Perlawanan Kaum Muda

BABAK baru konstelasi dukungan terhadap capres bermunculan kurang dari sebulan menjelang pesta demokrasi 14 Februari. Penghentian paksa videotron calon presiden Anies Baswedan di Jakarta dan Bekasi yang dipasang anak-anak muda pengemar K-pop menjadi pemantiknya. Penghentian paksa penayangan video elektronik itu bukannya membuat ciut nyali, tetapi justru menumbuhkan perlawanan dalam bentuk partisipasi yang meluas.

Mereka kembali memasang videotron di sejumlah daerah, seperti Banda Aceh, Medan, Yogyakarta, Surabaya, Gorontalo, dan Sangatta, Kalimantan Timur. Videotron yang dipasang di wilayah-wilayah strategis itu pun menyedot perhatian publik. Ibarat mati satu tumbuh seribu, patah tumbuh hilang berganti.

Hebatnya lagi, biaya pemasangan video elektronik itu mereka sangga sendiri secara urunan. Di sejumlah platform media sosial, mereka mengajak para simpatisan untuk berpartisipasi melalui donasi. Hasil donasi itulah yang digunakan untuk membiayai penayangan videotron tersebut.

Dari sederet videotron itu, publik pun bisa mengetahui pesan yang disampaikan. Hasil karya seni dan semangat anak muda pendukung capres 01 yang tergabung dalam Aniesbubble atau Humanies ini menyampaikan pesan yang jelas bahwa segala bentuk hadangan, intimidasi, ataupun teror tidak menghentikan tekad mereka. Mereka pantang mundur dan rela berkorban urunan membuat videotron dan karya-karya sejenis di media digital.

Cek Artikel:  Rontokkan Metode Usang demi Damai Papua

Penghentian paksa videotron Anies di Jakarta dan Bekasi juga justru kian ramai diperbincangkan di media arus utama dan media sosial. Perbincangan itu sebagian besar berisi penolakan dan perlawanan anak muda atas segala bentuk represi, pengekangan, maupun intimidasi.

Alhasil, anak-anak muda makin terkonsolidasi dan semangat mereka berkobar untuk memenangkan paslon yang didukung.

Bukan hanya videotron, perlawanan komunitas muda ini bahkan melebar dalam bentuk urunan di jagat X untuk membuat truk LED di Jakarta dan sejumlah kota di Tanah Air. Video elektronik bergerak itu diangkut menggunakan truk, berkeliling kota, untuk menyampaikan pesan-pesan visi dan misi paslon 01.

Dari kasus penjegalan videotron Anies di Jakarta dan Bekasi, anak-anak muda menjadi tahu ada praktik lancung perpolitikan di Tanah Air yang berambisi memenangkan paslon tertentu. Paslon ini didukung seluruh elemen pemerintahan dan kekuasaan.

Mereka menjadi tahu bahwa tidak mudah menegakkan demokrasi dengan bersendikan etika dan hukum. Mereka, anak-anak muda itu, merasakan sendiri bagaimana kekuasaan didayagunakan amat eksesif untuk memenangkan calon tertentu, termasuk dengan cara menghambat kreativitas yang menjadi ciri khas mereka.

Cek Artikel:  Obral Remisi Manjakan Koruptor

Dari pengekangan, hambatan, bahkan penjegalan itu, kini justru bertumbuhan politik partisipatoris. Anak-anak muda itu menyampaikan pesan penting kepada siapa saja, terutama penyelenggara negara, bahwa satu langkah bisa saja dikebiri, tetapi spirit mereka tetap hidup. Mereka menunjukkan praktik sejati dari demokrasi, yakni partisipasi asli, bukan seolah-olah partisipasi padahal sesungguhnya mobilisasi.

Cita-cita para pendiri bangsa menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi ialah demi memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan negara adil dan makmur. Demokrasi seharusnya menjiwai proses-proses pengambilan kebijakan, tidak hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan lain-lain.

Kehadiran anak-anak muda pendukung Anies bak oase di tengah merebaknya budaya politik mobilisasi dan cara-cara culas yang dipertontonkan elite yang tamak kekuasaan. Kehadiran mereka menepis anggapan bahwa anak muda apatis terhadap politik. Anak-anak muda itu menepis stigma bahwa mereka asyik dengan dunia mereka sendiri.

Cek Artikel:  Independenitas Jokowi Jangan Hanya Omong-Omong

Kepedulian mereka dalam memilih pemimpin negeri ini menunjukkan politik partisipatoris yang menggembirakan. Mereka adalah pemilik 52% suara dalam pilpres.

Sejarah pergerakan Indonesia adalah sejarah anak muda. Mulai dari Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Natsir, Syahrir, dan sebagainya. Mereka tidak pernah mundur sejengkal pun melawan koloanialisme.

Begitu pun kemerdekaan Indonesia, tidak akan tercapai dalam waktu cepat jika anak muda Sukarni Kartodiwirjo dan Chairul Saleh lamban bergerak untuk memaksa Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI.

Perlawanan anak muda terhadap kecurangan, tekanan, dan teror dalam pilpres akan menggelinding terus seperti bola salju. Strategi kampanye Desak Anies dan berkomunikasi via aplikasi media sosial mampu menyasar generasi Z dan milenial, membangunkan kesadaran bahwa di tangan merekalah nasib bangsa ini ke depan dipertaruhkan.

Anak muda punya energi dan daya pikir kritis sehingga mereka bisa menentukan sikap politik yang waras, bukan membebek karena terbius politik gimik. Anak muda berperan tanpa perlu baperan. Mereka menolak mobilisasi dan memilih partisipasi asli.

Mungkin Anda Menyukai