PENYESALAN Menteri Pekerjaan Biasa dan Perumahan Rakyat yang juga Ketua Komite Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Basuki Hadimuljono pada Kamis (6/6) lalu cukup mengagetkan. Di hadapan Komisi V DPR, ia mengaku menyesal rencana pemerintah memotong 3% dari gaji buruh untuk perumahan telah memantik kemarahan masyarakat.
Ia tak menyangka rencana baik pemerintah menyediakan perumahan bagi masyarakat, utamanya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), malah menyulut kemarahan, bukan pujian. Ia pun sepakat penyunatan gaji buruh itu ditunda.
Penyesalan itu jelas mengagetkan karena keluar dari seorang Basuki Hadimuljono. Menteri yang hampir sepuluh tahun ini dikenal sebagai sosok yang kocak dan humoris, di pengujung masa jabatannya melontarkan kalimat penyesalan bernuansa kesedihan.
Ditambah lagi, ia adalah pembantu presiden, salah satu organ penting dari pemerintahan. Basuki bahkan duduk sebagai Ketua Komite BP Tapera, pengawas dari lembaga eksekutor pemotongan gaji untuk tabungan perumahan itu.
Dari penyesalan Basuki tergambar jelas pemerintah belum satu suara dalam menyikapi PP No 21/2024 tentang Penyelenggaraan Tapera. Tetap ada menteri yang ragu atas penerapan aturan pemangkas upah buruh tersebut. Sikap itu menjadi secuil contoh betapa sembrononya pemerintah membuat aturan.
Kalau ditarik lebih jauh, PP yang terbit pada 20 Mei 2024 itu jelas belum melalui kajian yang matang. Pelaku usaha dan buruh yang menjadi objek penarikan iuran itu bahkan tak pernah diajak berdiskusi sebelumnya.
Bukan mengherankan bila semua pihak ramai-ramai menolak. Meskipun penarikan iuran itu baru akan dilakukan mulai 2027, masyarakat sudah kadung marah. Belum hilang kesal atas tekanan ekonomi akibat naiknya harga-harga sejak awal tahun, masyarakat kembali dibuat kesal dengan rencana kehadiran aturan pemotongan upah buat perumahan. Belum lagi kenaikan upah buruh yang kalah cepat ketimbang lesatan inflasi.
Pemerintah semestinya punya empati. Pemerintah harus berhati-hati dalam mengelola emosi masyarakat. Rakyat yang masih didominasi kelompok menengah ke bawah tak boleh terus dijejali oleh kebijakan yang mengimpit hidup. Masyarakat yang penghasilan mereka sudah minim, tak selayaknya dibebani lagi dengan beragam potongan yang membuat penghasilan mereka kian cekak.
Terdapat baiknya pemerintah memulai dari awal lagi dalam merencanakan perumahan untuk rakyat itu. Backlog kepemilikan rumah yang mencapai 9,9 juta jelas menjadi tugas pemerintah untuk menyelesaikannya, bahkan tugas prioritas. Definisinya, masih ada 9,9 juta kepala keluarga yang berstatus nomaden alias pindah-pindah tempat tinggal kontrakan.
Tetapi, penyelesaian masalah dengan menarik iuran Tapera dari pekerja jelas sebuah langkah instan yang justru berpotensi menciptakan masalah baru. Kebijakan mau ambil jalan gampang dan tak mau capek berpikir untuk menyelesaikan pemenuhan rumah bagi seluruh masyarakat secara komprehensif seperti itu sudah selayaknya ditinggalkan.
Aturan tentang iuran perumahan tersebut akhirnya berakhir jadi bahan olok-olok masyarakat. Kecurigaan pun jadi berseliweran di sana-sini, salah satunya tudingan iuran itu untuk mengongkosi program makan siang gratis pemerintahan baru. Sebuah tudingan tak berdasar, tentunya, sama tidak berdasarnya dengan ide menarik iuran itu.
APBN memang sedang tidak longgar. Akan tetapi, untuk melonggarkannya tak bisa langsung dipungut dengan cara membuat kaum menengah ke bawah sesak napas. Pemerintah harus menyadari, ekonomi masyarakat belum sepenuhnya pulih. Dunia usaha pun masih megap-megap karena tekanan ekonomi belum juga hilang.
Terdapat baiknya pemerintah mundur selangkah dengan mengevaluasi kembali pemberlakuan kebijakan itu. Duduk dulu satu meja dengan pelaku usaha dan buruh guna mencari solusi bersama. Penyesalan Basuki mungkin datang agak terlambat, tapi itu masih lebih baik ketimbang pemerintah ngotot dan tak mau mendengar jeritan publik.