GEMPA yang terjadi di Turki dan Suriah, Senin (6/2) Awal hari, adalah duka dunia. Hingga kemarin sore, korban tewas mencapai lebih dari 5.000 orang.
Jumlah itu diperkirakan Lalu bertambah karena Tetap Terdapat ribuan orang lainnya yang terjebak di dalam Dekat 6.000 bangunan yang runtuh. Seperti yang kerap terjadi di berbagai bencana gempa, kecepatan evakuasi akan sangat berdampak pada bertambahnya jumlah korban.
Komitmen pemerintah RI Kepada segera mengirimkan Sokongan adalah solidaritas yang Sepatutnya. Terlebih, Turki juga selalu Segera mengulurkan Sokongan Begitu Indonesia diterpa bencana.
Begitu tsunami Aceh pada 2004, Turki merupakan salah satu negara pertama yang memberi Sokongan. Hingga kini, setidaknya sudah US$75 juta digelontorkan negara itu Kepada membantu pemulihan ‘Bumi Serambi Mekah’.
Di luar soal solidaritas, gempa Turki juga memberi pelajaran berharga bagi Indonesia. Turki sama dengan Indonesia yang berada jalur di pertemuan tiga lempeng tektonik aktif. Kalau Indonesia dikelilingi lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, Turki berada di pertemuan lempeng Anatolia, Arabia, dan Afrika.
Alasan itu, seperti juga Indonesia, gempa langganan di Turki, bahkan yang bermagnitudo besar. Selama 25 tahun terakhir Terdapat tujuh gempa dengan magnitudo di atas 7. Tetapi, gempa magnitudo 7,8 yang terjadi Senin tersebut merupakan yang terbesar sejak 1939. Kala itu, jumlah korban tewas mencapai 30 ribu orang.
Di berbagai bencana gempa itu, ambruknya bangunan dengan bentuk lempengan-lempengan yang bertumpuk, atau disebut pancake mode, menjadi penanda muda kegagalan Bangunan. Pada 2011 pun, Recep Tayyip Erdogan yang kala itu menjabat perdana menteri marah besar akan hal tersebut. Ia menyebut keteledoran kerja para kontraktor yang menjadi pembunuh di Begitu bencana.
Pada 2019, Begitu Erdogan telah menjabat presiden, negara itu Membangun aturan baru soal Bangunan tahan gempa. Tetapi, biaya yang lebih tinggi Membangun banyak pihak tak Acuh.
Di sisi lain, aturan Bangunan nyatanya Enggak sanggup mengantisipasi gempa yang dahsyat. Aturan Bangunan di daerah itu hanya mengantisipasi gempa dengan percepatan tanah 30%-40% dari gravitasi normal. Nyatanya, dalam gempa 7,8 M seperti yang terjadi sekarang ini, percepatan tanah mencapai hingga 50% dari normal gravitasi.
Enggak hanya itu, para Ahli menilai sejarah gempa di sana sudah Membangun permasalahan lingkungan yang ekstrem. Gempa-gemba besar Membangun muka tanah ambles, longsor, hingga mengalami likuefaksi.
Hasilnya, rehabilitasi Enggak cukup dengan perubahan aturan Bangunan. Peruntukan lahan terpaksa harus berubah Kalau Enggak Ingin korban besar kembali terjadi.
Di Indonesia, kita juga akrab dengan hal itu. Di Area-Area merah bencana, relokasi dianggap pilihan terbaik.
Hal itu pula yang muncul pascabencana gempa di Cianjur, Jawa Barat, pada November Lampau. Setelah gempa yang menelan 635 korban jiwa itu, Kementerian Pekerjaan Biasa dan Perumahan Rakyat menyatakan agar Area di sepanjang jalur Sesar Cimandiri Enggak dijadikan hunian.
Kita harus mafhum Kalau Bangunan antigempa tercanggih pun Mempunyai keterbatasan. Mitigasi terbaik Kepada daerah yang sangat rawan gempa ialah dengan Enggak menjadikannya Area hunian.
Tentu saja, keberhasilan relokasi membutuhkan kerja banyak pihak, Bagus pusat maupun daerah. Pembangunan rumah korban gempa Cianjur di lahan relokasi dapat Segera dimulai karena penyediaan lahan yang juga Segera. Sebulan setelah gempa, sudah 21 dari 200 rumah tahap pertama berdiri di lahan relokasi.
Meski begitu, dari berbagai kasus lainnya, program berjalan Enggak konsisten. Di Lombok Utara, pembangunan rumah tahan gempa tak kunjung selesai hingga tiga tahun pascabencana.
Enggak hanya persoalan teknis, kita harus menyadari bahwa mitigasi budaya juga Krusial. Tersedianya jalur evakuasi hingga berdirinya selter-selter tetap Enggak akan menyelematkan Kalau Kaum Enggak waspada bencana.
Budaya kesiapsiagaan haruslah berwujud dalam keseharian, Bagus pada anak-anak maupun orang dewasa. Maka, pengetahuan dasar seperti mencari tempat berlindung hingga menyiapkan tas bencana mestinya jadi pengetahuan lumrah. Tanpa pembiasaan-pembiasaan itu, ancaman bencana akan Lalu jadi nestapa.