POLA hubungan politik menjelang tahapan penting kandidasi calon presiden dan calon wakil presiden masih bersifat acak. Loyalp kekuatan intensif membangun komunikasi politik dengan ragam simpul kekuatan pihak lain sebagai keniscayaan dalam penjajakan dan pemetaan.
Yang paling menyita perhatian elite juga publik saat ini tentu saja menyangkut paket pasangan capres dan cawapres yang akan menentukan konfigurasi pertarungan nyata di Pilpres 2019. Pola acak itu diprediksi masih akan berjalan hingga Juli bahkan sangat mungkin hingga menit-menit akhir jelang pendaftaran di awal Agustus.
Memaksimalkan keuntungan
Sosok yang sudah hampir bisa dipastikan melaju ke gelanggang pertarungan presiden di 2019 ialah petahana (incumbent), Joko Widodo. Agendanya saat ini memilih dan memilah calon pendamping yang bisa menguatkan posisinya, baik saat pilpres maupun saat memimpin pemerintahan di periode mendatang, jika mereka terpilih kembali.
Oleh karenanya, agenda Jokowi saat ini adalah memaksimalkan beragam keuntungan dari posisinya sebagai petahana dengan tingkat elektabilitas tinggi, untuk berkomunikasi dengan beragam kekuatan politik baik yang sudah mendeklarasikan dukungan kepadanya maupun belum. Dengan demikian, tingkat keacakan pola hubungan bukan pada pengisian kursi RI-1, melainkan pada penentuan siapa yang paling berpeluang mendampinginya.
Secara faktual, Jokowi berpotensi sangat besar diusung PDIP, Golkar, NasDem, PPP, dan Hanura. Partai-partai ini sudah mendeklarasikan dukungannya secara terbuka kepada Jokowi untuk melaju ke periode kedua. Apabila mengacu ke hasil Pemilu Legislatif 2014, dukungan kumulatif sementara pada Jokowi dari kelima partai tersebut berkisar di angka 51,9% kursi DPR atau 52,21% suara.
Tetapi demikian, bukan berarti Jokowi akan menang mudah. Politik bukanlah semata-mata permainan angka di atas kertas. Proses aksi-reaksi, stimulus-respons, dan teramat jarang berpola searah. Segala hal masih mungkin terjadi, termasuk masih mungkin muncul “efek kejut” dari situasi yang tak terprediksi hari ini. Terdapat Gerindra dan PKS yang semakin mengonsolidasikan kekuatan dan berpotensi mengusung pasangan dengan modal 20,1% kursi DPR, melampaui ketentuan presidential threshold.
Tetap juga ada peluang poros ketiga, yang sangat mungkin diinisiasi Partai Demokrat, PKB, dan PAN. Kumulasi ketiga partai ini 27% kursi DPR atau 26,82% suara.
Dalam kondisi acak seperti ini, semua calon petarung harus menghitung cermat setiap strategi pemainan menuju gelanggang. Dalam tulisan Roger B Myerson, Game Theory: Analysis of Conflict (1991), teori permainan merupakan studi tentang pengambilan keputusan strategis. Teori itu awalnya dikembangkan Emile Borel pada 1921 dan selanjutnya disempurnakan John van Neemann dan Oskar Morgenstern. Inti teori ini menekankan dalam situasi bersaing di antara beberapa orang atau kelompok kecenderungannya para pemain akan memilih strategi untuk memaksimalkan kemenangan mereka dan meminimalkan kemenangan lawan.
Dalam perspektif game theory terdapat dua karakteristik strategi. Pertama strategi murni (pure strategy game) yang biasanya menerapkan strategi tunggal, yakni mengupayakan capaian maksimum. Dalam konteks kandidasi saat ini, Jokowi sepertinya cenderung menjalankan strategi ini. Pencapresan Jokowi sudah pasti sehingga seluruh pergerakan komunikasi politik dimaksimalkan untuk mengukuhkan kemenangan kandidat. Safari politik Jokowi dengan beragam elite utama partai lain seperti dengan Muhaimin Iskandar (PKB), Romahurmuziy (PPP), Airlangga Hartarto (Golkar), dan Zulkifli Hasan (PAN) lebih diposisikan sebagai pencarian pendamping Jokowi.
