Penyesuaian Proses Pendidikan Pascapandemi

Penyesuaian Proses Pendidikan Pascapandemi
(wikipedia)

BELUM lama Mendikbud Nadiem Makarim mengumumkan tahun ajaran baru akan tetap sesuai jadwal, yakni dimulai pada 13 Juli 2020. Sementara itu, soal pembukaansekolah akan merujuk pada hasil kajian Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Meskipun sudah dijelaskan begitu, di tengah situasi pandemi yang masih mengancam ini, pengumuman ini langsung menyulut kontroversi. Banyak pihakmenentang jika ada rencana membuka sekolah pada tahun ajaran baru ini.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) langsung bereaksi menganjurkan untuk menunda dulu pembukaan sekolah. IDAI memperhatikan jumlah kasus covid-19 yang masih terus bertambah. Dari melonggarnya pelaksanaan PSBB di lapangan, kemungkinan akan terjadi lonjakan jumlah kasus kedua, hingga masih sulitnya menerapkan pencegahan infeksi pada anak-anak. Atas dasar itu, IDAI melalui pernyataan resminya, Sabtu (30/5), mengeluarkan beberapa poin anjuran.

Salah satunya, agar sekolah tidak dibuka sampai akhir Desember 2020. Sementara itu, kegiatan belajar mengajar agar dilaksanakan dengan skema pembelajaran jarak jauh seperti yang sudah mulai diperkenalkan, baik di dalam maupun di luar jaringan.

Pembukaan kembali sekolah dapat dipertimbangkan jika jumlah kasus positif sudah menurun. Ketua IDAI Kondusif B Pulungan dalam wawancara televisi menyatakan kekhawatirannya jika sekolah tergesa dibuka. Menurut perkiraan IDAI, dari sekitar 60 juta anak sekolah, akan ada kemungkinan sekitar 1 juta anak terpapar jika sekolah dibuka.

Seperti halnya sektor ekonomi yang merosot tajam, sektor pendidikan juga sangat terdampak pandemi covid-19 ini. Sekolah dan perkuliahan reguler ditutup, digantikan dengan uji coba pembelajaran dan perkuliahan secara daring. Ujian akhir sekolah, penerimaan siswa baru, dan ujian penerimaan mahasiswa baru terpaksa dimodifikasi berbasis daring. Ini terjadi di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.

Penutupan serentak lembaga pendidikan menyebabkan gangguan besar dalam proses pembelajaran. Proses mencetak generasi pintar menjadi terhambat, termasuk juga perputaran ekonomi yang menyertai pendidikan. Inilah dilema yang dihadapi pemerintah yang harus mengambil keputusan di antara dua pendulum ekstrem: di satu sisi terlalu lama menutup lembaga pendidikan akan mengakibatkan terhentinya proses mencetak generasi pintar dan terhentinya roda ekonomi yang menyertainya.

Di sisi lain, jika tergesa membuka kembali sekolah, akan membuka kemungkinan generasi anak-anak kita akan terpapar korona secara masif. Kagak ada orangtua yang tega melihat anaknya menjadi korban keganasan wabah ini. Pandemi mengakibatkan gangguan di bidang pendidikan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Gangguan jangka pendek yang parah ialah terhentinya proses pengajaran. Gangguan jangka menengah ialah dalam waktu yang sangat cepat, format pengajaran reguler berubah menjadi belajar dari rumah secara daring dengan segala keterbatasannya.

Perubahan yang mendadak itu mengakibatkan guncangan, baik bagi siswa maupun orangtua. Mungkin kadar guncangannya lebih sedikit terhadap mahasiswa, yang relatif sudah lebih dulu mengenal gadget dan teknologi informasi. Akan tetapi, pada orangtua dan anak-anak, ada semacam keguncangan. Sekian tahun siswa bertatap muka dan bersalaman dengan guru tiap hari, sekarang hanya bisa menatap wajah lewat monitor dalam waktu yang singkat karena tidak bisa berlama-lama.

Cek Artikel:  Mobilitas, Benci tapi Rindu

Itu pun hanya bisa dilakukan oleh siswa dan orangtua yang tinggal di wilayah perkotaan yang mana penetrasi internet sudah lumayan bagus. Sementara itu, untuk siswa dan orangtua yang tinggal di wilayah pelosok, selain kemampuan ekonominya lebih terbatas, juga belum sepintar anak kota dalam penggunaan teknologi informasi lewat laptop atau smartphone.

Belum lagi, meningkatnya biaya pulsa yang jadi membengkak karena tiap hari harus online. Dalam situasi pandemi, kesenjangan ekonomi dan budaya ini pada akhirnya berakibat terhadap kesenjangan pendidikan. Meskipun senang, orangtua juga menjadi lebih repot karena harus mengajarkan dan memandu penggunaan teknologi telekonferens pada anak, misalnya yang berusia sekolah dasar atau SMP. Apalagi, jika orangtua belum paham penggunaan teknologi ini, tentu akan lebih repot. Metode pengajaran online mendadak jadi ramai, tetapi belum pernah digunakan pada level pengajaran anak sekolah secara masif.

