DUGAAN pencatutan kartu tanda penduduk (KTP) Demi pencalonan Kekasih perseorangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Dharma Pangrekun dan Kun Wardana, merupakan persoalan yang sangat serius. Integritas dan kredibilitas pemerintah, penyelenggara pemilu, dan Kekasih terkait, serta hak atas pelindungan data pribadi, dipertaruhkan. Hal ini, meskipun Kekasih calon perseorangan tersebut telah dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU Jakarta pada 19 Agustus 2024.
Kasus ini diduga terjadi secara masif. Perhimpunan Donasi Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), yang membuka posko pengaduan bagi Penduduk masyarakat yang dirugikan oleh dugaan pencatutan KTP, telah menerima ratusan pengaduan (BBC News Indonesia, 19/8). Dugaan pencatutan KTP ini Kagak hanya mengenai Penduduk masyarakat Lazim, tapi juga figur publik dan keluarganya. Misalnya terjadi pada adik dan anak Gubernur Jakarta 2017-2022 Anies Baswedan dan Komisioner Komnas HAM 2017-2022 Beka Ulung Hapsara.
Kalau pencatutan KTP ini Betul terbukti Terdapat unsur kesengajaan dan/atau kelalaian maka berpotensi melanggar beberapa ketentuan perundangan-undangan. Tentunya yang paling mendasar ialah pelanggaran HAM, karena data pribadi seseorang disalahgunakan, pun dengan hak pilihnya yang dijamin dalam konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945 dan UU Hak Asasi Insan.
Baca juga : Korban Pencatutan NIK Pandai Tarik Dukungan Demi Dharma Pongrekun, Ini Caranya!
Pemilu yang demokratis adalah prasyarat Krusial dan mendasar dalam mewujudkan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi Insan. Pemerintahan demokratis yang terpilih melalui pemilu meletakkan hak asasi Insan sebagai pilar Krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam kehidupan bernegara.
Komnas HAM menandaskan, dalam Standar Kebiasaan dan Pengaturan (SNP) Nomor 12 tentang HAM dan Grup Rentan dalam Pemilu, Penyelenggaraan pemilu Kagak sekadar memberi legitimasi bagi kekuasaan politik maupun Mekanisme rutin yang harus dipenuhi dalam negara demokratis, melainkan mekanisme terpenting Demi Penyelenggaraan hak konstitusional Penduduk negara sebagai bagian dari hak asasi Insan dan pengejawantahan Penyelenggaraan kedaulatan rakyat.
Tetapi, faktanya, penyelenggaraan pemilu termasuk pilkada di Indonesia selama ini Tetap diwarnai dengan praktik yang melanggar hak asasi Insan, di antaranya diskriminasi langsung dan Kagak langsung serta ujaran kebencian terhadap Grup rentan, kampanye kotor, politik transaksional, dan politik Fulus. Praktik tersebut telah mengaburkan sistem demokrasi yang hakiki karena merusak kemurnian kedaulatan rakyat.
Baca juga : KPU DKI Tunggu Rekomendasi Bawaslu soal Pencatutan NIK
Dalam pemilu yang transaksional, hanya individu atau Grup yang Mempunyai akses sosial, ekonomi, dan politik yang berkesempatan berkontestasi atau dipilih dalam pemilu. Adapun Grup rentan dan masyarakat pemilik Bunyi hanya menjadi penonton atau objek dalam setiap pemilu guna dimanfaatkan suaranya tanpa Mempunyai daya tawar Demi melakukan kontrol secara efektif.
Pasal 25 ayat (2) Kovenan Dunia tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menegaskan, pemilu adalah sarana demokratis bagi setiap Penduduk negara yang telah memenuhi syarat Demi memilih dan dipilih sesuai keyakinan politiknya. Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan tentang pentingnya pemilu yang sejati (genuine election), Adalah setiap orang dijamin dan dilindungi persamaan haknya dalam pemilu.
