Perlu Mahkamah EtikAtasi Kerapuhan EtikaPenyelenggara Negara

Perlu Mahkamah Etik Atasi Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara 
Mulai rapuhnya etika penyelenggara negara membuat BPIP menggelar FGD bersama sejumlah pakar, peneliti, guru besar, tokoh agama, dan ahli etika di Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2024).(MI/Usman Iskandar)

WACANA pembentukan lembaga mahkamah etik nasional kembali mengemuka dalam focus group discussion (FGD) yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Jakarta. Hal ini didasarkan fakta bahwa terjadi penurunan etika para penyelenggara negara. 

“Usulan ini menjadi relevan di tengah maraknya keterpurukan etika dan moral para penyelenggara negara. Dibuktikan dengan semakin tingginya kasus korupsi dan amoral dari para penyelenggara negara,” kata Amin Abdullah, salah satu anggota Dewan Pengarah BPIP yang juga jadi host FGD.

Meski begitu, lanjut Amin, menghadirkan lembaga etik masih perlu pembahasan mendalam. Amin belum bisa berbicara banyak karena pembahasan masih dilakukan. 

Baca juga : Pemprov Jawa Barat: Tak Terdapat Aturan Paskibraka Lepas Jilbab

FGD ini, menurut Amin, sebagai bagian dari tanggungjawab BPIP dalam menjawab dan ikut merasakan kerisauan masyarakat pasca-reformasi. Alih-alih membaik, situasi etika penyelenggara negara seakan mundur. ”Masyarakat merasakan keresahan terhadap persoalan etika dan moral dalam penyelenggaraan negara. Kami merasakan itu dan mencoba mencari solusinya,” ungkap mantan Rektor Univesitas Islam Negeri (UIN) Jogja ini.

Cek Artikel:  Wakil Ketua DPD Usul Ketum Parpol tidak Jabat Menteri

FGD dengan tema ‘Etika Demokrasi dan Praktik Hukum’ ini diharapkan menjadi pesan kepada pemerintahan baru, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka untuk kembali menguatkan sistem dan regulasi yang berbasis pada nilai-nilai moral dan etika. “Tema ini kami angkat untuk introspeksi dan evaluasi dalam menyiapkan generasi yang akan datang, generasi minelial, pemerintahan baru, dan masyarakat pada umumnya,” terangnya

Amin mengatakan, FGD  ini direncanakan akan dilaksanakan di tujuh kota. Rekomendasi dari setiap FGD tersebut akan dihimpun dalam kapita selekta atau buku putih yang akan disampaikan kepada pemerintahan baru.

Baca juga : BPIP-Pemkab Klaten Rilis Laras Kumda untuk Perkuat Birui-Birui Pancasila,

Sementara itu Andi Wijayanto, salah satu pakar politik dan pertahanan menyampaikan, demokrasi yang matang membutuhkan sistem perangkat yang lengkap mulai dari doktrin, ideologi, regulasi, kebijakan, kelembagaan, hingga alokasi sumber anggaran dan manusia serta teknologi.

Cek Artikel:  Pertemuan Megawati dan Prabowo Hanya Soal Waktu

Mantan Gubernur Lemhanas ini menyampaikan, cita-cita saat reformasi adalah demokrasi yang matang. Dibutuhkan konsistensi untuk  mencapai demokrasi yang matang. “Demi ini kita (Indonesia) mengalami segregasi demokrasi antara lain karena regulasi yang dibuat cenderung berbenturan,” terang pakar pertahanan ini.

Ia mencontohkan, proses Pilkada (pemilihan kepala daerah). Regulasi yang dikeluarkan oleh tiga lembaga; Mahkamah Akbar, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), saling berbenturan. 

Baca juga : BPIP Minta Tambahan Anggaran Rp100 Miliar, untuk Apa Saja?

“Presiden sendiri menyampaikan bahwa ada kewenangan-kewenangan yang digunakan lembaga negara dalam membuat regulasi, di situ seolah-olah kita tidak memiliki patokan,” ucapnya.

Apabila etika adalah sebuah kunci, Andi menyebut etika harus menjelma jadi regulasi-regulasi positif.

Cek Artikel:  DPR Geram Kelakuan Provider Culas

Hal sama dikatakan Ikrar Nusa Bhakti. Menurutnya etika dalam politik dan hukum saat ini mengalami degradasi yang sangat besar. Dirinya menunjukkan rencana perubahan Rancangan UU Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) oleh DPR telah menunjukkan adanya kepentingan politik. “Indonesia adalah hukum yang harus memperhatikan nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam proses pembuatan regulasi dan produk hukumnya,” tegasnya.

Di tempat yang sama pakar HAM dan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Hafid Abbas-pun menyebut laporan Bank Dunia menyebutkan terjadi banyak penurunan dalam indeks korupsi dan demokrasi di Indonesia. Hal ini akan menjadi ancaman serius terhadap eksistensi negara dan bangsa. 

Hal sama juga disampaikan pakar ekonomi Agustinus Prasetyantoko. “Persoalannya adalah hutang kita naik signifikan, hari ini rasionya mencapai 38% dan tahun depan akan mungkin bisa naik menjadi 40%.” (S-1)
 

 

Mungkin Anda Menyukai