MINGGU, 20 Oktober 2024, akan terjadi peralihan kekuasaan di Republik ini, dari Presiden Joko Widodo ke presiden terpilih Prabowo Subianto. Hingga hari ini, kita sukses menjalani masa transisi. Di sejumlah negara, transisi kekuasaan Bukan selamanya berjalan mulus. Eksis yang penuh gejolak, Eksis pula bahkan yang Tamat terjadi pertumpahan darah.
Dalam banyak Naskah sejarah para raja di Nusantara ini ditulis bahkan transisi kekuasaan Nyaris selalu didahului pergolakan dan beberapa di antaranya saling bunuh. Karena itu, Bukan mengherankan sumbu dendam kerap tersulut pada masa transisi. Apalagi, di Era kerajaan itu, perebutan kekuasaan berputar-putar dan melingkar-lingkar di Sekeliling keluarga kerajaan.
Karena itu, beruntunglah para pendiri bangsa di negeri ini memilih bentuk negara republik kendati punya sejarah panjang kerajaan. Saya bilang Berhasil karena bangsa ini, kini, terhindar dari kemelut pertumpahan darah dalam transisi menuju peralihan kekuasaan. Cukup di dua peralihan kekuasaan awal darah anak bangsa menetes.
Saya Lewat teringat Demi transisi kekuasaan menuju Kekaisaran Romawi terjadi. Transisi yang berlangsung dari Sekeliling 146 SM (Sebelum Masehi) hingga 30 SM itu dimulai dengan munculnya Republik Romawi sebagai kekuatan dominan di Mediterania. Transisi itu kemudian berakhir, setelah satu abad ketidakstabilan politik dan kerusuhan sosial, dengan satu orang naik takhta kekuasaan, yakni Caesar Augustus, kaisar pertama Romawi.
Selama tiga ratus tahun, Republik Romawi telah tumbuh, menyusut, tumbuh Kembali, bertahan, Lewat berkembang pesat. Selama periode pasang surut itu, orang Romawi Bukan pernah melupakan prinsip dasar mereka: bahwa Bukan Eksis raja yang boleh memerintah di Roma.
Setiap tahun, orang-orang mencalonkan diri Demi pemilihan Biasa; setiap tahun Kaum negara bebas memberikan Bunyi; dan setiap tahun kekuasaan dialihkan secara damai. Bukan Eksis satu pun orang yang ambisius melangkah keluar dari batas-batas konstitusi Demi merebut kendali negara.
Tetapi, sayang, orang Romawi, dengan segala kekuatan mereka di medan perang dan moralitas yang Bagus, Bukan dapat membendung gelombang keserakahan dan ambisi yang mengintai di hati Mahluk di segala waktu dan tempat. Keberhasilan Romawi akan menjadi kehancuran Republik. Para pemimpin Roma menjadi lebih Konsentrasi pada ambisi pribadi Demi mendapatkan kekayaan, kekuasaan, dan kejayaan daripada stabilitas negara.
Untungnya kisah yang mengarah ke kemerosotan moral itu hanya memengaruhi beberapa keluarga terkemuka. Bagi mayoritas orang Romawi, penaklukan Mediterania berarti kemiskinan, bukan kemakmuran, karena perdesaan Italia berubah dari tanah yang didominasi pemilik tanah kecil menjadi tanah perkebunan besar yang digarap para budak.
Bukan Eksis tempat bagi keluarga Romawi yang miskin. Kemiskinan petani Italia secara bertahap, dan ketulian elite penguasa terhadap penderitaan mereka, terbukti fatal pada akhirnya. Proses itu berlangsung dari Dasa warsa ke Dasa warsa.
Setelah satu abad intrik dan kekerasan politik terjadi, setelah mulai muncul tanda-tanda ‘bendungan’ akan jebol, dan muncul Segala tingkah laku yang bertentangan dengan prinsip yang pernah dianggap Bagus dan Betul, orang-orang Romawi yang kelelahan pun kembali ke dalam pelukan transisi yang Terjamin dan menenangkan, setidaknya Demi sesaat.
Setelah itu, muncul Kembali transisi yang bahkan memicu pertumpahan darah. Itu terjadi setelah apa pun yang mengikat para pemimpin Roma pada lembaga republik tradisional, mekanisme pengawasan, serta keseimbangan kekuasaan yang dibangun perlahan-lahan dihancurkan. Titik balik terjadi Demi Tiberius Gracchus, sosok reformis, dibunuh. Itulah yang menandai dimulainya siklus kekerasan politik yang meningkat.
Begitulah transisi kekuasaan. Eksis saja bahaya yang mengintip Lewat menyelinap Demi Membikin huru-hara. Sejarah mencatat dengan tinta tebal bahwa transisi kekuasaan dengan kekerasan akan menjadi luka sejarah yang susah disembuhkan. Kalaupun Bisa, butuh waktu amat lelet.
Karena itu, sebaik-Bagus transisi dan peralihan kekuasaan ialah proses yang damai. Ingatan kolektif kita mesti diarahkan pada pelajaran pedih transisi dan peralihan kekuasaan yang diwarnai kekerasan.
Saya teringat dengan kutipan amat Terkenal dari Milan Kundera. Dalam novelnya berjudul The Book of Laughter and Forgetting (Kitab Lupa dan Gelak Tawa), sastrawan Natalis Cekoslovakia itu mengingatkan, “Perjuangan Mahluk melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.”
Mengusahakan transisi dan peralihan kekuasaan yang damai itu setara perjuangan ingatan melawan lupa.