DALAM teori kekacauan (chaos theory), ada satu istilah yang sempat populer pada awal tahun 2000-an, yakni butterfly effect atau efek kupu-kupu. Istilah ini sering dipakai dalam industri hiburan sebagai judul buku, film, lagu, dsbnya. Istilah efek kupu-kupu, berasal dari makalah berjudul Predictability: Does the Flap of a Butterfl y’s Wings in Brazil set off a Tornado in Texas? yang dipresentasikan oleh seorang ilmuwan AS bernama Edward Norton Lorenz.
Dalam makalah itu, Lorenz mengatakan bahwa kepak saya seekor kupu-kupu mewakili suatu perubahan kecil di kondisi awal pada suatu sistem, yang dapat memicu rangkaian proses berantai dan berujung pada peristiwa besar yang amat sulit diprediksi. Sebaliknya, jika kepak sayap kupukupu tidak terjadi, rangkaian peristiwa yang mengikutinya akan juga berbeda.
Edward Lorenz ialah seorang ahli meteorologi terkemuka dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), yang selama berpuluh-puluh tahun menekuni bidang simulasi cuaca dengan menggunakan pemodelan matematik. Konsep tentang efek kupu-kupu yang diusulkan Lorenz, memiliki peran penting dalam memahami bagaimana kondisi awal dari rangkaian proses yang terjadi di suatu entitas menjadi penentu hasil akhir. Artinya, kondisi awal bersifat deterministik terhadap lintasan/trayektori kejadian-kejadian berantai dalam suatu peristiwa berskala besar.
Gagasan mengenai kondisi awal ini, memberi kontribusi penting dalam bidang teori kekacauan, yang manfaatnya tidak hanya dalam pemodelan sistem alam semesta yang begitu kompleks. Tetapi, juga dapat digunakan untuk memahami perilaku sistem sosial, khususnya di dalam situasi krisis.
Pada dasarnya, setiap krisis yang terjadi di sistem sosial bersifat kompleks, dalam arti nyaris tidak ada struktur yang terbentuk selain pola ketidakberaturan. Karena itu, tingkat ketidakpastian dalam suatu peristiwa krisis mengalami peningkatan yang membuat kita sulit memprediksi secara pasti, proses yang terjadi akibat perilaku sosial yang bersifat acak (random behavior). Inilah yang terjadi di dalam peristiwa bencana, di mana struktur dan tantanan sosial mengalami disrupsi, dan berhenti berfungsi secara normal.
Karena bencana ialah rangkaian peristiwa, yang ditandai dengan kekacauan dan proses yang acak ialah hampir mustahil untuk menentukan pola perilaku dari setiap individu, dan kelompok manusia yang mengalami musibah akibat misalnya gempa bumi, erupsi gunung berapi, tsunami, angin topan, wabah penyakit, dsbnya.
Ini ialah konsekuensi dari banyaknya variabel yang menentukan dan membentuk respons suatu komunitas, ketika, terjebak dalam situasi bencana. Terlebih lagi, jika komunitas tersebut tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam mengantisipasi, dan memitigasi kondisi bencana yang penuh dengan mara bahaya (hazard), yang bersifat letal dan fatal.
Dalam sudut pandang ini, konsep ‘efek kupu-kupu’ dalam Teori Kekacauan menjadi sangat relevan. Dari teori ini, kita bisa belajar bahwa dampak dan kerusakan dari suatu bencana sangat ditentukan oleh bagaimana komunitas atau masyarakat merespons pada saat awal ketika suatu peristiwa bencana mulai menyeruak. Apakah suatu peristiwa bencana berdampak besar dan jangka panjang, atau dia hanya menjadi peristiwa sesaat dengan dampak yang minimal, sangat ditentukan oleh bagaimana suatu sistem atau komunitas memiliki kemampuan untuk mengambil sikap waspada, dan antisipatif pada tahap awal bencana.
Di sinilah peran peringatan dini sebagai suatu komponen yang paling instrumental dalam sistem kewaspadaan, dan penanggulangan bencana, baik bencana yang bersifat fisik maupun yang bersifat biologis. Peringatan dini ialah kepakan sayap kupu-kupu yang walaupun terlihat kecil, tetapi memiliki peran yang sangat menentukan dalam trayek tori mitigasi bencana.
Peringatan dini terletak di masa yang paling kritis, yakni tahap awal ketika suatu krisis mulai berlangsung. Taatp keputusan, dan tindakan pada tahap ini akan menentukan seberapa besar kerusakan yang akan terjadi, dan seberapa banyak korban jiwa akan berjatuhan. Karena itu, peringatan dini adalah ujung tombak dari setiap upaya pengelolaan risik bencana secara terpadu.
