Pisau Dapur Hakim Tipikor

VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan Tetap jauh dari negeri ini. Pedang Themis, dewi keadilan dalam mitologi Yunani, yang mestinya terhunus Buat menegakkan keadilan dan melindungi yang lemah, dianggap Bukan lebih dari seonggok pisau dapur oleh para hakim.

Begitulah gambaran dari vonis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada Rabu (18/6) Lampau. Majelis hakim yang diketuai Rosihan Juhriah Rangkuti menjatuhkan vonis yang teramat jauh di Dasar tuntutan jaksa.

Meirizka Widjaja, ibu dari Ronald Tannur, hanya divonis 3 tahun penjara dari tuntutan jaksa 4 tahun. Begitu pula dengan Lisa Rachmat, pengacara Ronald Tannur, juga Zarof Ricar, seorang bekas pejabat di Mahkamah Mulia (MA). Lisa hanya dihukum 11 tahun penjara dari tuntutan 14 tahun oleh jaksa. Adapun Zarof, mantan pejabat MA, hanya diberi hukuman 16 tahun penjara, padahal jaksa menuntutnya 20 tahun.

Cek Artikel:  Pemilu tanpa Politisasi SARA

Hukuman yang lebih rendah daripada tuntutan jaksa itu dijatuhkan hakim tipikor meski ketiganya, dengan peran masingmasing, terbukti menyuap tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Rp4,6 miliar lebih agar putra kesayangan Meirizka Dapat bebas dari kasus pembunuhan.

Penegakan hukum oleh para pengadil itu Terang mencederai rasa keadilan di masyarakat. Mereka tak sanggup mewakili Themis yang dengan mata tertutup berani menghunuskan pedangnya Buat menegakkan hukum demi keadilan.

Dengan berbagai pertimbangan, para hakim tipikor tak menjatuhkan vonis yang sepadan dengan perbuatan para terdakwa. Mulai dari pertimbangan Argumen kemanusiaan buat Zarof yang sudah berusia 63 tahun alias sudah lansia Begitu divonis, hingga Argumen jadi korban praktik Bukan baik advokat bagi Meirizka yang dipandang hakim awam soal hukum. Padahal, ibu Ronald Tannur itu terbukti Bisa menyiapkan Fulus suap lebih dari Rp4,6 miliar Buat para hakim PN Surabaya.

Cek Artikel:  Ujian Baru Muruah MK

Oleh para hakim, pedang Themis tak digunakan Buat menyingkap kebenaran dan keadilan dengan seadil-adilnya. Karena itu, wajar saja Kalau perilaku korup enggan pergi dari negeri ini. Teramat jarang pengadilan tipikor memberi putusan yang memberi Dampak jera, apalagi membangun kesadaran antikorupsi kepada masyarakat.

Niai-nilai rasa kemanusiaan Tengah-Tengah digunakan para hakim sebagai bumper dalam menjatuhkan vonis kepada pelaku korupsi, yang oleh banyak negara sudah dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan, yang berarti mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan.

Pertimbangan hakim memanusiakan para koruptor tentu tak dapat dilepaskan dari hakikatnya sebagai Mahluk. Karena itu, hak Buat mendapatkan kebutuhan dasar hidup Begitu menjalani masa hukuman tentu harus diperhatikan. Tetapi, hal itu Bukan Dapat dipadankan dengan memanusiakan perbuatan para koruptor.

Para hakim mungkin lupa, korupsi dan suap menjadi salah satu penyebab kemiskinan. Berdasarkan hitung-hitungan Bank Dunia, 68% dari 285,1 juta penduduk Indonesia pada 2024 berstatus miskin. Singkatnya, Tetap Terdapat 194 juta lebih orang miskin di Indonesia, yang antara lain disebabkan oleh tindak kejahatan korupsi. Asal Mula itu, vonis lebih rendah ketimbang tuntutan yang diberikan oleh para hakim Pengadilan Tipikor Jakarta tersebut terbilang jauh dari semangat pemberantasan korupsi.

Cek Artikel:  Republik Impor

Memang skor indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2024 membaik, naik 3 poin versi Transparency International Indonesia (TII). Peringkatnya pun membaik, dari 115 pada 2023 menjadi 99 dari total 180 negara yang disurvei. Tetapi, peringkat ke-99 itu Tetap menempatkan Indonesia di peringkat kelima sebagai negara korup dari 10 negara ASEAN, di Dasar Singapura, Malaysia, Timor Leste, dan Vietnam.

Fakta itu Terang menunjukkan Indonesia Tetap ramah pada koruptor. Salah satunya akibat pedang dewi keadilan tak digunakan sebagaimana mestinya. Di tangan hakim, pedang itu bukannya berfungsi memotong urat nadi korupsi, melainkan malah beralih fungsi bak pisau dapur.

 

Mungkin Anda Menyukai