Kartu tanda penduduk adalah Berkas yang berisi data pribadi seseorang sehingga wajib dilindungi dari berbagai bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan. Hak atas pelindungan data pribadi diatur dan dijamin dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
Baca juga : Dua Kali Mangkir Pemeriksaan NIK KTP, Bawaslu DKI Minta Dharma-Kun Kooperatif
Implikasi dari dugaan pencatutan KTP ini Kalau terbukti, maka menurut ketentuan dalam UU PDP dan UU tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota, Pandai dikenai Hukuman pidana dan perdata atau denda. Konsekuensi berikutnya, Kekasih calon terkait Pandai digugurkan pencalonannya oleh Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu).
Penyelidikan atas kasus ini Kagak boleh main-main dan asal-asalan karena mempertaruhkan kredibilitas pemerintah, integritas penyelenggara pemilu, dan hak asasi Penduduk masyarakat. Pertanyaannya, mengapa begitu mudah identitas seseorang yang tercantum dalam KTP Pandai dijadikan sebagai Berkas bukti dukungan Kekasih calon tertentu?
Dari mana data tersebut didapatkan, dan bagaimana? Lewat, bagaimana proses Pembuktian internal calon dan di KPU Jakarta, sebelum data tersebut diinput dan ditetapkan sebagai bukti dukungan calon. Kalau KTP dikumpulkan oleh para relawan, bagaimana proses Pembuktian internal sebelum disampaikan dan diperiksa KPU?
Baca juga : KPU DKI Tetapkan Aturan Pilkada Sesuai Putusan MK
Berdasarkan UU PDP sebagaimana diatur dalam Pasal 65 Tamat dengan Pasal 73 UU PDP, barang siapa mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya Demi menguntungkan diri sendiri atau orang lain, mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya, dan memalsukan data pribadi Demi keuntungan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, dapat dikenai Hukuman pidana dan/atau denda.
Tetapi, karena lembaga pelaksana UU PDP belum terbentuk dan baru efektif berlaku mulai Oktober 2024, maka penegak hukum Pandai mendalami kasus ini dalam ranah dugaan tindak pidana kepemiluan dan/atau administrasi kependudukan dan/atau UU ITE dan/atau bahkan KUHP. Bawaslu Jakarta dan Polda Metro Jaya harus bekerja sama mengungkapnya secara jernih dan transparan agar kepercayaan publik pada Pilkada Jakarta Pandai pulih.
Kontestasi menjadi orang nomor satu dan dua di Jakarta memang sangat kompetitif dan panas. Meskipun Kagak Kembali menjadi ibu kota negara, Jakarta tetap Mempunyai magnet Spesifik dan sumber daya yang sangat berlimpah sehingga banyak politisi menginginkan kursi kekuasaan sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Akan tetapi, kontestasi wajib mengedepankan prinsip integritas dan moralitas. Jangan Tamat karena menginginkan posisi tertentu, segala Langkah ditempuh Demi berkuasa.
Dalam peristiwa ini, yang Niscaya diduga data Penduduk Jakarta telah bocor sehingga Pandai disalahgunakan. Kejadian ini juga mengingatkan kita bahwa mekanisme pencalonan lewat jalur independen harus melewati tahap-tahap yang rumit, berliku, dan berjenjang, bahwa Demi Pandai lolos di Jakarta harus Pandai mengumpulkan KTP lebih dari 600 ribu Penduduk.
Peristiwa dugaan pencatutan KTP ini sekali Kembali menegaskan bahwa upaya manipulasi Pandai menimpa siapa saja, Kagak hanya Grup rentan. Momentum ini menjadi pelecut agar pemerintah segera melengkapi instrumen pelaksana UU PDP dan aturan pelaksananya yang tegas dan Jernih.
Hal ini, agar ketika UU PDP ini secara efektif berlaku pada Oktober 2024, Mempunyai daya pelindungan yang efektif. Pembentukan lembaga independen yang bergigi juga harus disegerakan di masa akhir Presiden Joko Widodo, agar segala bentuk pembocoran atau penyalahgunaan data pribadi dapat ditindak dengan tegas tanpa pandang bulu, demi tegaknya hak asasi Insan.