Akibat pandemi pada pendidikan

Sejauh ini, sekolah merupakan sistem terbaik untuk meningkatkan ilmu dan keterampilan siswa secara massal. Bagi siswa, sekolah juga bisa menjadi proses yang menyenangkan yang mana bisa berinteraksi dengan teman-teman sebayanya, bisa mengasah keterampilan, dan kesadaran sosialnya.

Dari sisi ekonomi, sekolah juga berarti investasi. Makin tinggi sekolah seseorang, makin tinggi pula peluangnya untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dan pendapatan. Karena itulah, ditutupnya sekolah dan perkuliahan selama masa pendemi covid-19, jelas merugikan dalam proses pendidikan generasi muda kita.

Pengumuman Kemendikbud bahwa tahun ajaran baru tetap akan dibuka sesuai jadwal pada 13 Juli bisa dimaknai bahwa pemerintah cukup risau dengan terhentinya proses pendidikan dan ingin segera dibuka kembali. Akan tetapi, siapkah kita jika sekolah dibuka kembali dalam waktu dekat, sementara angka kasus positif covid-19 masih belum reda? Sesuai peringatan para dokter, anak-anak merupakan peserta didik yang paling rentan terkena wabah ini karena belum punya pemahaman dan kesadaran seperti halnya orang dewasa, terutama dalam menjalankan protokol kesehatan secara disiplin.

Orang dewasa saja yang punya pemahaman banyak yang belum disiplin, apalagi anak-anak. Sederhananya, jika fasilitas pendidikan dibuka sekarang, anak usia PAUD, TK dan SD jauh lebih rentan terkena wabah daripada anak SMP, kemudian SMA, dan mahasiswa.

Itu juga yang menjadi perhatian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Seorang komisio nernya, Retno Listyarti, menginisiasi angket yang dipublikasikan pada laman Facebook-nya, Rabu (27/5). Angketnya memuat 10 pertanyaan terkait rencana jika sekolah dibuka kembali.

Meskipun tidak didesain sebagai penelitian, setidaknya angket ini bisa menjaring aspirasi siswa, orangtua, dan guru dalam menyikapi situasi pandemi ini. Hanya dalam waktu kurang dari dua hari, tercatat ada 9.643 siswa, 18.112 guru, dan 196.559 orangtua siswa yang berpartisipasi mengisi angket.

Cek Artikel:  PPKM, Analisis Data dan Tindakan Selanjutnya

Besarnya animo pengisi angket tersebut menunjukkan bahwa rencana pembukaan sekolah menjadi perhatian serius para orangtua, guru, dan siswa. Berdasarkan data yang terkumpul, mayoritas siswa setuju segera masuk sekolah lagi. Dapat diduga setelah disuruh tinggal di rumah selama tiga bulan tanpa tatap muka dengan teman2 di sekolah, hal itu akan menimbulkan kebosanan akut. Apalagi, selama tiga bulan hanya diam di rumah, tanpa keluar jalan-jalan atau piknik.

Masuk sekolah kembali dianggap sebagai pelepas dahaga pembebas kebosanan dari karantina selama masa wabah ini. Tetapi, sebaliknya, mayoritas orangtua tidak setuju jika sekolah cepat-cepat dibuka kembali. Terang bahwa para orangtua sangat mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Rasa khawatir soal kesehatan anaknya melebihi rasa khawatir jika anaknya tertinggal pendidikannya. Definisinya, bagi orangtua, keselamatan anaknya masih lebih penting jika dibandingkan dengan pendidikan.

Tentu antara keinginan anak dan orangtua ini bukanlah dua kutub ekstrem yang saling bertentangan. Diperlukan rencana yang matang dan prosedur yang ketat agar siswa bisa sekolah lagi, mahasiswa bisa kuliah lagi, tapi aman dari bahaya penularan infeksi korona. Otoritas pendidikan bisa bekerja sama dengan otoritas kesehatan untuk menyusun indikator dan protokol kesehatan. Misalnya, jika angka kadar penularan (RO) sudah 0,5, sekolah boleh dibuka, tapi dengan syarat dan protokol yang ketat.

Protokol ketat itu, misalnya, selain keharusan memakai masker dan cuci tangan, juga kapasitas ruangannya hanya boleh diisi separuhnya. Konsekuensinya, misalnya, siswa bergantian masuk sekolah. Hari ini yang masuk nomor genap, besoknya yang masuk nomor ganjil.

