Politik bukan Riang Gembira

SELAMA enam kali pemilihan umum selama Orde Baru, kampung saya di Karawang, Jawa Barat, dikenal pendukung fanatik Partai Persatuan Pembangunan. Bujukan, pembagian sembako, hingga intimidasi dari penguasa, Partai Golongan Karya dan ormas-ormas yang mendukungnya tak menggoyahkan warga berpaling dari partai Kabah itu.

Soliditas warga untuk mendukung partai Kabah bukan perkara mudah, penuh perjuangan. Kekerasan tak pelak menghampiri. Jangankan memasang bendera di lokasi-lokasi strategi sekitar Kecamatan Cikampek, memasang bendera PPP di depan rumah pun hanya bisa dilakukan oleh orang-orang bernyali tinggi.

Bendera akan dicopot setelah sebelumnya diancam untuk tidak pasang bendera lagi oleh aparatur (ABRI), perangkat desa, dan ormas. Alhasil, bendera berkibar hanya sekejap menyapa warga. Akhirnya, saya dan beberapa anak kampung memasang diam-diam bendera di tempat-tempat yang sulit untuk dicopot, seperti di pucuk-pucuk pohon yang tinggi. Menyaksikan bendera berkibar betapa bahagianya warga karena bendera kesayangan dan kebanggaan mereka berkibar. Tetapi, lagi-lagi

saya harus gigit jari karena bendera itu tak bertahan lama karena ABG (anak buah Golkar) menurunkannya.

Suatu hari tragedi menimpa keluarga saya. Om saya, salah satu tokoh masyarakat, pada dini hari saat Pemilu 1987, rumahnya diserang orang tak dikenal. Menurut kesaksian warga, pelakunya ialah ormas berbaju loreng merah yang sangat dikenal di Jabar. Pendukung garis keras Golkar.

Cek Artikel:  Jokowi tak Terlupakan

Rumah paman dilempari batu dan kaca depan dipecahkan. Setelah melakukan aksinya, pelaku kabur. Tuhan masih melindungi keluarga paman. Batu sebesar kepalan tangan jatuh di atas kasur dekat anak paman, bayi yang baru lahir.

Itulah sekelumit kekejaman politik pada era Orba. Sekuat-kuatnya Jenderal Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya lengser juga. Dijatuhkan oleh gerakan rakyat (people power) yang dimotori mahasiswa setelah Soeharto terpilih sebagai presiden untuk periode ketujuh dalam Sidang Lazim MPR pada 10 Maret 1998 untuk masa bakti 1998-2003

Negara dalam krisis menjelang kejatuhan Soeharto. Krisis moneter dan politik berkelindan sehingga membuat kepercayaan kepada pemerintah terjun bebas. Krisis moneter diawali dengan lumpuhnya perekonomian negara sejak awal Juli 1997. Pemicu utamanya ialah menurunnya nilai mata uang rupiah sehingga kondisi perekonomian limbung dan tidak terkendalikan oleh pemerintah.

Di tahun yang sama, krisis politik juga semakin menghangat setelah mahasiswa di berbagai daerah sudah turun ke jalan. Jauh sebelumnya pemerintah merasa terancam dengan popularitas Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Lazim Partai Demokrasi Indonesia sehingga terjadi aksi penyerbuan ke kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, yang dikenal dengan ‘Sabtu Kelabu’ pada 27 Juli 1996.

Cek Artikel:  Taman Makam Koruptor

Meski Golkar selalu menang dalam pesta demokrasi lima tahunan, dan terakhir Pemilu 1997, Soeharto tidak percaya diri melihat perkembangan partai yang dinakhodai putri Bung Karno itu. Berbagai jurus dilakukan untuk mengempiskan partai berlambang banteng itu, di antaranya membentuk kepengurusan tandingan PDI di bawah Soerjadi hingga terjadi penyerbuan ke markas PDI yang dikuasai massa PDI Megawati.

Upaya rezim Orba menekan aktivitas pro-demokrasi menemui puncaknya pada 1997. Serangkaian penculikan dilakukan oleh Tim Mawar, tim khusus dari Kopassus yang saat itu dipimpin Prabowo Subianto.

Gerakan reformasi pun bergulir. Sejumlah tuntutan menguar, di antaranya penghapusan Dwifungsi ABRI, dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Komitmen pemberantasan KKN tertuang dalam Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Rapi dan Bebas KKN. Selain itu diperkuat juga dengan Undang-Undang Nomor 28 Mengertin 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Rapi dan Bebas KKN.

Dua payung hukum terkait pemberantasan KKN sangat relevan sampai kapan pun selama NKRI berdiri, termasuk pemberantasan nepotisme, yakni isu tersebut mencuat lagi ketika putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, berlaga pada Pilpres 2024 sebagai pendamping capres Prabowo Subianto.

Cek Artikel:  Pelanggaran Etik Anwar dan Hasyim

Berdasarkan UU No 28 Mengertin 1999, definisi nepotisme ialah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Jalan Wali Kota Solo itu menuju kontestasi dengan bantuan sang paman, Anwar Usman yang menjabat ketua Mahkamah Konstitusi. Putusan kontroversial MK tentang batas usia capres berujung pemecatan sang paman sebagai Ketua MK oleh Mahkamah Kehormatan MK.

Masalahya, bukan karena politik kekerabatan atau anak muda di bawah 40 tahun, tetapi upaya rekayasa hukum yang penuh cacat moral dan etika di lembaga yang disebut penjaga konstitusi itu. Didapuknya sang anak ke puncak kekuasaan dilandasi Presiden Joko Widodo untuk menyiapkan penerusnya dalam suksesi kepemimpinan pada 2024.

Pesta demokrasi sejatinya harus didasari politik riang gembira. Kalau yang dilakukan elite menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan, jalan politik itu bukan riang gembira, melainkan teror yang harus dilawan. Kata bijak menegaskan inde datae leges be fortior omnia posset, hukum dibuat agar orang yang kuat punya kekuasaan yang terbatas. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai