Perai dan Teluk PersiaJejak Interaksi Masyarakat Nusantara dan Jazirah Arab

Perai dan Teluk Persia:Jejak Hubungan Masyarakat Nusantara dan Jazirah Arab
Idris Masudi Dosen Fakultas Islam Nusantara Unusia Jakarta, peserta residensi Pelaku Budaya Jalur Rempah di Qatar 2023(Dok. Pribadi)

MEMBACA sejarah hubungan antarbangsa dunia, khususnya Laut Arab dan Samudra India, yang terekam dalam catatan para pelancong Arab memberikan kepada kita sebuah gambaran betapa dekatnya hubungan antarbangsa Arab dengan masyarakat Nusantara. Catatan-catatan perjalanan yang ditulis para pelancong Arab jumlahnya cukup banyak. Kratovsky (1957: 40) melansir sejumlah nama pelancong dan geografer Arab seperti Ibn Khardadbeh, Al-Sirafi, Al-Ya’qubi, Ibn Faqih al-Hamadzani, Ibn Rustah, dan Syahriyar Ramahurmuz.

Para akademisi terbelah menjadi dua kubu mengenai hubungan antara orang-orang muslim dengan dunia lautan. Sebagian sarjana menyatakan Islam yang lahir dan tumbuh di padang pasir tidak kompatibel dengan lautan dengan kondisi laut yang tak menentu.

Sementara itu, sebagian sarjana lainnya justru melihat sebaliknya (Hamdani: 2023). Ilyas Balka dalam The Geoghraphy of the Islamic Word as Seen by Ibn Khaldun mengemukakan sejumlah alasan mengapa orang muslim (Arab) memiliki perhatian tinggi dalam bidang ilmu geografi, dan cukup rutin melakukan perjalanan panjang.

Salah satunya ialah bahwa Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam mendorong umatnya untuk melakukan perjalanan dan menjelajahi bumi. Di samping itu, kewajiban melakukan ibadah haji ke Mekah bagi orang yang mampu melaksanakannya menuntut umat Islam untuk memiliki pengetahuan tentang ilmu geografi, baik secara teori maupun praktiknya.

Dalam konteks Nusantara, posisinya yang cukup strategis dan berada di antara Arab-India dan Tiongkok menjadikan bandar dan pelabuhan di kawasan Nusantara menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal dari dan menuju dua kawasan tersebut.

 

Menaklukkan samudra

Bentangan samudra, yang seolah membatasi ruang geografis antara satu bangsa dan bangsa lain bukanlah penghalang bagi para pelaut dalam mengarungi dan menaklukkan samudra. Menurut sejarawan maritim Ferrand Braudel (1972), ruang maritim pada masa lalu harus dipandang sebagai ruang komunikasi, keterkaitan, dan kesatuan antarkomunitas yang beragam. Ia bukanlah sebuah pembatas geografis yang menghalangi aktivitas pelayaran dari satu negeri ke negeri lain.

Barus, sebagai kota pelabuhan bagian barat Sumatra, pada abad ke-9 M menjadi kota niaga yang ramai. Jauh sebelum kedatangan Marcopolo dan Ibnu Batutah, para pelancong Arab (timur tengah) yang berlayar dari India ke Tiongkok dan singgah di semenanjung Sumatra menuliskan catatan-catatan perjalanan mereka.

Cek Artikel:  Cost-Effectiveness Sokongan Pangan Buat Tengkes

Dalam catatan para pelancong Arab, nama Barus kerap kali disebut sebagai bandar kosmopolitan. Barang-barang dagangan yang dijual di sana juga terekam dengan sangat sarih: kapur, pala, lada, kemenyan, dan rempah-rempah lainnya menjadi komoditas yang dipertukarkan dengan barang dagangan dari negeri lain yang dibawa para pembeli.

Kalau merujuk catatan Kalus dan Guillot, Barus bukan sekadar sebagai kota pelabuhan perdagangan yang kosmopolitan, melainkan sebagai pusat studi keislaman di Indonesia melalui para syekh yang datang dari berbagai mancanegara. Mereka tinggal dan mengajar di Barus (Guillot and Kalus 2000: 22).