Kedua, strategi campuran (mixed strategy game) intinya pemain akan menggunakan beragam varian strategi untuk memastikan hasil optimal di tengah realitas kesulitan mereka menjalankan strategi utama. Strategi inilah yang sepertinya akan dijalankan Gerindra, PKS, PKB, Demokrat, dan PAN.
Spesifik untuk Gerindra dan PKS, keduanya berpotensi besar berkongsi ulang di 2019 mengingat pola hubungan keduanya sangat intens dan terfasilitasi beragam agenda bersama yang saling menguatkan. Misalnya saat sama-sama memenangi Pilkada DKI di 2017, selain juga konsisten memosisikan diri di luar pemerintahan sejak kalah dalam pertarungan di Pilpres 2014.
Meskipun Gerindra dan PKS berpotensi besar berkongsi, paket pasangan yang akan diusung mereka masih acak. Akankah Prabowo kembali menjadi “petarung” di 2019, ataukah akan menjadi king maker bagi paket pasangan baru yang dijadikan strategi baru untuk mengalahkan Jokowi? Belakangan, mengemuka nama-nama seperti mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, Gubernur DKI Anies Baswedan, dan Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi alias Uzurn Guru Bajang. Nama-nama tersebut belum bergaung kuat mengingat banyak pihak masih meyakini penantang utama Jokowi di 2019 ialah Prabowo Subianto.
Prediksi akan terjadinya pertandingan ulang (rematch) Jokowi versus Prabowo memang sangat mungkin terjadi. Sosok Prabowo hingga sekarang konsisten menjadi icon penantang di luar kekuasaan sejak 2014. Bagi Gerindra, sebagai partai utama pendukung Prabowo, menjadikan sosok figur utama partai mereka menjadi calon presiden diyakini dapat memberi coat-tail effect, atau pesona figur yang bisa menaikkan perolehan suara partai di pemilu legislatif.
Oleh karenanya, hampir seluruh elite utama Gerindra hingga saat ini tetap menjadikan nama Prabowo di list utama calon presiden mereka. Tetapi demikian, peluang Prabowo menjadi calon presiden juga sepertinya tidak menutup kemungkinan adanya opsi-opsi lain sebagai alternatif terbaiknya.
Hal itu tersirat dari pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Djojohadikusumo. “Yang menentukan semua Tuhan Yang Maha Esa. Anda percaya itu. Anything is possible,” kata Hashim di Gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/3/2018). Terdapat dua faktor penting yang kita tangkap dari pernyataan Hashim, yakni faktor kesehatan dan logistik sebelum memastikan mendukung Prabowo. Yang menarik lagi pernyataan Hashim, “Kalau cawapresnya nanti ada akses ke logistik itu, Alhamdulillah, Puji Tuhan.”
Hal itu mengingatkan kita pada perspektif yang biasanya digunakan para elite dalam menentukan dukungan, yang biasanya disebut sebagai struktur peluang (opportunity structure). Meminjam analisis Gary W Cox dalam bukunya, Making Vote Count (1997), soal strategic entry menghitung tiga pertimbangan penting.
Pertama, biaya memasuki arena (cost of entry), hal ini terkait dengan siapa pemodal dan berapa yang harus dikeluarkan selama pilpres berlangsung. Pertarungan pilpres tentunya berbiaya mahal. Oleh karenanya, pernyataan Hashim menjadi realistis dan akan dihitung cermat oleh kubu Prabowo.
Kedua, beragam keuntungan yang didapat jika duduk di kekuasaan (benefits of office). Hal ini terkait dengan orientasi kekuasaan ke depan jika kandidat memenangi kontestasi. Sekalian partai pasti menghitung potensi mereka untuk berada di kekuasaan mendatang. Apakah melalui dirinya langsung sebagai fighter atau melalui posisinya sebagai king maker.
Ketiga, kemungkinan perolehan dukungan dari para pemilih (probably of receiving electoral support). Itu terkait dengan paket figur yang dibuat apakah diprediksi laku di pasar pemilih atau tidak. Hal ini tentu terkait dengan potensi branding, segmenting, dan positioning dalam pemasaran politik Prabowo di ceruk pasar pemilih mengingat Prabowo sudah mengalami kekalahan di Pilpres 2009 dan 2014, selain kekalahan dalam konvensi calon presiden di Partai Golkar pada 2004.
