Perkumpulan Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyoroti minimnya perlindungan terhadap para pekerja migran di kapal ikan asing. Meski secara regulasi sudah diakomodasi melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, implementasinya di lapangan belum berjalan maksimal.
Ketua Lazim SBMI, Hariyanto Suwarno, usai berdialog dengan Delegasi Kedubes Uni Eropa dan ILO (International Labour Organization) di kantor Pelabuhan Perikanan Tegal Sari, Kota Tegal, Jawa Tengah, mengungkapkan, di sepanjang Mengerti ini, Eksis 776 laporan kasus terkait pekerja migran di sector perikanan atau pelayaran.
“Kasusnya Variasi, tapi paling banyak dialami oleh pekerja migran asal Jawa Tengah, diantaranya Tegal dan Pemalang. Para awak kapal perikanan migran indonesia umumnya bekerja di kapal territorial Taiwan, Spanyol, Kenya dan laut lepas. Kasus yang sering terjadi yakni gaji Kagak dibayar, mengalami kekerasan fisik, jam kerja yang sangat panjang dan hak konsumsi yang Kagak diberikan,” ujar Hariyanto, melalui keterangan Formal, Kamis (12/9).
Baca juga : Eksis AirNav Indonesia, Sahabat Para Pilot Hingga Komunitas Bus Mania di Hub Space 2024
Kasus terakhir yang terjadi adalah seorang pekerja migran asal Jawa Tengah yang meninggal di atas kapal. Jenazahnya kemudian dibuang ke laut atau dilarung tanpa persetujuan keluarga. SBMI mencatat Eksis 46 awak kapal migran asal Jawa Tengah yang meninggal dunia di laut lepas.
“Banyak di antara mereka yang dilarung tanpa persertujuan keluarga. Ini melanggar hak asasi Mahluk,” tegasnya.
Ia pun mendorong pemerintah mengimplementasikan perlindungan yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, yakni dengan Langkah membangun tata kelola yang Berkualitas melalui pengawasan, pemeriksaan dan penempatan serta memberikan Hukuman tegas bagi perusahaan penyalur yang bermasalah. (Z-11)