SALAH satu kriteria penting dalam mengukur demokratisasi internal partai ialah sejauh mana proses kandidasi pejabat publik seperti calon presiden, gubernur, bupati atau wali kota, berjalan demokratis. Pada umumnya proses nominasi calon di Indonesia terjadi di ruang-ruang tertutup, dengan elite partai berperan sangat dominan dalam menetapkan calon.
Tetapi, khusus pada penentuan calon presiden dan wakil presiden, partai politik tak bisa gegabah memutuskan tanpa mendengar aspirasi kader atau konstituen secara luas. Pilpres adalah pertaruhan besar bagi setiap partai, dan oleh karenanya mereka akan berhati-hati dalam memutuskan siapa yang akan diusung.
Empat pertimbangan
Setidaknya ada empat pertimbangan penting dalam menentukan capres yang akan diusung. Pertama, sejak rezim pemilihan presiden secara langsung dimulai, elektabilitas calon adalah konsideran utama dalam penentuan capres. Menurut Donald Stokes (1963), elektabilitas merujuk pada kekuatan atomik calon (valence) dalam menggaet simpati pemilih, baik itu karisma, popularitas, maupun reputasi bersih dari korupsi.
Loyalp partai pasti ingin menang. Salah satu ukuran meraih kemenangan ialah memilih capres yang memiliki elektabilitas yang tinggi berdasarkan survei yang dilakukan lembaga independen.
Kedua, di samping elektabilitas, pasangan capres-cawapres harus memenuhi syarat teknis pencalonan menurut UU Nomor 7 Pahamn 2017. Dengan ditolaknya uji materi terkait dengan syarat minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara menurut hasil Pemilu 2014, praktis paling banyak hanya tiga pasangan yang akan berlaga di 2019.
Sejauh ini hanya Joko Widodo (Jokowi) yang relatif aman karena sudah dideklarasikan sebagai capres oleh PDI Perjuangan, Golkar, PPP, NasDem, dan Hanura. Di luar itu, jika Prabowo maju sebagai capres, Gerindra cukup menggandeng PKS. Sementara itu, poros ketiga yang coba digagas Demokrat akan layu sebelum berkembang jika, misalnya, PKB bergabung dengan poros Jokowi atau PAN malah merapat ke poros Prabowo.
Ketiga, relasi antaraktor utama di balik partai juga menentukan capres dan koalisi mana yang akan dipilih. Teladan paling gamblang ialah sinyal tegas dan terang benderang yang disampaikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam rapimnas Partai Demokrat yang menyatakan kesiapan untuk berkoalisi mendukung Jokowi di 2019 jika Tuhan menakdirkan.
Meski belum definitif, statement ini tak pernah disampaikan secara terbuka kepada Prabowo, misalnya. Bahkan, dalam banyak kasus, terutama dalam pilkada-pilkada, Partai Demokrat dan Gerindra sering berbeda jalan dalam mengusung calon gubernur. Intinya, publik menangkap bahwa relasi antara SBY dan Jokowi lebih ‘intim’ ketimbang relasi antara SBY dan Prabowo. Apabila SBY gagal mengusung poros baru di 2019, mungkin Demokrat lebih mudah merapat ke Jokowi ketimbang Prabowo, kecuali ada deal-deal khusus.
Terakhir, penentuan capres juga ditentukan kesiapan logistik dan sumber daya. Bagaimanapun pilpres adalah perhelatan raksasa yang membutuhkan ongkos politik yang tak sedikit. Apabila seorang yang berniat maju di pilpres tak memiliki dana cukup, ia bisa bergantung pada elektabilitas. Eksis gula ada semut. Elektabilitas yang tinggi memungkinkan seseorang menarik donatur untuk menyumbang kampanye dan sosialisasi. Apabila seseorang yang berambisi maju di pilpres tak memiliki dana yang cukup, juga tidak ditunjang elektabilitas yang memadai, sebaiknya ia segera mengubur mimpinya dalam-dalam sebelum berubah jadi penyakit.
Gerbong koalisi lebih panjang
Lantas, apakah Jokowi benar-benar telah memenuhi empat kriteria di atas sehingga baru Jokowi yang muncul ke permukaan?
Kekuatan utama Jokowi ialah, sebagai petahana, ia memiliki elektabilitas paling tinggi jika dibandingkan dengan 41 nama capres yang diuji dalam survei. Elektabilitas inilah yang membuat Jokowi, meski bukan elite partai mana pun, diusung sebagai capres oleh PDI Perjuangan, Golkar, PPP, NasDem, dan Hanura. Apabila elektabilitas Jokowi bertahan di papan atas klasemen, atau malah naik, bukan tidak mungkin ia akan menarik gerbong koalisi yang lebih panjang lagi.
Pertanyaan kemudian ialah masih mungkinkah Jokowi dikalahkan? Ibarat gelas setengah penuh atau setengah kosong, jawaban atas pertanyaan sejuta umat ini sangat tergantung cara pandang kita. Pertama, jika dibaca secara optimistis, tren data survei nasional yang dilakukan Indikator Politik Indonesia menunjukkan kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden yang mencapai 72% di kuartal pertama 2018 memang meningkat jika dibandingkan dengan pada September 2017 yang ‘hanya’ di kisaran 68%.
