Pertaruhan Menegakkan Demokrasi

Pertaruhan Menegakkan Demokrasi 
Arif Yudistira, Uzurn rumah Pondok Filsafat Solo, giat di Sarekat Taman Pustaka Muhammadiyah, Aktivis JIMM (MI)

MOHAMMAD Natsir pernah mengatakan, “untuk mencapai sesuatu, harus diperjuangkan dulu. Seperti mengambil buah kelapa dan tidak menunggu saja seperti jatuh durian yang telah masak.” Seorang pemimpin pun demikian. Kepemimpinan dilahirkan dari sebuah proses. 

Republik ini selalu memberi bentangan sejarah tentang kearifan seorang pemimpin. Pemimpin tidak hanya diuji dan ditempa dari wacana, kemampuan bacaan serta pengetahuannya yang luas, tetapi juga dari pengalaman, kepekaan batinnya mengerti, dan memahami rakyat. 

Kapasitas, kapabilitas seorang pemimpin diuji dari kinerjanya, cara ia menyelesaikan persoalan genting, serta cara mereka memutuskan kebijakan yang krusial. Di dalam negara demokrasi, setiap orang memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon pemimpin. Demokrasi memberi ruang seluas-luasnya bagi siapa saja untuk menjadi seorang pemimpin.

Baca juga: Rayakan Natal Peradi, Otto: Orang Asmara Demokrasi Selalu Pertahankan Kerukunan

Indonesia menganut sistem demokrasi konstitusional. Demokrasi yang kita pakai adalah demokrasi yang berdasarkan konstitusi. Sebagai negara yang memiliki dasar negara Pancasila, Indonesia meletakkan prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan pada nilai-nilai luhur Pancasila. Etik demokrasi menjadi acuan dan pedoman dalam kehidupan bernegara kita. 

Demokrasi kita juga didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang dijunjung tinggi, persatuan, permusyawaratan perwakilan dan juga cita-cita keadilan sosial. Indonesia pernah memakai sistem demokrasi terpimpin di era Soekarno. Demokrasi terpimpin pada akhirnya justru meninggalkan etik demokrasi dan menguatkan sistem otoritarianisme. 

Cek Artikel:  Tantangan Rusaknya Kompetensi lewat Pendidikan Spesialis Hospital Based

Bila di masa Soekarno kita dipertontonkan politik otoritarianisme yang vulgar, di masa Soeharto kita dipaksa hidup dalam rezim yang memperalat dan merusak “Demokrasi Pancasila”. Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah kebangsaan kita diubah menjadi sekadar slogan dan gincu dalam kehidupan bernegara. Kritik dibungkam, serta dipasungnya kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Demokrasi menjadi sekadar etalase semata, meski pemilu sudah berulangkali diadakan di masa Orde Baru. 

Baca juga: Kemunduran Kualitas Demokrasi Makin Terasa

Kemunduran

Pasca jatuhnya Orde Baru, masyarakat Indonesia berharap demokrasi Indonesia semakin mengalami perbaikan. Perubahan struktural kepemimpinan hingga proses reformasi di berbagai lembaga hukum dan pemerintahan, diharapkan menjadi ujung tombak dari perubahan kualitas demokrasi yang telah dirusak oleh rezim Orde Baru.

Sayangnya, pasca reformasi, kualitas demokrasi di Indonesia cenderung stagnan. Vedi R Hadiz (2005) dalam studinya mencatat bahwa apa yang terjadi pasca jatuhnya Soeharto adalah negara yang jauh lebih lemah, sementara posisi masyarakat sipil yang terpecah-pecah dan tak teratur. Ini terlihat misalnya, gerakan sosial masyarakat sipil, yang mengusung agenda reforemasi, tetapi berwatak sporadis, yang mudah ditaklukkan oleh elite dominan. Azyumardi Azra (2020) menyebut, kondisi masyarakat sipil Indonesia mengalami stagnasi dan cenderung defensif. 

Cek Artikel:  Pro-Kontra Emansipasi Perempuan di Arab Saudi

Aspinal dan Meitzner (2010) dalam bukunya Problems of Democratisation in Indonesia; Elections, Institutions, and Society membagi aliran yang memotret demokrasi di Indonesia ada tiga. Pertama, menganggap perubahan demokrasi bersifat ‘dangkal, dengan struktur inti kekuasaan tetap tidak berubah’. Berdasarkan pandangan ini, sebagian besar elite Orde Baru telah berhasil menyesuaikan diri dengan sistem baru, dan menjaga hak-hak istimewa mereka yang terkait dengan jabatan publik. 

Aliran pemikiran kedua berasal dari perspektif komparatif dan menghasilkan penilaian yang cukup positif terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa ‘Indonesia telah melakukan konsolidasi demokrasi dengan sangat baik’. 

Ketiga, Aspinall dan Mietzner mengidentifikasi posisi menengah, dimana para pendukungnya percaya, bahwa ‘walaupun Indonesia telah mencapai kemajuan demokrasi, namun Indonesia masih dilumpuhkan oleh masalah-masalah struktural yang parah,’ terutama korupsi dan penegakan hukum yang lemah.

F. Budi Hardiman menulis dalam bukunya Dalam Moncong Oligarki (2013), ia menulis tiga alasan mengapa demokrasi Indonesia berskandal. Pertama, ekspansi pasar telah merusak solidaritas yang seharusnya dihasilkan (atau dirawat) oleh demokrasi. Kedua, demokrasi di Indonesia tidak mampu menjaga pluralitas, di samping juga tidak mampu membendung kekuatan religio-politis yang justru mengancam pluralitas. 

Cek Artikel:  Sekolah yang Sejahtera

Ketiga, demokrasi di Indonesia justru menghasilkan ketidaksetaraan, padahal demokrasi harus mampu menciptakan kesetaraan di antara warga. Skandal ini terjadi karena demokrasi elektoral sulit untuk mewujudkan definisi demokrasi, yakni kratos (pemerintahan) oleh demos (rakyat). Demos dalam demokrasi elektoral justru dipahami sebagai voters (pemberi suara), yang sialnya dikendalikan oleh para oligarki.

Pertaruhan

Pemilihan Biasa 2024 adalah ujian sekaligus pertaruhan demokrasi di Indonesia. Situasi politik menjelang Pemilu 2024 membuat masyarakat kita marah. Pasca putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran menjadi Cawapres Prabowo pada Pemilu 2024. Putusan MK tersebut menguatkan dugaan publik tentang kuatnya politik dinasti Jokowi. 

Dalam sejarah demokrasi di Indonesia, Jokowi telah menorehkan tinta hitam dalam demokrasi kita. Hasrat politiknya mengamankan kekuasaan, membuat kekuasaan kehakiman dikebiri dan diperalat, untuk memuaskan nafsu politiknya dengan pencalonan Sang putera mahkota. 

Demokrasi menjadi cacat saat pencalonan capres-cawapres yang akan berlaga di Pemilu 2024 bermasalah. Publik tidak bisa dibohongi lagi bahwa ada cacat hukum dalam pencalonan kontestasi pemilu kita. (Z-10)

Mungkin Anda Menyukai