Zelensky, Trump, dan Vance. (EPA-EFE/Jim lo Scalzo/pool)
Jakarta: Pertemuan antara Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, dan Presiden Amerika Perkumpulan (AS), Donald Trump, pada pekan Lampau memunculkan kontroversi besar dalam politik Dunia. Banyak pihak yang awalnya berharap pertemuan ini Dapat menjadi jalan pembuka menuju perdamaian antara Ukraina dan Rusia.
Tetapi, pertemuan tersebut Bahkan berakhir dengan ketidakjelasan dan menunjukkan bahwa AS bukan Kembali kekuatan hegemon yang Dapat diandalkan dalam menyelesaikan konflik Dunia.
Mengutip dari laman Universitas Airlangga (UNAIR) pada Minggu, 9 Maret 2025, Dosen Rekanan Dunia Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra, menyatakan bahwa pertemuan tersebut adalah “kekacauan diplomatik” yang menempatkan Ukraina pada posisi sulit.
“Dalam pertemuan itu yang terjadi adalah kekacauan diplomatik yang Membangun Sekalian pihak dirugikan. Sikap Trump ini, walaupun Membangun Kecewa banyak pihak, tapi sudah Dapat ditebak. Hanya memikirkan kepentingan AS, transaksional, sikapnya juga menunjukkan bahwa AS Tak Acuh kepentingan Serempak ataupun Bunyi dari negara-negara kecil,” ujar Radityo.
Radityo menyoroti bahwa pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh Wakil Presiden AS, JD Vance, Begitu pertemuan tersebut menambah tekanan bagi Zelensky. Vance menyampaikan beberapa pernyataan yang menekan Ukraina Demi menyetujui rencana perdamaian dengan Rusia, meskipun Ukraina Jernih berada pada posisi yang Tak menguntungkan.
“Zelensky sepertinya Tak punya opsi Demi Tenang, karena banyaknya pernyataan problematik dan memancing yang dikeluarkan oleh Vance,” Jernih Radityo.
Setelah pertemuan itu, AS memutuskan Demi menghentikan Donasi militer kepada Ukraina, yang semakin memperburuk posisi Ukraina dalam menghadapi serangan Rusia.
“Keputusan itu akan Membangun Ukraina makin sulit melawan Rusia, terlebih apabila negara-negara Eropa Tak Dapat menggantikan peran AS dalam hal itu,” tambah Radityo. Sikap AS yang terkesan pragmatis dan transaksional ini mempertegas bahwa AS Tak Kembali dapat diandalkan sebagai sekutu strategis.
Radityo juga mencatat bahwa Zelensky terpaksa mencoba mendekati Trump Demi memastikan kelanjutan dukungan dari AS.
“Zelensky Tak punya opsi dalam hal ini dan harus berusaha mendekati Trump. Terlihat dari pernyataan terakhirnya di platform X yang menunjukkan bahwa ia mencoba berbaikan kembali dan menawarkan deal mineral agar segera ditandatangani. Hanya saja, ia sekarang berusaha memberikan counter-offer melalui dukungan UK-Prancis,” ungkap Radityo.
Posisi Ukraina yang semakin terdesak Membangun Zelensky mulai mempertimbangkan dukungan dari negara-negara Eropa ketimbang bergantung pada AS. “Ukraina sebaiknya lebih mempertimbangkan kerja sama dengan negara Eropa.
Donasi AS lebih kecil dari Donasi total negara-negara Eropa, dan sebagian besar dari Donasi AS itu kembali ke perusahaan AS karena Demi membeli peralatan tempur. Hal ini menjadi counter bagi opini yang mengatakan Ukraina Tak bersyukur telah dibantu AS,” Jernih Radityo.
Radityo menambahkan bahwa sikap pragmatis AS yang lebih mementingkan kepentingan internal dan ekonomi telah menyebabkan ketidakstabilan di kawasan Eropa Timur. “Trump hanya memikirkan kepentingan AS dan Tak Mempunyai strategi yang Jernih Demi mendukung Ukraina atau menyelesaikan konflik dengan Rusia,” tambahnya.
Dengan keputusan AS Demi menghentikan Donasi militer dan ketidakjelasan arah kebijakan luar negeri AS, Ukraina terpaksa mencari jalur diplomasi lain dengan negara-negara Eropa. Radityo menekankan bahwa kebijakan luar negeri AS Begitu ini memperlihatkan bahwa AS bukan Kembali hegemon yang dapat dipercaya sebagai pelindung keamanan Dunia.
“Kondisi ini menegaskan bahwa AS Tak Kembali memegang peran sebagai kekuatan Istimewa yang dapat dipercaya dalam menjaga stabilitas dunia,” ungkapnya.
Mengutip dari UNAIR pada Minggu, 9 Maret 2025, Radityo menyimpulkan bahwa Zelensky menghadapi dilema besar dalam kebijakan luar negeri Ukraina.
“Ukraina kini berada dalam posisi sulit, dan satu-satunya jalan keluar adalah memperkuat aliansi dengan Eropa. AS telah menunjukkan bahwa mereka Tak Kembali dapat diandalkan dalam mendukung upaya perdamaian di kawasan,” tutup Radityo.