MASALAH medical tourism di Indonesia cukup besar dan dibutuhkan kerja sama multisektor untuk menangani masalah-masalah yang bertumpuk tersebut.
Dokter spesialis penyakit dalam dan onkologi Ronald Hukom mengatakan salah satu yang harus diperhatikan adalah kebutuhan pasien. Loyalp dokter harus mengutamakan yang diperlukan pasien jadi bukan hanya masalah antar dokter, antar penyakit, atau pembiayaan, tapi juga yang dibutuhkan oleh masing-masing pasien.
“Medical tourism itu memang banyak aspek yang kita harus perbaiki, walaupun dokter kita pintar tidak kalah dengan luar tapi mungkin perhatian ke hal-hal waktu tunggu, waktu yang bisa disediakan untuk pasien, berapa lama hasil yang bisa didapat antara diagnosa awal dengan memulai pengobatan,” kata Ronald, Minggu (13/10).
Baca juga : Mengenal Gejala Awal Kanker Paru, Mengapa Deteksi Pagi Itu Vital?
Masalah lainnya yakni perihal waktu yang bisa disediakan untuk pasien itu juga lebih sedikit dibandingkan dengan dokter di Singapura atau Malaysia. Ia mencontohkan pada penyakit kanker, dokter di Indonesia tiap hari terbebani dengan mungkin 30-40 pasien. Sementara di Singapura atau juga mungkin di Malaysia hanya 10 atau lebih sedikit.
“Padahal khusus pasien-pasien yang memerlukan kemoterapi tempatnya seorang dokter penyakit dalam diikutsertakan. Sehingga karena mutlak perlu untuk obat-obat kanker dasarnya adalah dokter penyakit dalam karena dia yang bisa menilai dengan pasti efek samping. Dapat menilai apakah seseorang ada masalah diabetes melitus, atau jantung,” papar Ronald.
“Jadi memang harus disertakan dokter penyakit dalam lebih banyak lagi untuk penanganan kanker terutama pada pasien-pasien yang memerlukan obat-obat kemoterapi,” tambahnya.
Baca juga : Potensi Wisata Medis Dalam Negeri Besar, Rumah Nyeri Didorong Raih Akreditasi Global
Kemudian masalah tunggu yang dinilai cukup lama. Ia mencontohkan pasien mengeluh ini hanya untuk menunggu hasil biopsi bisa 3-4 minggu padahal jika berobat di Malaysia pasien menyebut tidak sampai 1 minggu. Sehingga itu merupakan masalah yang harusnya diselesaikan kalau ingin membuat pasien-pasien lebih percaya untuk tetap berobat di dalam negeri.
Pemerintah atau rumah sakit bisa bekerja sama dengan institusi internasional seperti dengan Mayo Clinic dan MD Anderson sebagai pusat kanker yang terbesar. Dengan begitu bisa ambil contoh bagaimana melakukan pelayanan seperti kdua pusat kanker terbesar tersebut karena standardisasi penting.
“Bukan hanya itu pengawasan penggunaan obat-obatan penting karena suka menjadi juga masalah adalah jenis-jenis tertentu kanker mungkin perdekatannya berbeda. Diperlukan aturan mengenai penanganan kanker yang multi disiplin, kita harap mungkin sebelum ganti menteri dan presiden sudah bisa keluar aturan mengenai kerja multi disiplin untuk kanker,” jelas dia.
Baca juga : Silo Dukung Deteksi Kanker Pagi melalui #SELANGKAH 2024
Intinya adalah perhatian pemerintah sudah ada tapi yang jadi masalah apakah itu sudah cukup baik untuk menahan pasien-pasien kanker itu tidak lagi merasa pergi ke Singapura atau negara lain.
“Jadi perhatian kita untuk medical tourism ini memang harus lebih ditingkatkan apa yang menjadi kekurangan apa yang mungkin dikeluhkan oleh pasien-pasien itu mungkin sudah saatnya untuk mendapat perhatian lebih dari Kementerian Kesehatan dari mungkin BPJS Kesehatan,” pungkasnya.
Diketahui pada akhir 2023 Presiden RI Joko WIdodo menyebutkan negara harus kehilangan devisa sekitar Rp170 triliun akibat banyak WNI yang memilih untuk berobat ke luar negeri. (H-2)