Akibatnya, seperti dipotret Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), elektabilitas Jokowi meningkat dalam berbagai simulasi, mulai top of mind (spontan), semiterbuka maupun tertutup, hingga head to head. Memang jika memakai simulasi top of mind, elektabilitas Jokowi masih di bawah 50%. Akan tetapi, jika menggunakan semiterbuka, kedipilihan Jokowi sudah mencapai 53,8%, bahkan 61,4% jika menggunakan simulasi tiga pasangan.
Di simulasi top of mind, elektabilitas Jokowi kurang dari 50% karena masih banyak pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters). Tetapi, ketika dikerucutkan ke simulasi semiterbuka atau head to head, proporsi undecided voters berkurang karena sebaran pilihan terbagi secara proporsional. Ini pola yang ditemukan di semua lembaga survei yang kredibel. Bunyi undecided voters bukan bias anti-Jokowi atau hanya mengerucut ke calon-calon di luar Jokowi.
Di atas segalanya, jika dibandingkan dengan approval rating dan elektabilitas SBY di tiga atau empat tahun pemerintahannya di jilid pertama, rating kepuasan terhadap Jokowi dan tingkat kedipilihannya masih lebih baik. Elektabilitas SBY baru benar-benar meroket di akhir 2008 atau awal 2009 beberapa bulan jelang Pemilu Legislatif 2009 ketika bantuan langsung tunai dan efek penurunan harga BBM bersubsidi menaikkan elektabilitas SBY dan Demokrat.
Meski demikian, elektabilitas Jokowi sekarang bisa juga dibaca dengan gelas setengah kosong. Tetap ada sebagian pemilih yang puas terhadap kinerja Jokowi tetapi enggan memilihnya. Inilah gejala terbelahnya ‘kepala’ dan ‘hati’ sebagian pemilih yang disebut George Orwell sebagai doublethink, yakni ‘kemampuan seseorang untuk memercayai dua hal yang bertolak belakang secara bersamaan tanpa merasa bersalah atau tidak nyaman (disonansi kognitif)’. Mereka mengakui kinerja petahana baik, tetapi hati mereka sulit menerima Jokowi. Ini terjadi karena perilaku pemilih bukan semata-mata ditentukan variabel rasionalitas, melainkan juga faktor emosi dan ideologi.
Sejauh ini memang Jokowi relatif berhasil mengantisipasi menguatnya politik identitas pasca-pilkada Jakarta dan gejala disonansi kognitif tersebut dengan cara rajin bersilaturahim ke para kiai. Kontranarasi yang dibuat Jokowi juga termasuk membantah tudingan soal PKI, framing anti-Islam dan kriminalisasi ulama yang selalu dialamatkan kepadanya.
Safiri tambah
Tetapi, tantangan terbesar Jokowi sebenarnya bukan politik identitas, melainkan ancaman kenaikan tingkat inflasi. Data longitudinal Lembaga Survei Indonesia dan Indikator menunjukkan bahwa approval rating presiden siapa pun di Indonesia dan elektabilitasnya sangat ditentukan seberapa sukses ia menjaga rezim inflasi rendah. Apabila inflasi tinggi, pada umumnya kinerja ekonomi akan dipersepsi buruk dan akibatnya berpengaruh ke approval rating dan elektabilitas petahana. Apabila inflasi bisa ditekan di bawah 4%, kondisi ekonomi nasional akan dipersepsi membaik dan akibatnya menaikkan approval rating petahana.
Setidaknya ada dua tantangan terkait dengan inflasi sebelum nominasi capres pada Agustus 2018. Pertama, gejolak harga minyak dunia yang terjadi sejak 2017 hingga awal 2018. Apabila pemerintah menaikkan harga BBM, hampir pasti berpengaruh ke approval rating dan elektabilitas Jokowi.
Kedua, siklus inflasi tahunan terkait dengan Ramadan dan Lebaran tahun ini. Apabila inflasi terjadi secara tidak terkendali, bukan tidak mungkin sebagian dari lima partai yang sebelumnya mencapreskan Jokowi akan berbalik arah. Terkait hal itu, respons pemerintah, seperti telah diduga, memilih dengan menambah alokasi subsidi BBM ketimbang menaikkan harga BBM bersubsidi. Akibatnya, efek gejolak harga minyak dunia sejauh ini belum berimbas secara elektoral ke petahana.
Intinya, pekerjaan rumah Jokowi sekarang ialah menentukan siapa cawapres paling tepat yang punya nilai tambah secara elektoral dan memiliki akseptabilitas di mata partai-partai pendukung Jokowi. Sementara itu, ‘PR’ bagi para penantang Jokowi jauh lebih kompleks. Mereka tak hanya dipaksa menghadirkan capres yang kompetitif yang potensial mengalahkan Jokowi, tapi juga harus memenuhi syarat teknis pencalonan yang tinggi.
Hari-hari ke depan publik akan disuguhi manuver-manuver elite kelas tinggi; dari pertarungan memperebutkan tiket cawapres, mendorong koalisi alternatif, hingga tarik-menarik memperebutkan rekomendasi partai untuk mendukung capres-cawapres tertentu. Manuver politik ini sudah pasti menimbulkan kegaduhan, tapi tampaknya terbatas di tingkat elite. Meminjam istilah sastrawan Pramoedya Ananta Toer, intrik dan manuver elite politik yang kerap kita saksikan itu tak lebih dari sekadar ‘badai dalam secangkir kopi’.