Resiliensi dan informasi
Peringatan dini tidak hanya sekadar bagaimana komunitas mendapatkan pemberitahuan mengenai potensi dan ancaman bencana yang akan terjadi, melainkan suatu bagian dari sistem resiliensi bencana yang harus dilihat secara holistik. Di sini kita perlu bicara tentang resiliensi bencana dari kacamata teknologi dan sosial.
Dalam makalah berjudul Sociotechnical Resilience: A Preliminary Concept yang diterbitkan dalam jurnal Risk Analysis (2018), Sulfikar Amir dan Vivek Kant menjabarkan konsep resiliensi teknososial, sebagai suatu kerangka ilmiah dalam melihat dan memperkuat resiliensi bencana.
Pada dasarnya, setiap bencana atau krisis, selalu berada dalam irisan antara wilayah sosial dan wilayah teknologi (fisik). Ketika suatu bencana terjadi, misalny gempa bumi, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat. Tapi juga, berbagai infrastruktur teknologis seperti aliran listrik, jembatan dan jalan raya, dsbnya. Karena itu, kemampuan untuk merespons bencana sangat tergantung, pada bagaimana sistem sosial dan sistem teknologi tertaut, dan terkoordinasi satu sama lain secara ketat.
Resiliensi teknososial, terdiri atas tiga dimensi. Pertama adalah dimensi sosiomaterial, yang merujuk pada terintegrasinya seluruh bangunan material, seperti perumahan, infrastruktur perkotaan, jaringan listrik dan air, dsbnya, dengan struktur sosial yang mengatur dan menggunakan infrastruktur ini. Struktur sosial mencakup lembaga pemerintah, perekonomian, dan masyarakat secara keseluruhan. Ketahanan bencana, akan sangat tergantung bagaimana aransemen sosiomaterial ini didesain secara adaptif sehingga mampu menyerap kejutan dari setiap bentuk bencana yang kemungkinan terjadi.
Dimensi kedua, mencakup praktek-praktek antisipatif (anticipatory practices), di mana masyarakat diberi pendidikan dan pelatihan secara rutin untuk menghadapi bencana. Hal ini, sangat penting dilakukan khususnya di wilayah berisiko bencana tinggi, misalnya di sekitar gunung berapi atau sepanjang garis pantai. Dengan adanya praktik antisipatif yang terinternalisasi dengan baik, masyarakat akan memiliki pengetahuan dan kemampuan tanggap bencana. Sehingga, tahu apa yang harus dilakukan, dan bagaimana menyelamatkan diri ketika bencana benar-benar terjadi.
Dimensi ketiga dari resiliensi teknososial adalah relasi informasional yang mana peringatan dini adalah unsur utama. Dalam setiap krisis, informasi adalah sumberdaya yang paling esensial. Karena dengan informasi, setiap unsur dalam masyarakat akan dapat bereaksi dan mengambil tindakan yang tepat untuk meminimalisasi kerusakan, kerugian, dan korban jiwa.
Pada intinya, ada dua jenis informasi yang dibutuhkan masyarakat pada masa awal suatu bencana. Pertama, informasi mengenai apa yang sedang terjadi. Kedua, informasi mengenai apa yang harus dilakukan. Taatp peringatan dini mengandung dua jenis informasi ini. Misalnya dalam bencana tsunami, sistem peringatan dini akan mengeluarkan informasi mengenai naiknya gelombang air laut, dan informasi untuk melakukan evakuasi secepat mungkin dari daerah pantai ke daerah dataran tinggi.
Begitu pula misalnya, dalam kejadian bencana erupsi gunung berapi, di mana peringatan dini dikeluarkan agar masyarakat tahu sedang terjadi aliran lahar, dan gerakan awan panas di daerah tertentu, dan agar masyarakat segera mengungsi ke daerah aman yang telah ditentukan.
Dalam relasi informasional, sistem peringatan dini bukanlah sekadar kandungan informasi semata. Informasi selalu memiliki konteks dan sangat tergantung pada relasi dan kepercayaan sosial. Karena itu, penyerapan informasi tidaklah semudah mengirim pesan singkat melalui dawai elektronik. Terdapat tiga aspek informasional yang perlu dipahami ketika ingin membangun sistem peringatan dini yang andal (reliable) dan kukuh (robust).
Pertama, informasi peringatan dini harus memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Dirikurasi suatu informasi bersifat deterministik terhadap kualitas, dan efektivitas respons tanggap darurat yang dilakukan oleh setiap individu dan kelompok yang terdampak bencana.
Tentu saja, ada batas-batas tertentu dalam akurasi informasi, karena kita berhadapan dengan sistem alam yang sangat kompleks dan dinamis. Tetapi, setidaknya batas kesalahan (margin of error) dalam informasi peringatan dini yang diberikan, tidak terlalu jauh menyimpang. Karena itu, sistem informasi peringatan dini harus ditopang oleh apa yang Anthony Giddens sebut sebagai expert system, yakni sistem kepakaran yang terlembaga dan berbasis sains.
