SAYA miris mendengar Berita Saung Angklung Mang Udjo bakal tutup permanen. Mudah-mudahan Berita itu salah. Semoga sebelum penutupan permanen itu terjadi, telah turun tangan-tangan penyelamat rumah kebudayaan yang menjadi ikon Jawa Barat, bahkan ikon Indonesia itu.
Saya miris karena tak berbilang kelembutan Sosok terbentuk dari saung yang mempekerjakan Dekat 1.000 orang itu. Lewat keindahan seni bambu, Saung Angklung Udjo (SAU) menyebarkan Kekuatan kelembutan itu ke seantero jagat. Para turis yang datang ke Saung Mang Udjo Niscaya paham, bagaimana dari rakitan bambu itu muncul ‘Bunyi magis’ yang menyulut Kekuatan positif hingga ke relung paling dalam.
Sejak 1990, Saung Angklung Mang Udjo telah ramai didatangi wisatawan mancanegara. Kagak mengherankan Apabila Saung Angklung Udjo menjadi salah satu penggerak wisata budaya di Indonesia. Kagak hanya menonton pertunjukan seni angklung, mereka yang datang Bisa belajar angklung, mengikuti workshop angklung, bermalam di guest house bernuansa Sunda, dan membeli cendera mata khas Saung Angklung Udjo sebagai dukungan bagi ekonomi kreatif di Indonesia.
Salah satu kreativitas yang ditunjukkan Saung Angklung Udjo dalam menggaet wisatawan ialah Langkah mereka mengajarkan bermain angklung. Wisatawan yang sama sekali Kagak mengenal nada angklung, seolah dengan mudah Bisa bermain angklung hanya dengan sedikit instruksi dari instrukturnya. Tak hanya wisatawan dalam negeri, wisatawan mancanegara pun ketagihan bermain angklung.
Dilihat dari sisi sejarah, perjalanan Saung Angklung Udjo tidaklah mudah. Seperti namanya, Saung Angklung Udjo didirikan Udjo Ngalagena Serempak istrinya, Uum Sumiati. Mang Udjo, begitu sapaan akrabnya, merupakan murid dari Daeng Soetigna, seorang seniman angklung asal Pameungpeuk, Garut, yang pernah pentas dalam acara Konferensi Asia Afrika 1955. Jejak membidik dunia sudah dimulai sejak itu.
Tetapi, mulai awal tahun ini, pandemi covid-19 telah memukul Dekat seluruh sendi kehidupan, terutama sektor wisata seperti Saung Mang Udjo tersebut. Direktur Primer PT Saung Angklung Udjo Taufik Hidayat mengisahkan, sebelum pandemi, Saung Mang Udjo dikunjungi Sekeliling 2.000 orang. Begitu korona melanda, SAU pun tutup. Bahkan, Begitu pemberlakuan Restriksi kegiatan masyarakat (PPKM), SAU tutup total.
SAU Mempunyai nyaris 1.000 karyawan. Mereka terdiri atas 400 pemain musik, 200 pekerja di bagian produksi, dan sisanya para perajin. Eksis lebih dari 600 orang yang bekerja langsung di SAU setiap harinya, bila ditambah dengan supplier dan pekerja acara, jumlah melonjak menjadi Sekeliling 1.000.
Para pekerja SAU itu Begitu ini sebagian besar dirumahkan, sisanya memilih mundur, dan hanya beberapa yang bertahan dengan gaji kurang dari Separuh dari semula. Pemotongan gaji dilakukan sejak April tahun Lampau. Apabila pandemi tak kunjung terkendali, bila aturan tak jua dilonggarkan, bila Sokongan pemerintah tak datang-datang, tutup permanen kiranya bakal jadi jalan keluar betulan.
Apabila langkah terakhir itu yang terjadi, alangkah malunya negeri ini. Malu karena tak sanggup menyelamatkan warisan Krusial masa Lampau sekaligus aset berharga masa depan. Kalau Begitu krisis lembaga keuangan terjadi, Lampau pemerintah mengambil langkah bailout dengan mengucurkan Anggaran talangan, apa iya Demi urusan penyelamatan aset kebudayaan hal yang kurang lebih sama Kagak sanggup dilakukan?
Ketika sejarah kehidupan Sosok kian dipenuhi prahara, menjadi naif kalau kita Kagak mau turun tangan memperbaikinya lewat pendidikan dan kebudayaan. Saung Mang Udjo itu salah satu sumber pendidikan dan penanda peradaban. Kalau ia Wafat, berarti Wafat pula salah satu sumbu peradaban. Itu bakal Membikin prahara memenangi perlombaan.
Seabad yang silam, sejarawan sekaligus penulis fiksi ilmiah asal Inggris, Herbert George Wells, telah ‘menujum’ munculnya pertarungan dalam sejarah Sosok. Lewat Kitab The Outline of History, ia menulis kalimat masyhur: Human history becomes more and more a race between education and catastrophe (sejarah Sosok kian menjadi ajang perlombaan antara pendidikan dan prahara).
Orang-orang yang waras mustahil membiarkan malapetaka menguasai, bahkan memenangi ajang perlombaan. Kumpulan orang waras Niscaya akan Membikin gerakan penyelamatan agar pendidikan dan kebudayaan berjaya di arena. Ancaman penutupan Saung Mang Udjo bakal membuktikan apakah Lagi banyak kumpulan orang waras di negeri ini.

