Perempuan yang Mencalonkan Diri pada Pilkada Serentak 2024 Hanya 9,44 Persen

Perempuan yang Mencalonkan Diri pada Pilkada Serentak 2024 Hanya 9,44 Persen
Model menunjukkan maskot Pilkada Jawa Timur 2024 si Jali (Jatim Memilih) kepada pengendara motor di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (6/9/2024).(ANTARA/Didik Suhartono)

JELANG pesta demokrasi Pilkada Serentak yang jatuh pada 27 November 2024 mendatang, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengajak para perempuan untuk mendukung keterwakilan calon pemimpin daerah perempuan.

Plt. Sekretaris Kemen PPPA, Titi Eko Rahayu mengemukakan perempuan yang mencalonkan diri dalam Pilkada 2024 serentak masih minim. Dijelaskan bahwa persentase perempuan sebagai calon bakal gubernur, walikota dan bupati saat ini yaitu 9,44 persen.

“Minimnya partisipasi politik perempuan untuk maju dalam ajang Pilkada tentu menjadi keprihatinan yang mendalam sebab mengecilkan kekuatan perempuan untuk memajukan bangsa Indonesia khususnya dalam bidang politik. Hal ini akan berdampak pada perjuangan kepentingan perempuan dan anak menjadi minim,” jelasnya di Jakarta pada Senin (9/9).

Baca juga : Kementerian PPPA Minta Anak Enggak Dilibatkan dalam Aktivitas Politik Jelang Pilkada

Cek Artikel:  Sentralisasi Pencalonan Cakada oleh DPP Munculkan Ketidakpuasan

Titi menekankan keterwakilan pemimpin daerah perempuan dan partisipasi politik perempuan merupakan hal penting dalam rangka memastikan hadirnya kebijakan-kebijakan yang mendukung, memberdayakan, dan memfasilitasi kebutuhan perempuan di berbagai bidang pembangunan.

“Minimnya partisipasi politik perempuan untuk maju dalam pilkada ini menjadi keprihatinan yang mendalam, sebab artinya mencegah kekuatan perempuan untuk memajukan bangsa Indonesia di dalam bidang politik,” jelasnya.

Menurut Titi, adanya faktor budaya patriarki yang masih mendominasi dalam masyarakat, membuat perempuan sulit untuk mencapai posisi tinggi sebagai pengambil kebijakan di dalam politik.

Baca juga : Pilkada di NTT Diikuti 11 Bakal Calon Kepala Daerah Perempuan

“Segala potensi rendahnya partisipasi ini juga menandakan perempuan masih terpinggirkan, banyak dipertanyakan kemampuannya, bahkan sering sekali dilihat sampai pada statusnya hingga distereotipkan sebagai orang yang tak mampu memimpin,” ujarnya.

Cek Artikel:  Dua Kekasih Calon Gubernur NTT Siap Mendaftar ke KPU

Sementara itu, Dewan Pembina sekaligus Pengajar Hukum Pemilu, Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan ada berbagai tantangan bagi perempuan untuk terlibat aktif sebagai calon di perhelatan pilkada baik melalui jalur partai politik maupun perseorangan.

“Hambatan dari sisi regulasi– masih ada barrier to entry atau pembatasan yang menghalangi untuk mengakses pencalonan (syarat ambang batas minimal dalam pencalonan baik dari jalur parpol maupun perseorangan). Jadi sangat sulit untuk muncul calon kepala daerah alternatif (perempuan) melalui jalur perseorangan,” jelasnya.

Baca juga : Akar Persoalan KDRT, Dapatkah Diatasi?

Selain itu, Titi menjelaskan demokratisasi pada tataran internal partai politik sering kali belum efektif. Dikatakan bahwa ada hak veto atau hegemoni dari dewan pemimpin pusat atau DPP dalam pemberian rekomendasi pencalonan.

Cek Artikel:  1.789 Personel Dikerahkan untuk Jaga Pilkada di Papua Barat dan Papua Barat Daya

“Sekarang ini wajib ada rekomendasi DPP untuk pengajuan calon, jika tidak ada rekomendasi DPP maka tidak bisa mencalonkan, dan ini menghambat perempuan karena mereka harus mengetuk setiap pintu dari pengurus partai di kabupaten, kota, provinsi. Harus juga dapat rekomendasi dari DPP, itu (butuh) lobi-lobi dan biaya semua,” ungkapnya

“Sementara akses keuangan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Ini terlalu birokratis dan terlalu elit sentris,” lanjutnya.

Lagi adanya diskriminasi akibat konstruksi sosial dan budaya yang eksploitatif itu, menurut Titi juga menyulitkan perempuan untuk memenangi kompetisi sehingga terjadi stigmatisasi bahwa perempuan tempatnya di rumah, pemimpin itu adalah laki-laki, dan lainnya.

Mungkin Anda Menyukai