Siraf (Persia), Muscat (Oman), dan Aden (Yaman) merupakan bandar-bandar pelabuhan di kawasan Arab yang menghubungkan masyarakat di kawasan Arab dengan kawasan dunia lainnya (Haki Ismail: 2002). Bandar-bandar pelabuhan tersebut bukan sekadar sebagai tempat menaikkan dan menurunkan barang dagangan, melainkan juga pertukaran kebudayaan antara satu bangsa dan bangsa lainnya.

 

Jejak orang Nusantara di negeri Arab

Selama ini, masyarakat Nusantara kerap digambarkan sebagai bangsa yang pasif. Misalnya dalam konteks sejarah masuk dan berkembangnya Islam di kawasan Nusantara disuguhkan teori-teori yang menyebutkan Islam masuk ke Nusantara dari India, Tiongkok, Arab, dan Persia.

Teori-teori itu secara tidak langsung menyatakan Islam didatangkan para mubalig ke Nusantara. Ia bukannya dijemput masyarakat Nusantara itu sendiri, melainkan diimpor melalui para pendakwah dari berbagai wilayah baik Arab, India, Tiongkok, dan Persia.

Kalau kita meyakini bahwa nenek moyang kita ialah para pelaut tangguh, mengapa kita tidak memiliki keyakinan bahwa nenek moyang kita juga sering menjelajahi kawasan Arab tempat agama Islam itu berasal?

Sebuah cerita menarik yang layak menjadi diskursus akademik ialah kisah seorang raja dari Sarandib yang mengirim utusan ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Dalam kisah itu diceritakan bahwa masyarakat Sarandib dan sekitarnya mengirim seorang utusan yang cakap dan cerdas untuk menemui Nabi Muhammad SAW, melihat kepribadiannya, dan sekaligus untuk mengetahui ajaran yang dibawa sang Nabi.

Singkat cerita, utusan yang dikirim sang raja kembali ke negeri Sarandib. Meskipun konon saat sampai di Madinah Nabi dan Khalifah Arang Bakar sudah wafat, sang utusan mengisahkan perjumpaannya dengan Khalifah Umar ibn Khattab kepada sang raja Sarandib. Penuturan utusan tersebut menarik simpati sang raja.

Cek Artikel:  Haji Tapak Tilas Pemikiran Kemanusiaan Universal

Kisah itu secara tersirat menggambarkan hubungan antara masyarakat Nusantara dengan Islam sudah sejak awal abad Hijriah. Islam tidak hanya didatangkan para mubalig, tetapi juga dijemput masyarakat Nusantara.

Memang benar bahwa terjadi perdebatan di kalangan sarjana mengenai lokasi negeri Sarandib yang dikisahkan Kapten Buzurgh Ramahurmuzi itu. Mayoritas sejarawan menafsirkan Sarandib ialah Sri Lanka. Sebagian kecil lainnya ada pula yang menunjuk Sarandib ialah Sumatra hari ini. Keram Kevonian, sarjana asal Armenia yang meneliti toponimi di kawasan Samudra India dalam naskah-naskah berbahasa Armenia, sangat yakin bahwa yang dimaksud dengan Sarandib itu ialah Swarnadipa yang bermakna ‘Bumi Emas’ (Masudi: 2020).

Jejak lainnya yang menunjukkan keaktifan bangsa Nusantara di kawasan Arab juga ditengarai Dionisius Agius. Dalam bukunya berjudul Classic Ships of Islam from Mesopotamia to the Indian Ocean, ia menceritakan bahwa pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah jalan-jalan di Basra tidak hanya dipenuhi orang-orang Persia dan Arab, tetapi juga ada orang-orang India, Afrika Timur, dan orang-orang berbahasa Melayu dari Indonesia.

