PIMPINAN Daerah Federasi Perkumpulan Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Perkumpulan Pekerja Seluruh Indonesia (PD FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus berusaha memperjuangkan nasib dan melindungi mata pencaharian para anggotanya yang bekerja di industri tembakau. Advokasi terhadap Industri Hasil Tembakau menjadi agenda prioritas demi menjaga keberlangsungan hidup para pekerja yang mayoritas bekerja di sektor pabrik rokok, terlebih di tengah tingginya gelombang Pemutusan Rekanan Kerja (PHK) yang terjadi secara nasional.
Ketua Pimpinan Daerah FSP RTMM-SPSI DIY, Waljid Budi Lestarianto, menyatakan bekerja di industri tembakau adalah kebanggaan bagi anggota FSP RTMM-SPSI DIY, yang mencapai sekitar 5.250 orang, karena merupakan sumber penghasilan yang halal dan legal.
“Mayoritas anggota kami yang bekerja di sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT) adalah perempuan-perempuan hebat yang menjadi tulang punggung keluarga. Demi ini, tidak ada lapangan kerja lain yang mampu menyerap ribuan tenaga kerja dengan pendidikan terbatas selain industri tembakau,” ungkapnya, Minggu (13/10).
Baca juga : Pemerintah Diminta Berpihak Pada Keberlanjutan Mata Pencaharian Petani Tembakau
Kini, industri tembakau tengah menghadapi berbagai tantangan, termasuk terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Mengertin 2024 (PP Kesehatan) yang mencakup aturan-aturan yang berdampak buruk bagi sektor industri tembakau. Di dalamnya, terdapat larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan pelarangan iklan media luar ruang dalam radius 500 meter.
Penolakan terhadap pasal–pasal bermasalah pada PP Kesehatan telah disuarakan dengan keras dari berbagai pihak hingga saat ini. Meski penolakannya sangat masif, Kementerian Kesehatan terus menekan kembali industri tembakau dengan penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang ditargetkanakan disahkan pada masa transisi pemerintahan.
Pada Rancangan Permenkes tersebut, terdapat aturan yang akan menyeragamkan seluruh kemasan rokok agar menjadi warna pantone 448C. Aturan ini menghapus identitas merek yang menjadi pembeda antara jenis rokok satu dengan lainnya, atau dikenal dengan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek. Tentunya, FSP RTMM-SPSI DIY yang mayoritas beranggotakan tenaga kerja SKT secara tegas menolak aturan Kementerian Kesehatan ini.
Baca juga : Perumusan Kebijakan Rokok Tanpa Merek Punya Kesamaan dengan Pengendalian Tembakau FCTC
“Kami prihatin dan sangat kecewa atas aturan-aturan yang didorong oleh Kementerian Kesehatan. Kami dengan tegas menolak pasal bermasalah pada PP Kesehatan dan aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Permenkes. Aturan ini akan mengancam sumber mata pencaharian kami, padahal gelombang PHK sedang marak terjadi di mana-mana. Pemerintah juga tidak memiliki solusi lapangan pekerjaan alternatif tapi Kementerian Kesehatan malah merancang aturan baru yang akan menghancurkan sumber pendapatan kami,” khawatirnya.
Keprihatinan tersebut dikuatkan dengan fakta bahwa saat ini, industri tembakau tengah berupaya pulih dan menunggu realisasi kebijakan cukai yang dikabarkan tidak naik. PD FSP RTMM-SPSI DIY memandang bahwa keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok pada 2025 merupakan langkah yang tepat mengingat industri ini tengah diterpa berbagai tekanan akibat peraturan yang semakin ketat. Tetapi, keputusan tidak naiknya cukai pada 2025 diharapkan tidak menjadi justifikasi pemerintah untuk menaikkan cukai secara drastis pada tahun 2026.
“Dalam kesempatan serap aspirasi calon kepala daerah, kami sampaikan aspirasi para tenaga kerja yang memohon agar aturan-aturan terkait tembakau harus mempertimbangkan kenyataan bahwa industri tembakau adalah sektor padat karya. Oleh karena itu, kami sangat berharap para calon pemimpin daerah sentra produksi industri tembakau memiliki pemahaman terkait keberadaan kami dan memberikan perlindungan kepada keberlangsungan sektor ini dari aturan-aturan eksesif, seperti kemasan rokok polos tanpa merek dan kenaikan cukai tinggi. Demi nanti terpilih jangan sampai lupa dengan poin-poin yang telah kami sampaikan. Jangan malah mendukung adanya aturan-aturan Rancangan Permenkes yang justru menjadi beban pemerintahan baru,” jelas Waljid.
