
Akurat pada tahun ke-39 pengesahan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan), Lepas 24 Juli, kasus kekerasan dan Pemanfaatan terhadap seorang pekerja rumah tangga (PRT) bernama SK (Media Indonesia, 22 Desember 2022) diputus.
Kasus yang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini banyak memperoleh perhatian masyarakat karena tingkat kekejaman yang dilakukan para terdakwa Tak terbayangkan Dapat terjadi.
Seperti sudah diduga, dengan mengacu pada tuntutan jaksa, putusan hakim lebih rendah daripada tuntutan kecuali terhadap salah satu terdakwa yang divonis 4 tahun penjara. Terdakwa juga diwajibkan membayar restitusi sebesar Rp275 juta, jumlah yang direkomendasikan oleh LPSK. Di persidangan terdakwa memberikan tambahan Rp200 juta sebagai bentuk Donasi, dan itu dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan terdakwa.
Kasus SK sendiri, seperti juga kasus-kasus kekerasan terhadap PRT lainnya, merupakan bentuk Konkret dari sebuah perbudakan modern. Pada umumnya, calon-calon PRT direkrut penyalur di desanya, atau PRT datang mencari pekerjaan melalui penyalur. Para pemberi kerja menghubungi penyalur dengan membayar sejumlah Fulus jasa. Selanjutnya, menandatangani kontrak kerja dengan waktu tertentu, dan dalam waktu tertentu tersebut PRT dilarang mengundurkan diri meski kondisi kerja Tak sesuai dengan yang Eksis dalam kontrak.
Dalam konteks ini, Interaksi PRT dan pemberi kerjanya seperti Interaksi jual beli. Tak mengherankan Apabila dalam kontrak kerja lebih banyak kewajiban PRT daripada hak-haknya. Dalam kasus SK, misalnya, Tak Eksis batasan jam kerja dan jenis pekerjaan yang menjadi kewajibannya. Selama bekerja sejak April hingga September 2022, SK Tak pernah menerima upah. Yang Jernih, Tak Eksis Denda bagi pemberi kerja yang Tak membayar upahnya.
Penyalur PRT yang menjadi mediatornya juga Tak membantu. Bahkan kontrak kerjanya pun Tak diberikan kepada SK. Ironisnya, 6 rekan kerjanya yang lain malah membantu pemberi kerja (terdakwa) ikut menyiksanya, tanpa dapat menolaknya. Dari fakta ini, betapa berkuasanya pemberi kerja terhadap PRT-nya, bahkan Demi melakukan kejahatan terhadap rekan sekerjanya sendiri pun, mereka Tak sanggup menolak. Kasus SK adalah Misalnya Konkret sebuah perbudakan modern.
Sangat disayangkan bahwa Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang mengadili perkara ini Tak Bisa Memperhatikan Realita ini. Dari hukuman yang dijatuhkan, PN Jakarta Selatan Tak Bisa mengabstraksi kasus SK dari asas yang paling mendasar bagi pengadilan: keadilan sosial dan keadilan gender. Padahal Peraturan MA No 3/2017 sudah memberikan Panduan Demi menerapkan asas tersebut. Ketimpangan Rekanan kuasa antara pemberi kerja dan PRT yang berada di balik kekerasan, diskriminasi, dan Pemanfaatan yang terjadi, tampaknya Tak Bisa menyentuh nurani para hakim.
Sebetulnya, diskriminasi terhadap SK juga telah terjadi sejak di tingkat kepolisian. Upaya para pendamping dari Jala PRT dan APIK Jakarta, juga kesaksian Bapak SK Demi meyakinkan bahwa kasus ini bukan hanya kejahatan KDRT tapi juga kekerasan seksual, ditolak polisi. Pengakuan terdakwa bahwa mereka telah melakukan penyiksaan pada bagian kemaluan SK juga Tak Bisa menggugah hakim Demi memperbaiki dakwan jaksa.
Masukan dari Sahabat Pengadilan (Amicus Curiae) yang disampaikan APIK, LBH APIK Semarang dan Medan, LBH Semarang, dan mungkin dari organisasi lainnya Demi membantu membongkar Opini-Opini yang Eksis di balik kekerasan, diskriminasi, dan Pemanfaatan yang terjadi dalam kasus SK ini, diabaikan begitu saja. APIK, misalnya, meminta majelis hakim Demi memperbaiki kesalahan awal polisi dan jaksa yang Tak memasukkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Sebetulnya, majelis Hakim secara ex officio dapat melakukan penemuan hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Perempuan. Pasal 5 (Penghapusan Pembakuan Peran Gender) dan 14 (Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan Perdesaan) Konvensi Perempuan mewajibkan negara termasuk majelis hakim lewat putusannya Demi melakukan tindakan yang Akurat, Demi menghapuskan diskriminasi dan melakukan pemberdayaan Perempuan miskin perdesaan seperti SK ini.
