MIRIS, tapi tidak mengherankan. Itulah kata yang bisa disematkan seusai membaca hasil survei lembaga Indikator Politik tentang perilaku politik uang di kalangan masyarakat. Hasil survei yang dilakukan pada 14 Februari 2024 di 3.000 tempat pemungutan suara (TPS) itu mengungkap masyarakat kian permisif terhadap politik uang.
Menurut survei itu, responden yang mengatakan bahwa politik uang tidak wajar dilakukan oleh calon anggota legislatif (caleg), tim sukses (timses), dan lainnya yang pada Pemilu 2019 masih sebesar 67%, di pemilu sekarang tinggal 49,6%. Hasil survei itu menggambarkan sudah amat buruknya moral politik kita.
Kian miris lagi, angka itu hampir sama dengan mereka yang terang-terangan menganggap politik uang sudah wajar dan biasa. Menurut survei itu, masyarakat yang menganggap politik uang bisa ditoleransi mencapai 46,9%.
Dari survei itu tergambar betapa kian tergerusnya moralitas dan sandaran etik dalam berpolitik. Kian membiaknya orang yang mewajarkan politik uang ialah potret nyata kegagalan bangsa dalam membangun mental. Enggak mengherankan bila muncul pertanyaan gugatan, seperti inikah yang dihasilkan oleh slogan revolusi mental yang kerap digembor-gemborkan itu? Lampau, di manakah mencari teladan atas keteguhan moral dan etik berpolitik di negeri ini?
Meluasnya perilaku permisif atas politik uang jelas mencemaskan. Alasan, politik uang merupakan the mother of corruption, induk korupsi. Aksi korupsi yang kian menjadi-jadi di Indonesia merupakan buah dari politik uang. Pemberantasan korupsi akan semakin sulit jika politik uang masih terus terjadi, dan rakyat kian menganggapnya kewajaran.
Enggak mengherankan jika skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di angka 34 dalam skala 0 hingga 100. Itulah skor yang buruk, sangat buruk, dan nyaris menyamai skor saat negeri ini di awal-awal membentuk KPK. Skor itu kian mendapatkan kenyataan saat terjadi jual-beli suara pada perhelatan pemilu.
Politik uang juga pada akhirnya akan berdampak buruk bagi masyarakat sendiri. Politik uang bakal menghasilkan manajemen pemerintahan yang korup. Pemimpin yang dilahirkan melalui praktik ini ialah pemimpin yang memiliki karakter pragmatis, tidak kompeten, juga tidak berintegritas. Dalam praktik pemerintahan, kepentingan rakyat berada di urutan sekian, setelah kepentingan dirinya, donatur, atau kepentingan kelompok ditunaikan.
Pemimpin yang terpilih dari hasil membeli suara hanya akan memicu korupsi di sektor-sektor yang lain. Bentuknya bisa macam-macam. Dapat jual-beli proyek, jual-beli jabatan, dan aneka bentuk memperdagangkan pengaruh lainnya. Pemimpin ini juga bakal sibuk mencari sumber penghasilan supaya modal bisa kembali.
Politik uang bakal mengerdilkan demokrasi dan pada tingkatan tertentu mematikan demokrasi. Sekali lagi, kita amat miris melihat kenyataan itu sekalipun temuan itu tidak mengejutkan.
Hampanya teladan dari elitenya elite di negeri ini ialah cermin retak mengapa publik pun akhirnya mewajarkan politik uang. Kemunculan para pejabat yang jorjoran membagikan bantuan sosial dengan maksud meraih tambahan elektoral, akhirnya ditangkap masyarakat sebagai bentuk jual-beli yang seolah-olah sah. Publik melihat kalau politik uang dan bansos yang dilakukan pejabat boleh, artinya mereka pun sah-sah saja untuk bertransaksi politik dengan para caleg ataupun tim sukses.
Harus tegas kita katakan, praktik haram semacam itu mesti dilawan. Kita tidak boleh memberikan ruang sekecil apa pun bagi politik uang untuk hidup di negeri ini. Para aktivis prodemokrasi, tokoh masyarakat, sivitas akademika, media, dan siapa pun yang peduli dengan kelangsungan tegaknya demokrasi di negeri ini harus bahu-membahu untuk keras menyatakan perlawanan terhadap politik uang semacam itu.
Kita mesti ingat bahwa Republik ini didirikan ialah untuk membangun jiwa, baru membangun badan. Bukan sebaliknya. Seperti perang melawan korupsi, deklarasi dan aksi melawan politik uang tidak boleh berhenti selama praktik jahat itu masih bersemi.