Aspek kedua adalah diseminasi. Suatu informasi peringatan dini tidak akan ada maknanya jika tidak terdiseminasi dengan baik. Ini adalah isu teknis sekaligus isu sosial. Di satu sisi, kita perlu memikirkan cara menyebarkan informasi peringatan dini dengan menggunakan platform teknologi, baik secara elektronik, digital, atau manual/mekanik.
Di sisi lain, diseminasi informasi peringatan dini difasilitas oleh relasi sosial, yang terbentuk di masyarakat. Hal ini, perlu menjadi pertimbangan karena ada relasi sosial di mana informasi dengan mudah menyebar. Tetapi, ada juga bentuk relasi sosial di mana diseminasi informasi mudah tersendat. Karena itu, desain sistem peringatan dini harus menggabungkan faktor teknis dan faktor sosial dengan baik.
Aspek terakhir adalah validasi. Pengaruhtivitas suatu informasi peringatan dini sangat tergantung pada apakah si penerima merasa informasi itu valid atau tidak. Jadi, aspek validasi tidak bersifat satu arah, melainkan ditentukan oleh tingkat kepercayaan pada informasi peringatan dini yang tersebar. Artinya, kemampuan sistem peringatan dini bekerja dengan baik berkorelasi langsung terhadap kepercayaan publik terhadap institusi, yang menjadi sumber informasi peringatan dini.
Permasalahan ini, dapat menjadi rumit dalam kondisi di mana tidak ada sumber informasi yang bersifat tunggal, dan memiliki kredibilitas dalam mitigasi bencana. Ketika ada lebih dari satu lembaga yang mengeluarkan berbagai bentuk peringatan dini, dengan menggunakan berbagai platform dengan kandungan informasi yang berbeda satu sama lain, maka masyarakat akan terjebak dalam situasi kebingungan, yang berujung pada gagalnya proses tanggap darurat, yang seharusnya mereka lakukan. Lebih fatal lagi, ketika masyarakat mengambil sikap
untuk menolak informasi peringatan dini. Kalau ini yang terjadi, maka sistem peringatan dini dapat dikatakan gagal total.
Bencana vulkanis
Sistem peringatan dini, adalah hal mutlak di negara rentan bencana seperti Indonesia, lebih khusus lagi Nusa Jawa. Terdapat dua fakta yang perlu kita garisbawahi. Pertama, Nusa Jawa adalah pulau dengan jumlah gunung berapi aktif yang paling banyak di dunia. Kedua, Nusa Jawa adalah salah satu pulau dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di dunia. Dua fakta ini, membuat Nusa Jawa sebagai pulau yang paling berisiko dari segi bencana. Ancaman erupsi gunung berapi senantiasa hadir dan dapat terjadi setiap saat. Karena itu, semestinya Indonesia memiliki sistem peringatan dini yang andal dan terorganisasi baik.
Peristiwa guguran awan panas di Gunung Semeru yang saat ini masih terus berlangsung, memberi indikasi yang cukup jelas bahwa sistem peringatan dini masih jauh dari apa yang semestinya berfungsi. Anjloknya jumlah korban puluhan jiwa, serta ratusan warga yang mengalami lukaluka berat adalah konsekuensi dari lemahnya sistem peringatan dini di Gunung Semeru.
Terdapat dua isu utama yang perlu kita cermati dalam kejadian bencana ini. Pertama, tingkatan status gunung berapi yang dibuat oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi, Kementerian Daya dan Sumber Daya Mineral. Terdapat 4 status gunung berapi yang menjadi basis peringatan dini: yakni normal, siaga, waspada, dan awas. Taatp status merefleksikan kondisi fisik geologis semata dari gunung berapi sehingga kapan peringatan dini dikeluarkan tergantung padastatus gunung berapi.
Masalahnya, status gunung berapi tidak serta merta merefleksikan mara bahaya (hazard) yang kemungkin muncul dari aktivitas gunung berapi pada setiap status. Ketika suatu gunung berapi masih berstatus siaga, situasi ini tidak akan memicu dikeluarkannya peringatan dini, walaupun gunung berapi telah mengeluarkan zat-zat atau benda-benda alam yang dapat merengut jiwa. Artinya terjadi kesenjangan antara status gunung berapi, dan tingkat bahaya yang sebenarnya. Ini yang terjadi di Gunung Semeru, ketika gunung itu telah mengeluarkan guguran awan panas yang mematikan. Tetapi, tidak ada informasi peringatan dini secara resmi karena Gunung Semeru masih berada dalam status waspada.
Yang menarik, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), mengeluarkan pernyataan bahwa badan ini sudah mengeluarkan ‘peringatan dini’ potensi dan bahaya erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jatim, sejak tiga hari sebelum Semeru mengeluarkan guguran awan panas.