Konsekuensi lanjutannya, kepadatan mata pelajaran juga dikurangi. Begitu pun seterusnya. Itulah yang harus diantisipasi oleh pembuat kebijakan dan pelaksana pendidikan. Makin rendah usia subjek pendidikan, makin sulit adaptasinya. Apabila dibandingkan dengan pada anak usia TK, mahasiswa lebih mampu menyesuaikan diri pada perubahan tata cara pendidikan.

Mengubah sebagian proses pendidikan berbasis tatap muka fisik menjadi tatap muka virtual mungkin sulit bagi anak SD, tapi menjadi hal biasa bagi mahasiswa. Dalam hal ini, kehadiran teknologi informasi-komunikasi dengan segala aplikasi nya sangat membantu migrasi dari tatap muka fisik ke tatap muka virtual Sekarang ini aplikasi, seperti Zoom, Webex, dan semacamnya, laris manis gara-gara pandemi korona. Konsekuensinya, orangtua akan ketambahan biaya untuk koneksi internet.

Tetapi, ada hal-hal yang masih mutlak membutuhkan aktivitas fi sik. Misalnya, pelatihan membedah dan pengenalan organ tubuh bagi mahasiswa kedokteran dan kedokteran hewan, praktikum reaksi kimia, dan semacamnya. Di sinilah diperlukan manajemen perubahan untuk mengatur alokasi waktu, guru, dosen, dan mata pelajaran serta mata kuliah. Mana yang bisa digantikan oleh teknologi IT, mana yang tetap harus dijalani dengan aktivitas fisik, serta implikasi teknisnya.

Cek Artikel:  Jokowi Berjumpa Tokoh Keyakinan Silaturahim Politik Saling Untung

Terdapat contoh dari beberapa negara yang cepat beradaptasi dalam menghadapi pandemi ini. Siswa di Hong Kong mulai belajar di rumah sejak Februari menggunakan aplikasi pembelajaran interaktif. Di Hong Kong ada forum readtogether. hk yang merupakan konsorsium beranggotakan organisasi pendidikan, penerbit, media, dan profesional industri hiburan yang menyediakan lebih dari 900 aset modul pendidikan, termasuk video, konten buku, aplikasi penilaian, dan layanan konseling gratis.

Di Tiongkok, jutaan siswa mendapat akses ke materi pembelajaran melalui siaran langsung televisi. Di Nigeria, pengajaran menggunakan alat pembelajaran online asinkron (seperti bahan bacaan melalui Google Classroom) ditambah dengan instruksi lewat video call.

Libanon mulai meningkatkan pembelajaran online, bahkan juga diterapkan untuk mata pelajaran seperti pendidikan jasmani. Para siswanya merekam dan mengirimkan video pelatihan atletik dan olahraga mereka sendiri kepada gurunya.

Latihan olahraganya sendiri hanya makan waktu beberapa menit, tapi siswa bisa menghabiskan tiga jam untuk syuting, mengedit, dan mengirim video kepada gurunya. Terdapat kerumitan, tapi juga kesenangan baru bagi siswa. Teknologi 5G sekarang sudah merambah di Tiongkok, AS, Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara maju. Dengan teknokogi 5G, peserta didik, guru, dosen, dan lembaga pendidikan bisa benar-benar menerapkan ‘pembelajaran bisa di mana saja dan kapan saja’.

Perlu percepatan

Selain membawa penyakit, pandemi korona juga membawa tuntutan perubahan di semua sektor, termasuk sektor pendidikan. Muncul berbagai inovasi dan proses penyesuaian di bidang pendidikan.

Presiden Jokowi bahkan sudah mengajak memikirkan peta jalan pendidikan untuk 10-15 tahun ke depan karena pandemi ini ternyata menuntut agar kita siap menghadapi perubahan. Masa depan pendidikan tampaknya makin mengarah ke model pendidikan jarak jauh, digitalisasi, dan nirkontak fisik. Sementara itu, digitalisasi proses pendaftaran, penilaian, dan pembayaran sudah berjalan terlebih dahulu. Proses migrasi ini akan lebih cepat jalannya serta lebih masif setelah periode pandemi ini.

Karena itu, perlu percepatan untuk semua hal yang diperlukan. Infrastruktur, seperti bandwith, mendorong pertumbuhan inovasi aplikasi, updating kurikulum, serta peningkatan kapasitas bagi guru. Pemerintah harus segera mengatasi kesenjangan digital. Pemerataan digital, baik secara geofrafis maupun sosial, akan membantu pemerataan akses pendidikan di masa depan.

Sejalan dengan itu, yang tak kalah penting ialah peningkatan literasi digital. Ajak untuk mengenali, memproduksi, dan menyebarkan konten yang mendidik, bukan konten yang menyebarkan kebodohan dan perpecahan. Bagaimanapun juga, ada hikmah yang bisa kita petik dari pandemi ini. Selain membawa penyakit, pandemi juga membawa perubahan untuk beradaptasi dengan situasi baru.

Mungkin Anda Menyukai