Apabila Prabowo kembali menjadi calon presiden di 2019, tentunya akan menguntungkan Gerindra. Oleh karena pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden bersamaan waktunya, partai yang figur utamanya menjadi capres biasanya akan berpotensi besar menaikkan perolehan suara partai. Tetapi demikian, untuk memenangi kontestasi di pilpres, Prabowo dan siapa pun yang akan mendampinginya sangat membutuhkan kerja keras untuk mengalahkan Jokowi selaku petahana.
Poros ketiga, mungkinkah?
Di luar rivalitas Jokowi dan Prabowo, kita juga sebaiknya tak mengabaikan kemungkinan lainnya, yakni potensi terbentuknya poros ketiga. Dari aspek peluang, kemungkinan poros ketiga ini terbentuk memang kecil. Hal itu disebabkan beberapa faktor.
Pertama, besar kemungkinan beberapa partai yang berpotensi menjadi pengusung poros ketiga tak mau mengambil risiko untuk zero sum game atau bertarung habis-habisan tanpa mempertimbangkan keuntungan dalam kekuasaan pasca-Pilpres 2019.
Dilema ini akan dialami PKB, Demokrat, dan juga PAN. PKB memiliki sosok Muhaimin yang piawai dalam menjalin lobi dan negosiasi dengan pihak lain. Di era kepemimpinan Muhaimin, PKB senantiasa berada di kekuasaan baik saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun pemerintahan Jokowi. Apabila PKB memutuskan diri membentuk poros ketiga, ada risiko mereka tak ikut gerbong pihak yang berpotensi besar memenangi pertarungan.
Demokrat juga akan mengalami hal serupa mengingat mereka sedang berinvestasi membesarkan sosok Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sedang berusaha keras merebut simpati banyak orang menuju 2024. Demikian juga dengan Zulkifli Hasan, selaku Ketua Biasa PAN, yang kerap bermain “aman” dengan sikapnya yang hati-hati. Berbeda dengan seniornya, Amien Rais, yang sangat keras mengkritik pemerintahan Jokowi, Zulkifli Hasan lebih banyak membangun pola komunikasi konstruktif. Hal ini tak lepas dari upaya Zulkifli dalam membaca segala peluang yang mungkin bisa memaksimalkan posisinya di 2019.
Kedua, kesulitan dalam menentukan pasangan yang bisa diterima semua pihak. Koalisi tiga partai dengan kepentingan masing-masing untuk menjagokan figur utama mereka menjadi capres dan cawapres bukanlah hal mudah. Kerap muncul ego sektoral tentang siapa yang paling layak mengisi posisi calon presiden dan calon wakil presiden. Pengalaman di masa lampau, penggalangan kekuatan untuk membentuk poros alternatif kerap terkendala oleh tidak tercapainya pemahaman bersama (mutual understanding) dan keuntungan bersama (mutual benefits) yang menyebabkan gagalnya kesepakatan.
Sekalipun demikian, di atas kertas terbentuknya poros ketiga di Pilpres 2019 masih mungkin terjadi. Perolehan suara sah nasional maupun jumlah kursi Demokrat, PKB, dan PAN melampaui syarat presidential threshold 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Selain itu, juga sangat mungkin ada situasi tidak tercapainya kesepakatan dalam politik akomodasi dari kubu Jokowi maupun kubu Prabowo.
Dengan kondisi semua partai menyodorkan nama cawapres baik pada Jokowi maupun Prabowo, itu berpotensi terjadinya deadlock dalam pengambilan nama kandidat cawapres dari barisan partai politik. Sekalian partai penyokong Jokowi dan Prabowo berhitung betapa strategisnya posisi cawapres jelang alih generasi kepemimpinan di 2024.
Dalam kondisi ini, baik Jokowi maupun Prabowo bisa saja tetap mengambil wakil mereka dari figur utama salah satu partai politik yang mengusung mereka. Risikonya akan ada partai-partai yang tak jadi bergabung dengan kubu mereka karena merasa tak terakomodasi sehingga membentuk poros baru alias poros ketiga. Kecuali, jika baik Jokowi maupun Prabowo mengambil figur cawapres mereka dari sosok nonpolitikus dan bisa diterima oleh semua jangkar parpol penyokong masing-masing.
Apabila situasi ini terjadi, poros ketiga tak akan pernah terbukti! Pola acak perlahan tapi pasti akan terurai dan semakin jelas saat mendekati masa pendaftaran capres/cawapres 4-10 Agustus 2018.