Sayangnya tidak jelas apakah ‘peringatan dini’ mencakup anjuran melakukan evakuasi segera mungkin atau sekadar informasi status Semeru. Yang perlu diamati, ‘peringatan dini’ ini dikirim melalui grup Whatsapp yang beranggotakan para pejabat pemerintah lokal, dan kelompok relawan. Jadi, tidak dikirim secara massif dan waktu nyata kepada seluruh warga khususnya yang berada dilokasi kejadian.
Apa yang terjadi dengan bencana Semeru memberi pelajaran penting, bahwa sistem peringatan dini khususnya untuk bencana vulkanis masih sangat lemah, baik dari sistem teknis dan relasi sosial. Pemerintah Indonesia harus segera membenahi ini sebelum bencana berikutnya terjadi.
Ancaman pandemi
Peringatan dini, tidak hanya berlaku dalam bencana fisik, tetapi juga bencana wabah penyakit. Jenis karakteristik berbeda, karena berlangsung secara pelan-pelan (slowburn), dan dalam rentang waktu yang panjang (long run). Meskipun demikian, respons pada tahap awal sangat menentukan trayektori dari setiap peristiwa merebaknya wabah penyakit menular. Tertentunya, yang disebabkan oleh patogen yang memiliki tingkat transmisi yang tinggi seperti virus korona.
Dalam konteks pamdemi covid-19, sistem peringatan dini adalah fondasi pengendalian wabah penyakit menular yang paling awal. Ini kita bisa refleksikan dengan situasi pandemi covid-19 di Indonesia selama kurun waktu dua tahun terakhir, yang telah memakan korban lebih dari 150 ribu jiwa. Ini belum termasuk kasus kematian yang tidak tercatat secara resmi.
Memang kita perlu bersyukur, bahwa saat ini situasi pandemi di tanah air relatif terkendali dengan baik. Situasi ini diindikasikan oleh jumlah kasus harian dan rerata positif, yang jauh di bawah standar WHO.
Pada saat yang bersamaan, RS di seluruh wilayah Indonesia mencatat rasio okupansi pasien covid-19 yang sangat rendah.
Meskipun demikian, kita perlu menengok ke belakang sejenak untuk belajar dari kesalahan, yang dalam penanganan pandemi oleh Pemerintah Indonesia selama satu setengah tahun. Begitu banyak blunder yang dibuat pemerintah selama masa pandemi, yang paling mengenaskan adalah apa yang terjadi pada masa awal pandemi, yakni bulan Januari dan Februari 2020.
Pada waktu itu, virus korona telah menyebar ke negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Australia. Tetapi, pemerintah Indonesia mengambil sikap penyangkalan, dan bahkan meremehkan peringatan para ahli epidemiologi, baik lokal maupun asing tentang kemungkinan masuknya covid-19 di Indonesia. Yang ditunjukkan oleh pejabat pemerintah justru sikap ignoransi (pengabaian) secara sengaja, sebelum akhirnya kasus infeksi covid-19 terkonfi rmasi di Indonesia. Selanjutnya, kita melihat respons pemerintah yang cenderung setengah hati, dan tidak menunjukkan kepekaan krisis akibat kepentingan ekonomi.
Dalam masa awal pandemi ini, kita bisa melihat kegagalan sistem peringatan dini terhadap bencana wabah penyakit. Terdapat dua faktor penyebab. Pertama, tidak adanya lembaga pengendalian wabah penyakit seperti misalnya CDC (center for diseas control and prevention) di AS, yang memiliki wewenang penuh untuk memberi peringatan, dan mengambil tindakan konkrit untuk memutus rantai penularan secara langsung. Kedua, kelalaian pemerintah dalam memahami risiko bencana wabah penyakit, akibat kalkulasikalkulasi kepentingan ekonomi yang lebih dominan. Konsekuensi dari gagalnya peringatan dini ini sangat fatal, yang membawa Indonesia masuk ke dalam jebakan pandemi yang panjang.
Belajar dari kesalahan ini, Indonesia seharusnya membangun sistem peringatan dini yang lebih valid, otoritatif, dan kredibel. Meskipun saat ini, bisa dikatakan situasi pandemi cukup stabil, tidakberarti kita telah lepas sepenuhnya dari ancaman pandemi.
Munculnya berbagai varian baru virus korona, dapat mengembalikan kita pada situasi pandemi yang parah. Karena itu, justru sekarang inilah saat yang tepat untuk memperbaiki sistem peringatan dini pandemi, karena, kita memiliki waktu dan sumber daya untuk konsentrasi pada isu ini. Tetapi, ketika ancaman pandemi muncul, baik itu disebabkan oleh virus korona maupun virus yang lain, masyarakat Indonesia sudah terinformasikan sejak awal dan tahu bagaimana merespons.