Perubahan Ancaman dan Sesat Pikir Revisi UU TNI

Perubahan Ancaman dan Sesat Pikir Revisi UU TNI
(MI/Seno)

REVISI Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) Formal disahkan pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 20 Maret 2025. Meski mendapatkan kritik dari masyarakat sipil dan disambut dengan demonstrasi di berbagai kota, DPR dan pemerintah sepakat merevisi UU yang sudah berumur lebih dari 20 tahun tersebut. Kedua pihak menyebutkan bahwa perubahan itu tetap menjaga supremasi sipil, mendukung profesionalisme TNI, serta merespons perubahan ancaman yang dihadapi. Tetapi, Kagak pernah dijelaskan secara Jernih kegentingan apa yang mengancam sehingga prosesnya begitu Segera dan Kagak transparan.

Dalam dua Sepuluh tahun terakhir, memang sudah terjadi perubahan dinamika ancaman di dunia. Ancaman dari aktor nonnegara seperti terorisme, separatisme, dan kejahatan transnasional, termasuk penyebaran narkotika dan kejahatan siber, cukup menjadi perhatian Esensial.

Sementara itu, aktor negara, terutama negara-negara adidaya, mulai mengembangkan strategi Distrik Serbuk-Serbuk (grey zone tactics), mulai serangan siber oleh Rusia hingga penggunaan milisi maritim oleh Tiongkok. Belum Kembali, kompetisi antara Amerika Perkumpulan dan Tiongkok yang Maju memanas Pandai mengarah kepada konflik terbuka di Distrik Indo-Pasifik.

Segala situasi tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan Watak ancaman, lompatan teknologi, bahkan Langkah berperang dilakukan sehingga Krusial bagi Indonesia Kepada merancang kerangka regulasi yang adaptif dalam menjaga kedaulatan dan kepentingan nasionalnya. Tetapi, berdasarkan sejarah TNI, perubahan dalam tubuh organisasi tidaklah menjawab ketiga tantangan yang disebutkan di atas. Perubahan haluan politik negara dan Rekanan sipil-militer menjadi Elemen Esensial, seperti doktrin dwifungsi di era Orde Baru hingga proses reformasi militer di awal 2000-an.

Cek Artikel:  Menggali Potensi Digital Indonesia, Panggilan untuk Inklusi dan Partisipasi

Revisi UU TNI 2025 menunjukkan gejala serupa, dengan upaya memperkuat profesionalitas TNI menghadapi perkembangan Era Kagak terasa. Meskipun perubahan Pasal 7 memasukkan ancaman terhadap pertahanan siber, pasal-pasal lain yang direvisi cenderung bersifat teknokratik dan administratif. Misalnya, pada Pasal 47 yang membahas jabatan sipil yang Pandai diisi prajurit aktif TNI, Pusat perhatian revisi ialah menambahkan lembaga yang pada praktiknya sudah diisi perwira TNI. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk di atas 2004 sehingga Kagak masuk UU TNI 2004. Penambahan usia pensiun bagi prajurit TNI juga Bahkan berpotensi menghasilkan permasalahan baru berupa mandeknya proses promosi perwira.

 

UU PERTAHANAN NEGARA

Pemerintah dan DPR semestinya lebih dahulu merevisi UU Pertahanan Negara (Hanneg) Kepada meredefinisi bagaimana negara kita merespons berbagai ancaman. Demi disahkan pada 2002, UU Hanneg menyebutkan dua kategori ancaman yang dihadapi Indonesia, Yakni ancaman militer dan nonmiliter.

Dalam menghadapi ancaman militer, TNI ditempatkan sebagai komponen Esensial, yang didukung komponen Esensial dan pendukung. Sementara itu, kementerian dan lembaga di luar bidang pertahanan menjadi unsur Esensial, yang dikoordinasikan pemimpin instansi sesuai dengan bidang mereka, dalam menghadapi ancaman nonmiliter. Ancaman militer dijelaskan lebih jauh dalam tujuh jenis ancaman, tetapi Kagak Terdapat penjabaran lanjutan mengenai jenis-jenis ancaman nonmiliter.

