Penyelenggara Negara Pertontonkan Kepribadian Jelek

Penyelenggara Negara Pertontonkan Karakter Buruk
Pemikir kebinekaan, Sukidi.(DOK PRIBADI)

REPUBLIK Indonesia hari ini memerlukan pendidikan karakter karena negeri ini telah bergerak jauh tanpa panduan budi pekerti luhur. Pendidikan karakter penting karena menjadi penentu kualitas manusia Indonesia yang berwatak mulia, berkepribadian luhur, dan cinta pada kebenaran. Inilah yang menjadi bekal untuk memajukan republik di masa depan.

Demikian diungkapkan cendekiawan Sukidi dalam Panel Kedua Kongres Pancasila XII bertajuk Cerminan Moral Aktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, yang dihelat Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (26/9).

Perihal pentingnya karakter ini, dua pendiri bangsa, Soekarno-Hatta, tambah Sukidi, telah mengingatkan melalui ungkapan nation and character building dan ‘pangkal segala pendidikan karater adalah cinta kebenaran’.  

Baca juga :  Yayasan Del Bimbing Peserta Didik Punyai Budi Pekerti

Cek Artikel:  PSI dan Golkar Alihkan Dukungan ke Sespri Dengkiana di Pilkada Kota Bogor

“Fondasi yang ditanamkan dua pendiri bangsa itu penting menjadi pedoman bersama guna menghalau karakter buruk dan licik yang dipertontonkan secara brutal oleh para penyelenggara negara yang berpotensi menghancurkan Republik karena hilangnya keutamaan publik (public virtue),” ujar Sukidi.

Alumnus Universitas Harvard, Amerika Perkumpulan, itu meyakini kemiskinan dan ketimpangan sosial dapat diatasi dengan pendidikan yang diselenggarakan secara sungguh-sungguh. Baginya, kemiskinan terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh pendapatan yang amat rendah, melainkan karena kurangnya kebebasan manusia (lack of human freedom), sebagaimana diungkap peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen.

Dengan kebebasan, seseorang diyakini mampu mengembangkan kapabilitas dan memaksimalkan peluang sosialnya untuk keluar dari kemiskinan sehingga memperoleh kemajuan. Pendidikan karakter, tegas Sukidi, mampu menuntun republik untuk dikelola dengan spirit meritokrasi, yang memberikan ruang kepada setiap individu dengan kemampuan dan kecakapan intelektual untuk memperoleh kesuksesan. “Kisah negara maju adalah kisah meritokrasi. Mustahil sebuah bangsa maju jika ditempuh dengan nepotisme,” ujarnya.

Cek Artikel:  Menteri Kabinet Merah Putih Digembleng di Gunung Tidar, BRIN Jangan Tamat Hanya Formalitas

Baca juga : Muncul Wacana Pembentukan Mahkamah Etika Awasi Penyelenggara Negara

Ironisnya, menurut Sukidi, dalam Republik ini kini tumbuh spirit kakistokrasi, dengan tampilnya para penyelenggara negara yang tidak kompeten dan buruk secara moral.  Ia menekankan spirit meritokrasi penting untuk ditegakkan sebagai prinsip dasar karena mampu memberikan jaminan kesetaraan bagi semua warga negara berdasarkan kemampuan.

Sukidi juga menegaskan pentingnya menumbuhkan pendidikan karakter yang menyuguhkan keteladanan, empati, simpati, dan spirit menghargai sesama, yang mesti dimulai dari keluarga.

Satu prinsip lain yang diyakini mampu menegakkan kembali Indonesia, lanjut Sukidi, ialah prinsip melihat setiap individu sebagai setara (equal human being). Dengan prinsip ini, seseorang tidak boleh dibeda-bedakan berdasarkan status sosialnya, melainkan ditentukan oleh kualitas karakternya.

Cek Artikel:  Sambut Kepulangan Jokowi, Anak Muda di Solo Buat Mural Capaian 10 Tahun Pemerintahan

Baca juga : Unhas dan BPIP Soroti Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara

“Alasan, kita dilahirkan secara setara, menjadi warga negara yang sama dan setara, dan berhak diperlakukan secara adil dan setara. Inilah harapan anak-anak bangsa untuk menggapai kehidupan mulia dan kesuksesan di masa depan,” tandasnya.

Obrolan Panel Kedua Kongres Pancasila dihadiri pemikir kebinekaan Sukidi, guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia, Mohammad Mahfud MD, dan guru besar bidang sosiologi Universtitas Muhammad Yogyakarta, Zuly Qodir. Obrolan dipandu oleh dosen Universitas Gadjah Mada, Sartika Intaning Pradhani. (X-10)

 

 

Mungkin Anda Menyukai