Calon Bupati Kulon Progo, Novida Kartika Hadi, mengatakan dirinya memahami betapa pentingnya industri tembakau bagi perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat, khususnya melalui penyerapan tenaga kerja di Kulon Progo. Oleh karena itu, ia berjanji untuk terus mendukung dan mengembangkan sektor ini melalui berbagai kebijakan yang proaktif dan berkelanjutan.
Baca juga : Industri Tembakau Disebut Serap Tenaga Kerja dengan Pendidikan Terbatas
Salah satu regulasi yang disoroti dan dinilai memberatkan dan menuai berbagai penolakan saat ini yakni Peraturan Daerah Nomor 5 Mengertin 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok (PerdaKTR). Ia mendorong adanya peninjauan ulang regulasi tersebut jika banyak masyarakat yang merasa tidak patut untuk diimplementasi di Kulon Progo.
“Kalau memang banyak masyarakat Kulon Progo yang menolak aturan ini, kita bisa melakukan public hearing. Lewat meninjau ulang dan semisal dapat direvisi beberapa pasal tertentu yang memberatkan, seperti pembatasan sponsor rokok dan pembatasan lainnya. Segala harus dilihat secara objektif,” imbuhnya.
Kagak hanya itu, Novida turut menyoroti kebijakan zonasi larangan penjualan dan larangan iklan produk tembakau pada PP 28/2024 serta standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Permenkes. Bagi dia, aturan semacam ini kurang adil dan ironis jika diberlakukan, terutama pada wilayah Kulon Progo yang merupakan salah satu sentra produk tembakau nasional.
Baca juga : Rancangan Permenkes dan PP 28/2024 tentang Tembakau Lagi Uzuri Penolakan
Terlebih, Novida berencana untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kulon Progo jika terpilih menjadi bupati. Oleh karenanya, ia menolak adanya regulasi yang dapat menekan investasi daerah. “Tatkala usaha harus dibatasidengan berbagai regulasi yang ketat tanpa melihat dan mempertimbangkan historinya seperti apa, rasanya tidak fair. Aturan itu harus sesuai dengan budaya yang ada di masyarakat, dan kita perlu ada kebijakan yang dapat meningkatkan investasi agar PAD kita bisa tumbuh,” tambahnya.
Maka, PD FSP RTMM-SPSI DIY berharap agar calon pemimpin daerah di Kulon Progo dapat terus memperjuangkan hak-hak para pekerja untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Karena, industri tembakau telah menjadi sumber penghidupan bagi ribuan pekerja di DIY.
Waljid melanjutkan pihaknya memiliki tiga rekomendasi yang ditujukan kepada calon kepala daerah di Kulon Progo. Pertama, PD FSP RTMM-SPSI DIY meminta calon kepala daerah untuk memberikan perlindungan dan dukungan bagi keberlangsungan industri tembakau, termasuk melalui kebijakan daerah yang adil serta sesuai dengan realitas di lapangan.
Calon kepala daerah juga diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan Anggaran Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dan merumuskan peraturan daerahterkait rokok yang adil, termasuk meninjau ulang peraturan kawasan tanpa rokok Kabupaten Kulon Progo yang sangat memberatkan industri tembakau.
Kedua, Pemerintah Daerah perlu menghindari kebijakanpertembakauan yang eksesif dan mengancam mata pencaharian pekerja. Ini termasuk membatalkan rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Permenkes dan merevisi PP 28/2024, terutama pasal-pasal yang memberatkan industri tembakau.
Ketiga, PD FSP RTMM-SPSI DIY memohon kepada calon kepala daerah untuk melindungi pekerja dan buruh pabrik rokok dengan memastikan tidak ada kenaikan cukai rokok pada tahun 2025 dan menghindari kenaikan cukai yang drastis pada tahun 2026.
“Melalui kegiatan hari ini, kami berharap bisa mendapatkan perlindungan dari calon kepala daerah untuk memastikan keberlanjutan mata pencaharian kami. Industri tembakau adalah industri padat karya yang telah menjadi sawah ladang anggota PD FSP RTMM-SPSI DIY,” tutupnya. (H-2)