Peta Jalan Penghapusan Sunat Perempuan Harus Tekankan Aspek Pemulihan Korban

Peta Jalan Penghapusan Sunat Perempuan Harus Tekankan Aspek Pemulihan Korban
Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah(https://uin-suka.ac.id/)

KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang bahwa peta jalan (roadmap) dan rencana aksi pencegahan P2GP 2020-2030 perlu direvisi dengan menambahkan penegasan terhadap aspek pemulihan korban sunat perempuan.

“Kita perlu merevisi roadmap itu tidak hanya dari sisi pencegahan, tapi juga pemulihan korban. Karena roadmap itu, kita baru pencegahan P2GP, belum roadmap pemulihan korban P2GP,” kata Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah yang hadir secara daring dalam Pertemuan Nasional IV Stakeholder Kunci Pencegahan P2GP di Jakarta, Kamis (26/9).

Hal itu diusulkan Alim berdasarkan pengalaman Komnas Perempuan setelah melakukan penelitian praktik pemotongan dan pelukaan genital perempuan (P2GP) atau sunat perempuan di Gorontalo pada 2023.

Cek Artikel:  UIII dan Menteri Keyakinan Perkuat Peran Indonesia sebagai Pusat Toleransi dan Keilmuan Islam Dunia

Baca juga : Lingkungan Masyarakat Berperan Pulihkan Anak Korban Kekerasan Seksual

Ia menyebutkan, salah satu responden kebingungan harus melapor kepada pihak mana jika merasakan dampak dari praktik P2GP. Bahkan, imbuh Alim, pihak Dinas Kesehatan, Puskesmas, dan Polsek setempat juga tidak menerima laporan apapun dari korban yang terdampak praktik P2GP.

“Ketika di Gorontalo, kami menemukan responden yang bingung mau lapor ke mana karena pemulihannya itu belum tertuliskan. Sehingga nanti kalau ada revisi roadmap, maka perlu ada revisi roadmap pencegahan dan penanggulangan khususnya untuk pemulihan korban,” kata dia.

Terdapatpun terkait dengan wacana pemberian sanksi terhadap pelaku P2GP, Alim mengingatkan bahwa langkah tersebut harus dipertimbangkan dengan penuh kehati-hatian. Asal Mula, orang-orang yang mengkhitan anak perempuan umumnya merupakan bidan atau dukun desa yang juga perempuan. Hal ini, menurut Alim, menjadi dilema sebab permasalahan P2GP berkisar di antara perempuan dengan perempuan.

Cek Artikel:  Mengapa Ciptaan dan Kolaborasi Krusial dalam Layanan Farmasi

Baca juga : Kasus Kekerasan Perempuan Lanjut Meningkat, Pencegahan dan Penanganan Melempem

“Menurut saya, persoalan pemidanaan ataupun pemberian sanksi ini kita harus sangat hati-hati karena ini dari perempuan ke perempuan persoalannya,” ujar Alim.

Sementara itu, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA Eni Widiyanti sepakat bahwa peta jalan seharusnya tidak hanya menggarisbawahi pencegahan melainkan juga pemulihan korban. Ia juga sepakat bahwa peta jalan tersebut harus direvisi.

Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021 mencatat, 50,5 persen perempuan berumur 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami sunat perempuan. Proporsi mereka yang disunat di daerah perkotaan (50,9 persen) hampir sama besar dengan proporsi di daerah perdesaan (50,0 persen).

Cek Artikel:  Membangun Jembatan Budaya Peringatan Hari Penerjemah Dunia

Merujuk pada hasil SPHPN 2021, Eni mengingatkan banyaknya perempuan di Indonesia yang pernah disunat. Mereka yang menjadi korban praktik P2GP tidak hanya mengalami dampak secara fisik melainkan juga dampak psikis seperti trauma berkepanjangan.

“Pemerintah harus hadir. Saya setuju banget (saran dari Komnas Perempuan), jadi ada pencegahan (di dalam roadmap). Tapi menurut saya, pencegahan, penanganan, dan pemulihan. Jadi tiga-tiganya, lengkap negara hadir untuk penghapusan P2GP,” kata Eni. (Ant/H-2)

Mungkin Anda Menyukai