 

Situs Murwab dan kapal karam Cirebon

Jejak hubungan masyarakat Arab dengan Nusantara terekam dalam temuan-temuan arekologis di sejumlah perairan di kawasan Nusantara. Di situs Sibolga Tapanuli Tengah, misalnya, ditemukan sejumlah koin-koin dari Dinasti Abbasiyah, keramik, gelas, dan barang-barang lain yang ditengarai berasal dari Arab dan Persia.

Sejumlah kapal dagang yang tenggelam di perairan Nusantara membawa barang dagangan yang menjadi bukti hubungan dagang antara kawasan Nusantara dan belahan dunia lainnya. Salah satu kapal dagang yang diduga berasal pada abad ke-10 M tenggelam di dekat perairan laut Cirebon, Jawa Barat.

Barang-barang yang ditemukan di dasar laut itu sebagiannya berada di Museum of Islamic Art dan National Museum of Qatar yang berada di Doha. Melalui program Apresiasi Pelaku Budaya di Jalur Rempah yang diselenggarakan Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud-Ristek Republik Indonesia, saya bersama dua peneliti (Fathurrahman dan Adimas Bayumurti) berkesempatan melakukan residensi di Qatar selama satu bulan.

Cek Artikel:  Surat Terbuka untuk Pejuang Perubahan

Di Museum of Islamic Art kita bisa menyaksikan sebagian benda yang ditemukan di kapal karam Cirebon. Emas Sumatra, koin Tiongkok, gelas, keramik, manik-manik India, dan barang-barang niaga lainnya.

Demikian pula di National Museum of Qatar, benda-benda dari kapal karam itu menjadi saksi sejarah bahwa hubungan dagang antara kawasan Asia Tenggara, dalam hal ini Indonesia, dan kawasan Arab yang saat itu berada di masa Dinasti Abbasiyah terjalin.

Intervensi-temuan benda arkeologis di bawah laut perairan Cirebon yang dikoleksi, baik oleh Museum of Islamic Art maupun National Museum of Qatar, itu memiliki kesamaan dengan benda-benda yang ditemukan di Situs Murwab. Capeksi Situs Murwab berada di wilayah utara Qatar. Situs yang diperkirakan berdiri di masa kekhalifahan Dinasti Abbasiyah itu merupakan sebuah permukiman yang terdiri dari benteng, rumah-rumah penduduk, masjid, dan permakaman.

Menurut Alexandrine Guerin, arkeolog asal Prancis yang menjadi kurator di National Museum of Qatar itu, benda-benda yang ditemukan di sini seperti keramik, manik-manik, koin, kendi, dan lain sebagainya memiliki kemiripan dengan temuan-temuan yang ada di kapal karam Cirebon.

Kepada arkeolog alumnus Sorbonne Prancis itu, saya mengajukan pertanyaan. Bagaimana situs dengan material culture berjumlah ribuan itu terhubung dengan bandar dan pelabuhan lainnya serta rute perdagangannya, sementara dalam catatan para pelancong Arab di masa-masa itu tidak disebutkan bandar atau pelabuhan di kawasan itu.

“Bandar dan pelabuhan utama pada saat itu seperti terekam dalam sejarah ada di Teluk Hurmuz dan Siraf. Bandar utama perdagangan pada masa itu berada di sana. Karena kontur laut di kawasan ini termasuk dangkal sehingga tidak bisa dilewati kapal-kapal kargo, untuk menghubungkan antara bandar utama di Siraf dan situs ini dilalui dengan kapal-kapal kecil,” tutur Guerin.

Menyulam sejarah interaksi yang menghubungkan antara satu bangsa dan bangsa lain, dalam hal ini aktivitas dagang antara Arab dan Nusantara, merupakan sesuatu yang menarik. Interaksi itu pada dasarnya tidak bersifat ekonomi belaka sebab kapal-kapal dagang tidak hanya memuat komoditas, tetapi juga gagasan serta ide, para mubalig atau penyebar agama serta buku-buku ilmu pengetahuan yang disebarkan di pesisir-pesisir pantai.

Mungkin Anda Menyukai