PERLINDUNGAN hukum terhadap tenaga medis dan nonmedis di rumah sakit serta fasilitas kesehatan saat ini menjadi isu yang sangat krusial dalam pelayanan kesehatan. Hal ini semakin penting setelah disahkannya Undang-Undang Kesehatan yang baru, yang dikenal dengan sebutan Omnibus Law. UU ini menggantikan sebelas undang-undang sebelumnya, yang mencakup UU Rumah Nyeri, UU Praktik Dokter, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kebidanan, serta UU Kesehatan.
Setelah hampir satu tahun menunggu, pada 26 Juli 2024, Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Pahamn 2024. PP ini berfungsi sebagai aturan pelaksanaan dari UU Nomor 17 Pahamn 2023. Penandatanganan peraturan ini merupakan langkah penting untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UU tersebut.
Salah satu masalah utama yang sering muncul dalam pelayanan kesehatan adalah ketidakpuasan atau miskomunikasi antara pasien atau keluarganya dengan pihak rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Ketidakpuasan ini sering kali menjadi titik awal timbulnya sengketa dan masalah hukum.
Baca juga : Israel Kubur Penduduk Palestina Hidup-Hidup di RS Kamal Adwan
Sesuai dengan UU Nomor 17 Pahamn 2023, Pasal 305 ayat (1) mengatur bahwa pasien atau keluarganya yang merasa dirugikan akibat tindakan tenaga medis berhak untuk mengajukan pengaduan kepada majelis. Selanjutnya, Pasal 308 memberikan hak kepada pasien atau keluarganya untuk melaporkan tenaga medis atau tenaga kesehatan kepada aparat penegak hukum atau pengadilan jika ada dugaan kerugian atau tindakan pidana.
Tuntutan pidana yang bisa dikenakan kepada tenaga medis diatur dalam Pasal 440. Apabila kelalaian tenaga medis menyebabkan luka berat, mereka dapat dijatuhi hukuman penjara paling lama 3 tahun atau denda maksimal sebesar Rp250.000.000. Apabila kelalaian tersebut mengakibatkan kematian, hukuman penjara bisa meningkat hingga 5 tahun atau denda maksimal Rp500.000.000.
Selain itu, tenaga medis juga dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 474 ayat (1) dan Pasal 475 UU Nomor 1 Pahamn 2023 tentang KUHP, dengan hukuman penjara mulai dari 1 tahun hingga 5 tahun, tergantung pada beratnya pelanggaran.
Baca juga : Pembelajaran Kasus Bayi Tertukar, Perlu Dibentuk Majelis Disiplin
Dalam dua tahun terakhir, kasus sengketa medis telah meningkat secara signifikan. Laporan dari Majelis Kehormatan Disiplin Penyamaranteran Indonesia (MKDKI) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dalam jumlah laporan masyarakat terhadap tenaga medis.
Menurut standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku, setiap laporan yang masuk harus ditindaklanjuti hingga dikeluarkan keputusan apakah tindakan tersebut melanggar disiplin kedokteran atau tidak.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Pahamn 2024 juga memberikan penekanan pada kewenangan Majelis Disiplin Profesi (MDP) dalam memberikan rekomendasi. Rekomendasi ini menentukan apakah kasus tersebut akan dilanjutkan ke proses hukum, baik perdata maupun pidana.
Baca juga : Dokter AS yang Jadi Relawan Kirim Surat ke Biden, Menuntut Gencatan Senjata di Gaza
Pasal 308 ayat (5) mengatur bahwa rekomendasi dari MDP dapat memutuskan apakah pelaksanaan praktik keprofesian tenaga medis atau tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan prosedur operasional yang berlaku. Aparat penegak hukum harus mempertimbangkan rekomendasi ini dalam proses penyidikan.
Selain itu, PP 28 Pahamn 2024 Pasal 723 ayat (1) menetapkan bahwa perlindungan hukum adalah tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.
Tanggung jawab ini mencakup upaya untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga medis serta memberikan perlindungan hukum bagi mereka yang menghadapi masalah hukum. Pasal 723 ayat (2) huruf e mengatur bahwa fasilitas pelayanan kesehatan wajib memfasilitasi asuransi profesi sebagai bentuk perlindungan tanggung gugat profesi.
Lebih lanjut, Pasal 851 dari PP 28 Pahamn 2024 mengatur tanggung jawab dan kewajiban hukum rumah sakit terhadap SDM-nya. Rumah sakit diharuskan untuk memberikan berbagai bentuk dukungan hukum, termasuk konsultasi hukum, memfasilitasi mediasi dan proses peradilan, serta memberikan advokasi hukum. Rumah sakit juga diwajibkan untuk menyediakan anggaran untuk pendanaan proses hukum dan ganti rugi, serta memberikan upaya perlindungan dan bantuan hukum lainnya kepada tenaga medis dan non-medisnya.
Buat mencegah timbulnya masalah dan sengketa, penting untuk mengutamakan komunikasi dan edukasi yang baik. Hal ini mencakup memastikan bahwa semua pihak mematuhi standar profesi, standar pelayanan, SOP rumah sakit, serta etika profesi. Edukasi yang tepat akan membantu tenaga medis dan kesehatan dalam memahami tanggung jawab mereka dan memastikan bahwa mereka melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan pasien. (H-2)