Cek Artikel:  Memajukan Gagasan Bukan Perasaan

Pemerintah menawarkan kategorisasi ancaman baru melalui UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) pada 2019. UU tersebut menambahkan ancaman hibrida sebagai ancaman yang dihadapi Indonesia. Kemudian disebutkan sekurangnya 15 jenis ancaman meskipun Kagak secara Jernih di bagian mana yang masuk kategori ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida. Di bagian penjelasan, ancaman hibrida diartikan sebagai ancaman yang bersifat gabungan antara ancaman militer dan nonmiliter. Dengan begitu, kerangka regulasi Indonesia Lagi belum secara Jernih menjabarkan jenis ancaman yang masuk kategori ancaman nonmiliter serta ancaman hibrida.

Revisi UU TNI menjadi respons sangat terbatas pada kerangka doktrin Sistem Pertahanan Rakyat Semesta yang dianut Indonesia. TNI, sebagai komponen Esensial dan unsur pendukung, hanyalah satu kepingan dari doktrin tersebut Kepada menghadapi berbagai jenis ancaman. Apabila pemerintah dan DPR serius menjawab perubahan ancaman, revisi UU Hanneg semestinya Pandai digunakan seluruh pemangku kebijakan Kepada meredefinisi ancaman dan respons yang proporsional. Kerentanan ekonomi yang kini menjadi topik Esensial persaingan geopolitik melalui perang tarif hingga isu keamanan Kekuatan dan pangan menunjukkan pendekatan pertahanan yang konvensional perlu dilengkapi Kepada memastikan kepentingan nasional Indonesia Pandai tetap dijaga.

Karena itu, revisi UU TNI ialah sebuah kesesatan Langkah berpikir dalam menghadapi perubahan situasi geopolitik dan dinamika ancaman. Tanpa mempersiapkan kerangka regulasi yang lebih menyeluruh, respons Indonesia Pandai mengarah ke proses sekuritisasi dan pengerahan militer seakan-akan menjadi jalan keluar satu-satunya. Apabila memegang Tegar semangat reformasi, respons Esensial pemerintah semestinya memperkuat institusi sipil sebagai unsur Esensial menghadapi ancaman nonmiliter, bukannya membuka gerbang pelibatan militer yang semakin besar.

Cek Artikel:  Paskah dan Solidaritas Autentik

Respons berbagai negara demokratis terhadap ancaman hibrida juga menunjukkan tren serupa. Filipina mengutamakan kapal penjaga pantainya dalam merespons intrusi maritim dari Tiongkok ke Distrik lautnya. Sementara Kepada kasus sabotase kabel Dasar laut di Laut Baltik yang ditengarai dilakukan Rusia, negara-negara Eropa mengandalkan kerja sama polisi, intelijen, dan penjaga pantai lintas negara Kepada memperkuat respons mereka. Bahkan Kepada isu serangan siber, respons Esensial Nyaris Sekalian negara terkecuali negara dengan kapasitas ofensif yang Mahir seperti AS ialah dengan memperkuat instansi keamanan siber sipil mereka dan Kagak serta-merta melibatkan angkatan bersenjata.

Berbagai kasus tersebut semestinya dipelajari secara mendalam terlebih dahulu oleh pemerintah dan DPR sebelum melompat pada pembahasan kilat merevisi UU TNI. Selain melalui revisi UU Hanneg, regulasi sektoral seperti rancangan UU Keamanan Laut dan Keamanan Siber Nasional perlu mendapatkan perhatian.

Dengan begitu, diharapkan Indonesia Mempunyai acuan regulasi terkait dengan gradasi ancaman Kepada berbagai isu dan kepastian hukum di titik mana pelibatan TNI diperlukan. Tanpa sebelumnya memperbaiki kerangka tersebut, revisi UU TNI bukannya menjadi jawaban atas perkembangan ancaman, melainkan Bahkan Pandai menghadirkan kegagapan negara dalam kebijakan keamanan dan pertahanan ke depannya.

Mungkin Anda Menyukai