
PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) secara langsung sebagaimana yang dipraktikkan pada November Lampau memungkinkan terselenggaranya pengawasan oleh badan negara bernama Badan Pengawasan Pemilihan Biasa (Bawaslu). Tetapi, kerja-kerja Bawaslu itu bakal hilang Apabila sistem pilkada diubah menjadi Bukan langsung alias lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
“Ketika bicara soal pengawasan, ketika pemilihan dilakukan oleh DPRD, siapa yang mengawasinya?” kata Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono dalam Obrolan daring yang digelar Kamis (19/12).
Menurutnya, kerja-kerja pengawasan Begitu pilkada langsung menjadi sulit terlaksana Apabila nantinya kepala daerah dipilih lewat DPRD. Itu, sambung Arfianto, akan mengembalikan sistem pilkada ke ruang-ruang gelap yang tanpa pengawasan.
“Akan dikembalikan Tengah pemilihan di balik pintu, pada akhirnya gelap-gelapan Tengah. Lebih Berkualitas kan kayak sekarang, terbuka, terang benderang, Bawaslu sendiri dengan kewenangannya Dapat mengawasi,” terangnya.
Penyelenggaraan pilkada lewat DPRD juga tak serta merta menjawab masalah biaya tinggi yang muncul Begitu pilkada digelar secara langsung. Pasalnya, Arfianto berepndapat pilkada lewat DPRD tetap membuka ruang bagi praktik politik Dana.
Baginya, wacana Kepada menjadikan penyelenggara pemilu sebagai badan ad hoc turut mendorong terwujudnya pilkada kembali dipilih lewat DPRD. Padahal, dua wacana tersebut berpotensi memundurkan praktik demokrasi di Tanah Air.
“Ini akan menjadi kemunduran dalam demokrasi elektoral dan prosedural kita. Dan pada akhirnya akan Membangun demokrasi kita jadi lebih semu Tengah,” pungkas Arfianto. (Tri/I-2)