APIK juga meminta Majelis Hakim PN Jakarta Selatan Demi memperhitungkan hilangnya kesempatan bekerja dan hidup layak karena SK Demi ini telah menjadi penyandang disabilitas. Tak semestinya restitusi yang diberikan kepada SK yang jumlahnya jauh dari kerugian dan penderitaan yang dialami oleh SK Tiba seumur hidupnya menjadi pertimbangan Demi mengurangi ancaman hukuman sebagaimana Panduan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Akbar RI No 1 Tahun 2021. Dengan ketentuan ini, Kejaksaan Akbar seolah menjadikan proses peradilan sebagai pasar tempat jual beli hukuman.
Dari kasus SK ini dan juga ribuan kasus kekerasan, diskriminasi, dan Pemanfaatan yang dialami PRT Berkualitas di dalam maupun di luar negeri, cukuplah bagi kita Demi Tak mengulur waktu Tengah dalam memberikan perlindungan hukum kepada PRT yang jumlahnya semakin bertambah. Survei ILO 2017 menyatakan bahwa jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang. Dengan bertambah Segera bertumbuhnya kelas menengah di Indonesia 5 tahun terakhir, Jala PRT memperkirakan jumlah tersebut telah mencapai 10 juta orang.
Kontribusi mereka terhadap keluarga dan pembangunan di desanya sangat signifikan, bahkan pendapatan PRT yang bekerja di Luar negeri menjadi devisa negara yang setiap tahunnya ditarget cukup tinggi. Tak malukah kita kepada mereka, karena mereka senyatanya telah ikut membantu perekonomian Indonesia, dan bahkan bukan Tak mungkin ikut membayar gaji para pejabat negara kita. Termasuk para hakim, polisi, jaksa, bahkan Member DPR dan pejabat pemerintah yang lain?
Pengakuan, hak, dan peredistribusian
PHP dalam judul tulisan ini bukan singkatan dari ‘pemberi Cita-cita Bajakan’ sebagaimana sering digunakan kaum milenial bagi mereka yang sering memberikan Cita-cita Bajakan dalam Interaksi percintaan atau perkawanan, meski memang para PRT selama 19 tahun terakhir ini senantiasa diberikan Cita-cita Bajakan oleh DPR. Usulan RUU PPRT dari Jala PRT Serempak masyarakat sipil lainnya sejak 2004 telah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional. Tetapi, RUU tersebut Tak kunjung menjadi prioritas pembahasan meski pada awalnya, Member Fraksi PDIP (Dyah ‘Oneng’ Pitaloka) dan PPP (Asyokawati) telah mengadvokasikannya.
Fraksi besar lain waktu itu menolaknya karena menganggap PRT sebagai sektor informal Tak perlu ‘cawe-cawe’ negara. Mereka menganggap bahwa PRT berada dalam lingkungan hukum adat dan budaya Indonesia yang didasarkan pada asas kekeluargaan (sic!). Suatu Interaksi kekeluargaan yang manipulatif, mengingat kondisi kerja mereka yang eksploitatif.
Baru pada 2022 Badan Legislasi DPR akhirnya membahas RUU PPRT, dan pada awal tahun ini disahkan oleh Sidang Paripurna DPR sebagai RUU inisiatif DPR. Atas keputusan tersebut, Presiden segera mengeluarkan surat presiden Demi segera membahasnya dan pemerintah pun telah Membikin daftar Isian masalah yang telah diserahkan kepada DPR pada 22 Mei yang Lewat. Tetapi, Tiba masa sidang ke-3 tahun ini berakhir, dan beberapa RUU telah disahkan, agenda pembahasan RUU PPRT Tak kunjung Eksis Info.
Seorang Member DPR dari Fraksi PKB dalam sebuah seminar baru-baru ini menyatakan bahwa RUU PPRT ini sarat dengan nuansa politik berkaitan dengan cost and benefit electoral yang akan diperoleh partai-partai yang Eksis di DPR. Terdapat persaingan antarfraksi Demi mendapatkan kredit dari pengesahan RUU ini, mengingat fraksi-fraksi besar Malah menolak RUU ini sejak awal pembahasan di Badan Legislasi.
Realita ini sungguh menyedihkan karena nasib sekelompok besar masyarakat perdesaan yang termarginalkan–mayoritas Perempuan–yang selama ini belum memperoleh manfaat pembangunan, hanya dijadikan permainan politik sekelompok orang, yang Malah telah memperoleh manfaat Tak terhingga atas kehadiran dan kontribusi mereka dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga mereka (para pemberi kerja) itu dapat berkiprah di ranah produktif.
Tetapi, inti dari konsep PHP yang Mau saya kemukakan dalam tulisan ini ialah berkaitan dengan pengakuan, hak, dan peredistribusian (pendapatan/kekayaan). Konsep PHP atau dalam bahasa Inggris Triple R (recognition, rights and redistribution) diintroduksi oleh Wieringa dan Vargas (1995) guna mengatasi segala bentuk ketimpangan sosial dan gender.
