Pesan Lantang dari Pecalang

AKHIR pekan Lewat, Sabtu (17/5), Sekeliling 13 ribu pecalang dari 1.500 desa adat di seluruh Bali berkumpul di Lapangan Renon, Denpasar. Belasan ribu pecalang itu mendeklarasikan penolakan terhadap Swasta yang berkedok organisasi kemasyarakatan (ormas) di seluruh Pulau Dewata. Aksi mereka itu berangkat dari kegeraman masyarakat selama ini yang Menyantap premanisme semakin menjadi-jadi dan seakan tak tersentuh penegak hukum.

Kegeraman itu sejatinya bukan hanya Punya Anggota Bali. Anggota di seluruh pulau di Indonesia sejatinya sudah gerah sejak Pelan oleh keberadaan para Swasta tersebut. Masyarakat sejak Pelan juga sudah muak Menyantap para Swasta yang berseragam ala militer beraksi mendatangi para pedagang, pengusaha dari yang besar hingga kecil-kecilan, Buat meminta Macam-macam-Macam-macam setoran secara paksa.

Bahkan, agar terlihat lebih bermartabat, para Swasta ini memakai baju ormas. Mereka Membangun AD/ART organisasi yang bertujuan mulia, berjanji setia kepada bangsa, lengkap dengan berbagai ornamen seragam dan atribut ala lembaga Formal. Dengan seragam itu, mereka berkeliaran memeras masyarakat yang tengah membanting tulang mencari rezeki.

Cek Artikel:  Bacapres Bertarung Gagasan bukan Kemasan

Sering kali, Golongan Swasta berseragam ormas itu saling bertikai Buat memperebutkan Area operasi. Golongan yang menang akan mendirikan posko Buat menunjukkan ke khalayak bahwa itu Area kekuasaan operasi mereka. Masyarakat pun harus tunduk kepada penguasa Area itu.

Lewat, ke mana aparat negara yang diberi amanat oleh konstitusi sebagai pelindung masyarakat? Di situlah pertanyaan dan gugatan publik selalu muncul. Premanisme memang menjadi salah satu akibat dari Tetap tingginya kesenjangan ekonomi dan sosial di masyarakat. Di Begitu duit Tetap sulit dicari, kekerasan menjadi jalan pintas memenuhi kebutuhan dasar.

Tak sedikit Member masyarakat yang tak kebagian kue ekonomi. Apalagi Begitu ini, di Begitu gelombang PHK Lalu berlangsung sejak 2023 dan pekerjaan baru sulit didapat, premanisme kian subur dan seolah mendapatkan tempatnya di negeri ini.

Cek Artikel:  Musik lelet Korupsi Infrastruktur

Mestinya, sulitnya keadaan ekonomi dan apa pun penyebabnya tak Dapat menjadi pembenaran adanya premanisme. Tetapi, di tengah kebutuhan hidup yang semakin mengimpit, kekerasan menjadi jalan akhir bagi Golongan Intelek pendek.

Suburnya premanisme juga tak lepas dari sikap pembiaran negara. Pemerintah dan aparat penegak hukum tak Dapat cuci tangan karena kekerasan dapat hadir akibat pembiaran. Para Swasta berbaju ormas itu dapat leluasa mengancam sana-sini karena merasa tak Terdapat hukum yang dapat menjangkau mereka. Apalagi, sudah menjadi rahasia Biasa, banyak aksi mereka seperti ‘dinaungi’ oleh kekuatan oknum-oknum yang pernah menjadi bagian dari aparat berseragam di negeri ini.

Apabila sudah begitu, terang saja, Terdapat keengganan dan rasa Tak Lezat dari institusi yang pernah membesarkan para oknum yang sudah purnatugas itu. Masalah jadi semakin kompleks. Sistem hukum dan pranata sosial yang sudah dibuat pun seolah jadi mubazir karena negara enggan melaksanakannya.

Cek Artikel:  Reformasi Pemberantasan Korupsi

Pemberantasan premanisme adalah soal kemauan penyelenggara negara menegakkan hukum. Apabila mereka tak mau, masyarakat Dapat berbuat apa? Akhirnya, secara alami masyarakat akan Membangun hukum baru dan menjalankannya sendiri. Ketiadaan sistem ini, bila berlangsung masif, akan Membangun segalanya menjadi kacau.

Maka, aksi penolakan oleh belasan ribu pecalang di Bali itu pada hakikatnya adalah pesan yang amat gamblang buat para pengelola negara tentang pentingnya rasa Terjamin, nyaman, dan damai di sekujur negeri. Pecalang memang dari Bali, tapi gema yang disampaikan sejatinya adalah pesan Buat seluruh Area di negeri ini. Segala yang berakal sehat dan butuh hidup berdampingan secara damai, Terjamin, dan nyaman dalam berusaha, juga keinginan mencapai situasi sejahtera secara Berbarengan, Niscaya punya sikap serupa dengan para pecalang Bali itu.

Kini, tinggal bagaimana aparat negara merespons secara Segera. Jangan biarkan Bunyi publik membentur tembok keraguan Buat menindaknya. Ingat, negara wajib melindungi seluruh tumpah darah Indonesia.

 

Mungkin Anda Menyukai