Petaka Kegagalan Insinyur Negara

BELUM genap setahun dioperasikan, Jalan Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) terpaksa ditutup sementara lantaran amblesnya badan jalan akibat tanah longsor di kilometer 64 arah Sukabumi pada Rabu (3/4) malam. Diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 4 Agustus 2023, jalan tol itu gagal dinikmati masyarakat pada arus mudik tahun ini.

Kementerian Pekerjaan Biasa dan Perumahan Rakyat menyebut insiden itu dipicu oleh curah hujan yang tinggi. Foto amblesnya badan jalan itu membuat bergidik. Jalan tol yang terbentang di atas perbukitan itu menggantung tak berdaya lantaran tanah penahan di bawahnya sudah tak ada lagi. Tanah longsor masih terus terjadi hingga kemarin seiring dengan hujan yang bolak-balik mengguyur kawasan itu.

Publik sontak dibuat kaget lantaran jalan tol seharga triliunan rupiah itu bisa ambrol akibat tanah yang tergerus air hujan. Apakah sebelum membangun tidak diteliti dulu kontur dan tekstur tanahnya? Begitu pertanyaan di benak publik. Dari penelitian itu tentunya akan didapat gambaran apakah tanah di lokasi amblesnya jalan itu rawan longsor atau tidak.

Cek Artikel:  Cendekiawan bukan Buzzer

Bukan bermaksud mengajari, tapi orang awam pun paham, jika kawasan itu berkategori rawan longsor, tentunya perlu dibangun talut agar tanah dapat mengikat kuat fondasi jalan. Fondasi yang kokoh dan kuat menancap ke tanah jadi modal utama kekuatan bangunan atau jalan di atasnya. Mestinya ilmu soal fondasi itu tak perlu lagi diingatkan kepada para tukang insinyur level negara. Tukang bangunan rumah petakan saja sudah sangat memahaminya.

Karena itu, bukan tanpa alasan masyarakat dibuat kaget atas amblesnya jalan tol itu. Pada belajar di mana para insinyur negara yang membangunnya, kok malah menyalahkan air hujan sebagai penyebabnya? Kalau hujan yang dijadikan kambing hitam, tak perlu sekolah tinggi-tinggi para insinyur negara itu.

Cek Artikel:  Dilema Mengertinan Soal Perberasan

Ambrolnya jalan tol itu jelas akibat kegagalan, bukan sekadar kesalahan konstruksi. Kegagalan itu sudah dimulai dari tahap awal di perencanaan yang gagal paham soal kontur tanah. Ongkos dari kegagalan tersebut tentu tak murah. Pihak berwenang tak bisa hanya merenovasi atau memperbaiki titik kerusakan, tetapi harus merekonstruksi ulang, karena pekerjaan dimulai dari awal lagi yakni membangun fondasi yang kokoh.

Ruas Tol Semarang-Solo dapat menjadi contoh. Dibangun di kawasan yang melintasi banyak tebing dan jurang, pada ruas tol itu banyak dibangun talut di banyak titik rawan longsor. Insinyur yang membangunnya paham betul kawasan perbukitan tak bisa dijadikan ajang coba-coba walau hanya demi biaya murah.

Hal yang membuat publik kian heran, bagaimana caranya Tol Bocimi bisa dinyatakan lolos uji laik fungsi? Hal itu tentu saja mempermalukan wajah Presiden karena meresmikan proyek yang bakal ambrol hanya dalam beberapa bulan. Karena itu, perlu evaluasi total dari proyek tersebut sebelum membangun ulang jalan yang hancur itu.

Cek Artikel:  Rumah Ngilu Penilap Duit

Negara jelas sudah rugi dua kali. Belum balik modal, jalan sudah hancur. Ditambah lagi dengan keluarnya biaya baru untuk membangun ulang jalan baru.

Atas nama rakyat, DPR mesti meminta pertanggungjawaban kementerian yang membangun jalan tol itu. Begitu pula dengan Presiden yang sudah kadung dibekap rasa malu. Presiden terlalu mudah percaya pada laporan bawahan bahwa jalan tol itu sudah siap dioperasikan. Presiden harus menginstruksikan investigasi menyeluruh, mulai dari proses perencanaan, pembangunan, hingga pengawasannya. Kalau ada satu saja dari ketiga proses itu yang tak beres, segera benahi agar masyarakat tak lagi jadi korban.

Cukup Km 64 di Tol Bocimi yang menjadi saksi bobroknya pembangunan infrastruktur kita. Penyakit itu tak boleh menular ke proyek lain.

Mungkin Anda Menyukai