KATA Abah Lala dalam lagunya, Ojo Dibandingke, dia jangan dibanding-bandingkan. Tetapi, dalam politik, bolehlah kita membandingkan mantan-mantan presiden Republik ini yang tengah dan telah membangun dinasti.
Dari tujuh orang yang pernah memimpin bangsa ini, hanya BJ Habibie yang anak keturunannya tak berkecimpung di dunia politik. Selebihnya, mulai Bung Karno hingga Pak Jokowi, kiprah trah mereka terekam jelas. Tetapi, ada baiknya kita persempit saja ke tiga presiden terakhir, yakni Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhyono, dan Jokowi.
Buat keturunan Megawati, yang paling dikenal publik ialah Puan Maharani. Mbak Puan saat ini menjabat Ketua DPR RI. Di lingkup eksekutif, ia pernah menjadi menko pembangunan manusia dan kebudayaan.
Puan juga giat merenda harapan untuk mengikuti jejak kakek dan ibunya menjadi presiden. Dia sempat promosi diri besar-besaran, tetapi takdir berkata asa itu harus pupus di tengah masa. Dia gagal nyapres.
Di garis SBY, dua putranya, yakni Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono, juga menjadi orang-orang politik. AHY kini mengomandani partai besutan ayahnya, Partai Demokrat. Edhie yang akrab disapa Ibas berkecimpung di parpol dan di parlemen.
Jokowi tak mau ketinggalan. Dua putranya, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, berkecimpung langsung di dunia politik. Gibran ialah Wali Kota Surakarta dan kini menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto, sedangkan Kaesang Ketua Lazim PSI. Jangan lupakan pula Bobby Nasution, sang menantu, yang sekarang menjabat Wali Kota Medan.
Politik dinasti ialah kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Bolehkah politik dinasti di Republik kita? Ia ditentang, tetapi tidak dilarang.
Dulu memang ada upaya untuk membatasi politik kekerabatan, tapi ujung-ujungnya berantakan di MK. Yang menentukan kini ialah seberapa tinggi pemangku kuasa menjunjung etika, seberapa besar kepedulian mereka, untuk tidak aji mumpung mementingkan keluarga. Dengan berpijak pada hal itu, mari kita bandingkan politik dinasti Megawati, SBY, dan Jokowi.
Saya bukan pendukung PDIP, bukan pula pengagum Bu Mega. Tetapi, soal politik dinasti terkini, dia cukup patut diapresiasi. Dia punya segalanya sebagai Ketua Lazim PDIP. Tetapi, kuasa yang ada, kewenangan yang disandang, tak selalu digunakan untuk memanjakan keluarga.
Nasib Puan ialah contohnya. Kalau Mega mau, jika dia suka, apa susahnya menjadikan Puan sebagai capres? Dia punya hak prerogatif, hak mutlak, untuk menentukan siapa calon dari PDIP yang kebetulan bisa sendirian mengusung kandidat di pilpres. Konkretnya, dia memilih Ganjar yang elektabilitasnya memang lebih moncer.
Dalam beberapa hal, saya termasuk yang memberikan tone positif kepada SBY, tetapi soal politik dinasti rasanya, kok, kurang sreg. Ketika pada 2016 dia memanggil pulang AHY dari latihan militer di Australia untuk dicalonkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, bagi saya itu blunder besar.
AHY ialah bintang terang di TNI. Dia lulusan Akmil 2000 yang belum tersaingi oleh siapa pun sebagai peraih Adhi Makayasa dengan prestasi terbaik di bidang mental, fisik, dan intelektual sekaligus. Borongan. Sungguh sayang, Agus harus mundur dengan pangkat satu melati di pundak.
Kiprah AHY di politik kemudian, bagi saya, juga kurang cerdas. Dia pintar, sangat pintar, tapi tidak sabar. Dia terlalu bernafsu memburu posisi tinggi, menawarkan diri sebagai cawapres, tanpa sadar bahwa pengalamannya masih sangat minim.
Memaksakan kehendak ketika waktunya belum tiba tidaklah baik. Karena itulah, leluhur kita menggubah petuah ojo nggege mongso. Kiranya SBY, AHY, nggege mongso. Akibatnya, seperti kata Winston Churchill, dalam perang Anda bisa dibunuh satu kali, tetapi dalam politik Anda bisa dibunuh berkali-kali, AHY kiranya mati politik berkali-kali.
Dalam banyak hal, saya tidak suka pada Jokowi. Lebih tidak suka lagi karena politik dinastinya akhir-akhir ini. Ketika Kaesang dibiarkan menjadi Ketua Lazim PSI hanya dua hari setelah menjadi kader, publik menyebutnya sebagai dagelan tak lucu dalam demokrasi. Ketika Gibran direstui menjadi cawapres, itu petaka bagi demokrasi.
Bukan hanya karena bapaknya masih menjabat presiden yang mengendalikan segala sumber daya, jalan Gibran berkompetisi juga aneh luar biasa. Gibran yang baru berpengalaman dua tahun sebagai wali kota bisa menjadi cawapres setelah MK yang diketuai pakliknya, Anwar Usman, membuka jalan baginya.
Inilah kali perdana politik dinasti dibangun dengan merobohkan hukum. Inilah pertama kalinya MK yang mulia dipelesetkan menjadi ‘Mahkamah Keluarga’. Segala karena anak Presiden, semua karena ambisi politik dinasti.
Politik dinasti buruk bagi demokrasi. Ia menjadi lebih buruk, lebih merusak, jika dirancang dan dibangun dengan cara-cara yang buruk, yang merusak. Rakyat semestinya paham siapa mereka.