Peringatan untuk Jokowi

KERESAHAN publik menyaksikan langkah-langkah eksesif Presiden Joko Widodo yang melawan demokrasi, kian memuncak. Keresahan itu berhimpun dengan kegeraman dan amarah. Marah karena semakin diingatkan, tindak-tanduk Jokowi malah semakin terlihat dalam upaya menekuk-nekuk demokrasi.

Kekerasan hati Presiden kiranya membuat beragam kritik belum bisa menyentuh hati Presiden. Ia terlihat tidak mempan disindir, tak memedulikan peringatan. Jokowi sejak awal diberi nasihat agar tak memaksakan anaknya masuk sebagai kandidat dalam Pilpres 2024, tapi ia seperti tidak memedulikannya.

Jokowi disindir sedang membangun jejaring dinasti di kancah politik nasional, tapi ia bergeming, memilih tak mendengar sindiran itu. Para kritikus menyindir selagi masih memungkinkan dia bisa mengontrol kekuasaan, jalan dinasti dan nepotisme pun tak menjadi soal untuk dilakukan.

Cek Artikel:  Menolak Intimidasi dalam Pemilu

Lewat, Presiden Jokowi juga berkali-kali diingatkan supaya tetap bersikap netral dalam Pemilu 2024, sesuai dengan kapasitasnya sebagai kepala negara. Itu pun sama sekali tidak digubrisnya. Keberpihakannya terhadap kandidat tertentu justru semakin terang-terangan.

Ketidaknetralan itu bahkan tak malu ia pertontonkan di hadapan publik lewat manuver dan akrobat-akrobat politik yang dibungkus dalam kunjungan kerja presiden, program pemberian bansos, dan sejenisnya. Pendeknya, tindak-tanduk Jokowi sudah semakin jelas dan nyata melawan prinsip demokrasi.

Maka, menjadi amat wajar bila keresahan publik kian menumpuk. Kemarahan makin membubung. Tak hanya masyarakat sipil pada umumnya; para pakar, tokoh bangsa, rohaniwan, ulama, civitas akademika kampus, dan aktivis prodemokrasi pun sudah mulai bergerak.

Cek Artikel:  Cawe-Cawe Abaikan Harga Pangan

Mereka sudah dalam satu keputusan bahwa perilaku Presiden telah merusak demokrasi dan tak boleh lagi didiamkan. Mereka mendesak Jokowi kembali kepada kesejatian demokrasi, sebuah prinsip yang sejak awal didesain untuk mengunggulkan kepentingan rakyat, bukan untuk memenuhi ambisi kekuasaan satu orang dan kelompoknya.

Bagaimana pun, kekuasaan, apalagi yang dilahirkan dari rahim demokrasi, harus dikritisi. Tak boleh kekuasan dibiarkan berjalan tanpa kontrol. Tanpa kontrol, tanpa pengawasan, penguasa dapat bertindak semena-mena sekaligus memupuk mental otoriter. Gejala-gejala otoritarian itu kini semakin terlihat.

Karena itu, sudah selayaknya Presiden diberi peringatan keras. Sekeras-kerasnya. Membiarkan penguasa merusak sistem kepublikan dan ketatanegaraan bernama demokrasi, sama saja kita ikut menyumbang kerusakan itu.

Cek Artikel:  Pikiran Sehat Benteng Konstitusi

Pada saat sama, Jokowi juga mesti menghentikan segala bentuk penyimpangan yang dilakukan dirinya maupun aparat, pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakangnya. Presiden harus kembali mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial, setelah sekian lama ia dimabukkan oleh ambisi menomorsatukan keluarga dan kroni-kroninya.

Mungkin Anda Menyukai