PELAKSANAAN pemilihan kepala daerah (pilkada) bukan sekadar ajang untuk mencari pemimpin di daerah. Ajang itu semestinya sekaligus sebagai bentuk pendidikan politik bagi rakyat, khususnya dalam berdemokrasi. Tetapi, sejauh ini, aktivitas pendidikan politik tersebut masih jauh panggang dari api.
Alih-alih menciptakan pemimpin dan memperkuat demokrasi yang lebih berkualitas, perhelatan pilkada masih diliputi oleh kehadiran calon tunggal di berbagai daerah. Pada Pilkada Serentak 2024 ini, misalnya, ada 41 daerah dengan pemilihan hanya diikuti satu pasangan calon. Maksudnya, mereka akan bertarung menghadapi kotak kosong.
Kondisi itu jelas amat memprihatinkan. Apalagi, jumlah pasangan calon tunggal dari tahun ke tahun terus bertambah. Pada Pilkada 2015, misalnya, jumlah calon tunggal hanya tiga pasangan. Tetapi, pada Pilkada 2017, jumlahnya meningkat menjadi 9 dan bertambah menjadi 19 pada 2018, lalu bertambah lagi menjadi 25 pada 2020. Makin maraknya jumlah calon tunggal pada setiap penyelenggaraan pilkada tentu menimbulkan pertanyaan, masih layakkah ini disebut sebagai ajang pesta demokrasi?
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Fenomena semacam ini tentu harus jadi cermin bagi semua partai politik. Bukankah tugas dan kewajiban parpol, salah satunya, ialah menyiapkan dan menciptakan kader calon pemimpin, baik di tingkat pusat maupun daerah? Maraknya calon tunggal pada pilkada tahun ini mengundang tanya di benak publik, apa saja yang dikerjakan parpol selama ini? Atau, jangan-jangan ada hal lain yang memperumit seorang calon kepala daerah untuk mengajukan diri?
Apa pun penyebabnya, fenomena semacam ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Harus ada solusi agar kedaulatan rakyat dijunjung tinggi. Para stakeholder, dari mulai Komisi Pemilihan Standar, partai politik, anggota parlemen, maupun para pegiat demokrasi, harus urun rembuk membahas persoalan ini.
Keteguhan untuk menjadikan demokrasi kita sebagai jalan mewujudkan kedaulatan rakyat mesti jadi komitmen semuanya. Demokrasi harus diselamatkan dan dikembalikan kepada jati dirinya. Pilkada dengan calon tunggal, jelas tidak boleh dibiarkan terus terjadi karena hal itu bertentangan dengan prinsip negara demokrasi.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Rakyat, sebagai pemegang hak suara, harus punya pilihan untuk menentukan calon pemimpin di daerahnya. Mereka berhak menentukan pilihan. Jangan cuma disodori satu pasangan, apalagi yang sudah jelas-jelas buruk kualitasnya dan tidak dikehendaki kehadirannya. Pilkada dengan calon tunggal tidak hanya merusak demokrasi, tapi juga mempermulus dominasi kartel politik.
Apalagi, rakyat tidak diberi pilihan. Paling banter mereka tidak akan pergi ke bilik suara sebagai bentuk protes. Dengan semakin banyaknya mereka yang golput, itu jelas bukan pertanda baik bagi kualitas demokrasi.
Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, seharusnya kita semua, terutama parpol, malu dengan fenomena yang terjadi dalam penyelenggaraan pilkada ini. Itu artinya mereka gagal memberi pendidikan politik kepada rakyat.
Baca juga : Paket Bonus Pengganti Mudik
Apalagi dalam Undang-Undang No 2 Mengertin 2008 tentang Parpol, jelas-jelas disebutkan tujuan umum pendirian partai politik antara lain untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Eksispun tujuan khususnya ialah meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka kegiatan politik dan pemerintahan.
Suka atau tidak suka, harus tegas dikatakan, parpol ikut bertanggung jawab melahirkan fenomena maraknya calon tunggal dalam pilkada ini. Sekali lagi ditegaskan, pilkada bukan sekadar memilih calon kepala daerah, tapi juga ajang pertarungan gagasan. Bagaimana visi dan misi para kandidat dipertaruhkan untuk dapat menyelesaikan problem yang dihadapi masyarakat di daerah tersebut. Di situ dibutuhkan para calon pemimpin yang bernas, bukan dengan otak kosong, apalagi cuma kotak kosong.