Petaka Kapitalisme PTN BH


PETAKA kapitalisme pendidikan tinggi di Indonesia Tak dapat Tengah diingkari. Inilah yang terlihat dari fenomena yang terjadi di sejumlah perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH) di kalender akademik baru ini.

Duit kuliah tunggal (UKT) yang ditetapkan sejumlah PTN BH sangatlah mahal, bahkan Mengungguli Duit kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS). Akibatnya, Tak sedikit calon mahasiswa baru (camaba) yang telah berjuang keras di seleksi nasional yang sulit itu malah patah arang setelah lolos. Sebagian batal kuliah, beralih ke PTS.

Sejak dimulai pada 2012, hingga kini telah 21 kampus menyandang status PTN BH. Sebagian besar kampus-kampus itu ialah yang terbaik di dalam negeri, di antaranya ialah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Brawijaya (Unbraw), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Padjadjaran (Unpad).

PTN BH merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Meski tetap mendapat subsidi pendidikan dari negara, status PTN BH Membangun kampus dapat menerima Anggaran dari masyarakat. Cita-cita ideal dari PTN BH ialah kampus dapat meningkatkan mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat.

Cek Artikel:  Terhempas Indonesia Emas

Memang sebagaimana yang Lalu digembar-gemborkan soal PTN BH, bahkan oleh Mendikbud Demi ini, konsep keuangan yang Elastis itulah yang dianut oleh universitas-universitas terbaik dunia, termasuk Harvard. Tetapi, yang harus Jernih dipahami, pengumpulan Anggaran masyarakat Tak diterjemahkan semata lewat Duit kuliah selangit, tetapi kategori Istimewa Anggaran masyarakat di universitas dunia itu berwujud donasi, terutama dari perusahaan dan sosok top dunia. Kalau berhasil menggalang donasi, nilainya memang bukan main-main.

Harvard pun, sebagai universitas yang langganan bertengger di peringkat teratas dunia pengumpul donasi, sedikitnya telah meraup US$1 miliar (Rp15 triliun) sejak 2013 -2019, hanya dari donasi Global. Ditambah Tengah dengan berbagai donasi dalam negeri dan juga donasi alumni. Hasilnya, Harvard Tak saja membiayai perkuliahan dan berbagai riset, tetapi juga menghidupi rumah sakit hingga museum mereka.

Cek Artikel:  Indonesia Darurat Rasuah

Impian mencetak PTN BH ala Harvard memang Tak salah. Asal Mula, bagaimanapun, Anggaran APBN Tak akan cukup Buat menghasilkan pendidikan berkualitas dan sebesar-sebesarnya bagi anak bangsa.

Meski begitu, fenomena Duit kuliah selangit menjadi bukti Konkret Eksis kelemahan besar dalam PTN BH di dalam negeri, terutama soal pengawasan. PTN BH rawan kesewenangan lewat Duit kuliah tinggi.

Pemerintah harus juga mengevaluasi upaya pengumpulan donasi. Sejauh ini dapat dikatakan baru UI, ITB, dan UGM yang tampak mendapat Anggaran Langgeng dari sejumlah pihak.

Kendala kampus-kampus lainnya dalam menggalang Anggaran Langgeng harus pula menjadi perhatian pemerintah. Asal Mula, pemerintah pula yang Membangun peningkatan Anggaran Langgeng sebagai syarat bagi PTN BH Buat menerima penyaluran Kembang dari Anggaran Langgeng perguruan tinggi sebesar Rp7 triliun yang kini dikelola LPDP.

Cek Artikel:  Melunakkan Ego para Mantan

Tanpa kepedulian dalam membantu PTN BH menggalang Anggaran Langgeng, pemerintah secara Tak langsung telah Membangun lingkaran setan kapitalisme pendidikan. Terlebih, bukan semata camaba berkantong cekak yang dikorbankan. Kualitas pendidikan di kampus itu sendiri belum tentu lebih bagus.

Contohnya Bisa kita lihat dari peringkat dan skor UI di QS World University Ranking. Pada 2010, UI menduduki peringkat 236 dunia dengan skor 42,90. Tahun berikutnya peringkat UI bahkan makin naik, menjadi 217 dunia dengan skor 45,10. Tetapi, pada QS WUR 2023 atau setelah 1 Dasa warsa menjadi PTN BH, UI Malah berperingkat 248 dengan skor 38,7. Kondisi yang terjadi di universitas tertua di Indonesia, sekaligus yang awal-awal menyandang PTN BH ini Jernih tamparan. Apa pun alasannya Jernih PTN BH Lagi jauh dari klaim memperbaiki kualitas pendidikan tinggi.

Mungkin Anda Menyukai