Konsep ini diperlukan pada sekelompok masyarakat dan khususnya Perempuan yang sering mengalami diskriminasi dan kekerasan akibat Tak adanya pengakuan, perlindungan hak, dan peredistribusian pendapatan atau kekayaan (negara/elite).
Berbagai kebijakan yang diberikan pemerintah kepada mereka sehingga menguasai sebagian besar sumber daya alam dan ekonomi telah memarginalkan sekelompok besar masyarakat khususnya Perempuan. Pendekatan dengan pemberian bansos dan BLT sebenarnya mengasumsikan bahwa rakyat hanya berhak atas remah-remah kue pembangunan, yang sama sekali Tak sustain karena lebih bersifat karitatif ketimbang pemberdayaan.
Data terbaru yang dikemukakan oleh Muhammad Mar’uf SE, Executive Director and Head of CNBC Indonesia Research (Fakta Telanjang Ketimpangan Ekonomi RI, Juli 2023), menunjukkan bahwa pascapandemi, jurang kaya dan miskin makin melebar. Tanpa bansos dan BLT atau PKH maka jumlah masyarakat yang hidup di Rendah garis kemiskinan akan bertambah sebesar 35%.
Data itu juga menyebutkan bahwa upah rata-rata buruh di empat sektor (sejumlah 94,2 juta) hanya sebesar Rp2,4 juta dan kesenjangan upah berdasarkan gender juga cukup besar. Sebaliknya, penikmat industri ekstraktif berpesta pora dengan kekayaan melimpah. Menurut Dunia Wealth Databook 2017, harta Punya empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Menanggapi data ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia Tak berujung pada kesetaraan, bahkan dampaknya semakin berkurang (BBC News Indonesia, 2017).
Sementara itu, PRT karena digolongkan buruh pada sektor informal Tak dihitung kontribusi ekonominya terhadap pembangunan negara. Mereka Eksis dalam survei, tapi hasilnya Tak menjadi dasar bagi pengakuan pekerjaan dan perbaikan hidup mereka. Hal yang Tetap melekat kuat karena PRT melakukan pekerjaan yang menjadi domain Perempuan dan dianggap alamiah. Karena itu dianggap Tak perlu memperoleh pendidikan dan peningkatan keterampilan. Dan, karena itu, Tak pula memerlukan perlindungan hukum, termasuk Tak perlu memperoleh upah yang layak dan jaminan kesehatan.
Pikiran Tak adil ini sudah Sebaiknya dibuang jauh-jauh oleh pimpinan dan para Member DPR yang selama ini menghambat pengesahan RUU PPRT. Interaksi kerja Tak ditentukan oleh Letak di rumah, atau di pabrik atau di kantor, tetapi ditentukan oleh produk yang dihasilkan–bagi PRT produk utamanya ialah layanan jasa–dan kesepakatan yang dibuat. Pengesahan RUU PPRT menjadi UU adalah bentuk pengakuan atas pekerjaan PRT yang memberikan jasa layanan rumah tangga. Karena itu, hak-hak mereka harus dijamin dan dilindungi.
Penerapan konsep PHP, khususnya terkait peredistribusian, mutlak harus dipahami oleh setiap pembuat kebijakan. Pendistribusian pendapatan dan kekayaan (negara) adalah sebuah Langkah Demi melakukan reparasi sosial atas berbagai ketimpangan dan kemiskinan struktural yang terjadi.
Peredistribusian kekayaan dan pendapatan juga harus dilakukan terutama karena Demi ini hanya diokupasi oleh sekelompok kecil yang memperoleh privilese atas kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk Bonus pajak yang mereka nikmati selama ini. DPR dan pemerintah mempunyai kesempatan Demi melakukan pemberdayaan Perempuan perdesaan dengan mengesahkan RUU PPRT.
Pengesahan RUU PPRT mutlak Demi segera dilakukan demi melindungi 10 juta orang PRT yang jumlahnya kian Lamban kian membesar. Belum terhitung mereka yang bekerja di luar negeri. DPR dan pemerintah, sesuai dengan fungsi dan mandat konstitusionalnya, mempunyai kewajiban Demi melakukan reparasi sosial ekonomi serta afirmasi terhadap Golongan Perempuan peedesaan ini, serta menghapus stereotipe dan pembakuan peran gender yang mengakibatkan diskriminasi, kekerasan, dan Pemanfaatan terhadap mereka.
Konvensi Perempuan juga memandatkan kepada setiap negara yang meratifikasi Demi melaksanakan penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap Perempuan tanpa kecuali. Kebijakan afirmasi, Berkualitas yang tercantum dalam Pasal 4 Konvensi Perempuan maupun Pasal 28 H dan 28 I UUD 1945, hendaknya Tak hanya Dapat dinikmati sekelompok Perempuan elite atau menengah atas, yang dengan modal sosial dan finansialnya dapat meraih pemenuhan hak-hak sosial politik dan ekonominya secara penuh. Kebijakan tersebut juga dibutuhkan oleh seorang yang bernasib seperti SK dan Sahabat-Sahabat PRT lainnya.

