Pertimbangan Hukum MK

APAKAH pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga Mempunyai kekuatan hukum mengikat sama halnya dengan amar putusannya? Pertanyaan ini Krusial diajukan terkait perlu tidaknya pemerintah Membangun aturan teknis pengangkatan penjabat kepala daerah.

Eksis tiga putusan MK terkait penjabat kepala daerah, Adalah putusan Nomor 67/PUU-XIX/2021, 15/PUU-XX/2022, dan 18/PUU-XX/2022. Amar putusannya ialah menolak permohonan para pemohon Demi seluruhnya.

Meski amar putusannya menolak permohonan pemohon Demi seluruhnya, dalam dalam pertimbangan hukumnya, MK Membangun batasan-batasan dalam pengisian penjabat kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Ambil Teladan pertimbangan putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021 pada 20 April 2022. “Perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah Demi menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016 sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan Jernih bahwa pengisian penjabat tersebut Enggak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi…”

Sejauh ini, pemerintah Enggak menyiapkan peraturan pelaksana sebagaimana diminta MK. Kementerian Dalam Negeri tetap menyiapkan penggantian 101 penjabat kepala daerah pada 2022 lewat aturan yang sudah Eksis.

Cek Artikel:  Jokowi dan Amerika

Gelombang pertama pengisian penjabat kepala daerah dimulai pada Mei 2022. Pada 12 Mei 2022, Eksis lima gubernur yang masa jabatannya berakhir. Mereka ialah Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan, Gubernur Banten Wahidin Halim, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, Gubernur Sulawesi Barat Muhammad Ali Baal Masdar, dan Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan.

Kembali kepada pertanyaan awal. Apakah pertimbangan hukum dalam putusan MK juga Mempunyai kekuatan hukum mengikat sama halnya dengan amar putusannya? Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat Jernih bahwa pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan Mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pertimbangan hukum Enggak Pandai dipisahkan dari amar putusannya, menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Karena itulah Pasal 48 ayat (2) UU 24/2003 tentang MK, terakhir diubah dengan UU 7/2020, disebutkan bahwa setiap putusan MK harus memuat tujuh elemen.

Cek Artikel:  Migas Terlindas Copras-Capres

Tujuh elemen itu ialah kepala putusan berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa; identitas pihak; ringkasan permohonan; pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; amar putusan; dan hari, Lepas putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.

Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan, menurut Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, meliputi permasalahan Primer permohonan; kewenangan Mahkamah; kedudukan hukum pemohon; Argumen permohonan; dan pendapat Mahkamah.

Secara teori, substansi pertimbangan hukum dibedakan menjadi ratio decidendi dan obiter dictum. Ratio decidendi Enggak Pandai dipisahkan dari amar putusan. Artinya, bagian pertimbangan ini mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan dapat diimplementasikan sebagai suatu kaidah hukum.

Sementara itu, obiter dictum Enggak mempunyai Rekanan secara langsung dengan masalah hukum yang sedang diperkarakan. Oleh karenanya, kedudukannya Enggak Pandai disejajarkan dengan amar putusan.

Teori itu didiskusikan secara mendalam dalam sidang perkara Nomor 32/PUU-XVIII/2020 antara hakim konstitusi Saldi Isra dan Spesialis pemohon Bayu Dwi Anggono. Saldi mempertanyakan bagaimana membedakan-bedakan pertimbangan putusan, sementara pertimbangan itu sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh.

Cek Artikel:  Ki Hajar Dewantara Menangis

Merujuk pemikiran Saldi, pertimbangan hukum dalam putusan MK menjadi satu kesatuan yang Enggak terpisahkan dengan amar putusan. Dengan demikian, pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan Mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kalau pertimbangan hukum Mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, mestinya pemerintah Membangun aturan teknis pengangkatan penjabat kepala daerah sebagaimana yang diminta MK. Bukankah ketundukan dan keataatan terhadap putusan MK merupakan bentuk Konkret dari kesetiaan terhadap konstitusi itu sendiri?

Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah Demi menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU No 10/2016, bukan hanya mengandalkan kebiasaan pengisian penjabat kepala daerah yang berlaku sejak 2015. Kalau Enggak, dikhawatirkan penunjukan penjabat kepala daerah bakal menuai gugatan.

Mungkin Anda Menyukai