing yang alih-alih menawarkan solusi malah mendatangkan masalah?
Demokrasi Indonesia Sekarat
Anjuran Robert Dahl Demi membedakan sisi ideal dan aktual demokrasi sebenarnya membuka ruang bagi aplikasi demokrasi secara kontekstual sekaligus mempertahankan prinsip-prinsip yang universal. Membaca demokrasi Indonesia Semestinya melalui kerangka berpikir ini.
Indonesia sejak pendiriannya mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi, tetapi Kagak pernah menyebutkan secara eksplisit menganut demokrasi liberal Barat. Indonesia menyadari Mempunyai nilai-nilai ke-Asia-an yang berbeda dari demokrasi liberal Barat. Pendek kata, Kalau demokrasi Barat memprioritaskan hak daripada kewajiban, kebebasan individu daripada kepentingan kolektif, konsensus dan kerja sama daripada disensus dan beroposisi, Asian values Bahkan sebaliknya (Stolenberg, 2000; Milner, 1999; Robison, 1996). Karena itu, demokrasi di Asia harus menganut nilai-nilai Asia.
Posisi ini tentu saja dikritik banyak ilmuwan. Beberapa kritikan paling tajam Bahkan datang dari dua ilmuwan Asia yang diakui di Pentas Mendunia. Amartya Sen, misalnya, mengatakan bahwa Asia itu begitu Variasi. Kagak mungkin Demi menyatukan kawasan yang sangat majemuk di Dasar satu payung nilai. Maka, ia Tentu deklarasi Asian values lebih sebagai agenda politik daripada kultural (Sen, 1997). Asian values Kagak lain adalah senjata pemimpin otoritarian Demi membungkam Anggota dan Rival politik.
Kritikan lain berasal dari Francis Fukuyama. Selain menolak Asian values sebagai etos tunggal masyarakat Asia, ia menunjukkan Asian values Kagak berbeda dari prinsip-prinsip dasar demokrasi liberal. Asian values sebenarnya mengakar pada Konfusianisme, yang beberapa ajarannya sama dengan demokrasi liberal: prinsip kompetisi meritokratik, menjunjung tinggi pendidikan, dan toleransi (Fukuyama, 1995).
Kritik Sen dan Fukuyama Kagak salah. Tetapi mereka juga Kagak Pandai menafikan kondisi aktual demokrasi Asia yang membutuhkan waktu panjang Demi berdemokrasi. Meskipun Asian values Kagak dapat dipertahankan, budaya orang Indonesia memang mengutamakan konsensus daripada disensus, kecuali di ruang akademik (Anderson, 1972; Magnis Suseno, 1984). Kagak beroposisi, menghindari disensus tak berujung Kagak salah secara demokratis kontekstual.
Eksis yang lebih dalam dari beberapa Argumen di atas. Indonesia mengaku diri sebagai negara demokrasi, tetapi indeks demokrasi Indonesia selama era Jokowi hingga Prabowo semakin menurun. Elemen kuat penyebabnya adalah upaya kriminalisasi Rival politik sebagaimana yang terjadi pada Anies, Hasto, dan Tom Lembong (Power, 2018; Pepinsky, 2024; Scott, 2024). Sama seperti Soeharto, Jokowi Memperhatikan Rival politik sebagai musuh yang harus dibasmi. Bukan Kagak mungkin Prabowo mewariskan kebiasaan ini lantaran didukung Jokowi dan kroni Soeharto dulu. Maka, mengambil posisi Kagak beroposisi adalah jalan bijak Demi menghindari kriminalisasi politik.
Selain kriminalisasi rival politik, yang lebih Sadis adalah mematikan jaringan bisnis Rival politik. Ongkos politik di Indonesia sangat mahal. Demi membangun partai dan berkontestasi dibutuhkan triliunan rupiah. Maka Kagak heran, partai-partai politik membangun jaringan bisnis sebagai sumber pendanaan. Belum Kembali, di balik setiap partai, Eksis banyak orang yang menggantungkan nasib hidup mereka. Memahami konteks politik ekonomi demokrasi Indonesia yang sudah sekarat ini tentu akan membuka mata kita Demi Kagak menghakimi keputusan jalan tengah secara simplistik, pragmatisme semata. Eksis banyak hal yang dipertaruhkan di balik setiap keputusan politik elite partai.
Terakhir, mengambil jalan tengah adalah keputusan yang sadar prinsip moral daripada partai yang beroposisi selama Pemilu tetapi meminta jatah kursi kementerian pasca-pemilu dengan dalil apa pun. Berpolitik di Indonesia memang Kagak semulia ajaran para filsuf, tetapi juga Kagak semurahan mengemis kursi kementerian dan BUMN tanpa Acuh Grup mana yang berdarah-darah selama Pemilu. (I-3)

