Penyebab Tentara Libanon tidak Berdaya Rival Israel

Penyebab Tentara Libanon tidak Berdaya Lawan Israel
Tentara dan warga Libanon di lokasi yang diserang Israel.(Al Jazeera)

AMERIKA Perkumpulan (AS) dan negara-negara Barat selama bertahun-tahun mengendalikan persenjataan dan perkembangan tentara Libanon serta membatasi segala peluang untuk pengembangan teknologi dan kemampuan tempur mereka. Ini dikatakan pakar militer Lebanon, Nidal Zahwi kepada Sputnik.

Akibat pengendalian itu, tentara Libanon tidak mampu melawan agresi Israel dan tidak melibatkan diri dalam kontak tempur. “Secara histori, tentara Libanon sangat kurang persenjataan dan hal ini disebabkan oleh ketergantungan pada kekuatan persenjataan Barat. Barat selalu mencegah penguatan tentara agar tidak mampu mempertahankan kedaulatannya, terutama melawan Israel,” ujar Zahwi yang berpangkat kolonel dalam ketentaraan Libanon. 

“Ketergantungan itu lebih kuat daripada hubungannya dengan pemerintah Libanon. Para tentara dan perwira Libanon ingin membela tanah air mereka, tetapi mereka tidak memiliki pesawat maupun pertahanan udara, sehingga mereka terpaksa tetap diam di tempat mereka,” ujar Zahwi. Ia mencatat bahwa angkatan bersenjata Libanon saat ini sebagian besar menjalankan tugas di dalam negeri, membantu kepolisian.

Cek Artikel:  Hamas Konkretkan Tentara Israel Bunuh Enam Tawanan di Gaza

Baca juga : Lautan Pendukung Houthi Respons Serangan AS, Inggris, Israel

Menurut pakar tersebut, AS menutup semua peluang tentara Libanon untuk meningkatkan kekuatan angkatan darat dan udara, karena sekutu strategis mereka ialah Israel dan mereka berkepentingan untuk meminimalkan ancaman terhadap Israel. Posisi ini berkaitan dengan kepentingan strategis di Timur Tengah, sehingga Washington berperan sebagai penjamin keamanan Israel di wilayah tersebut.

“Secara khusus, krisis ekonomi yang diprovokasi oleh AS pada 2019 juga menjadi alasan pelemahan lebih lanjut terhadap tentara. Pihak berwenang mencoba beralih ke Rusia atau Iran untuk mempersenjatai tentara, tetapi tentara kekurangan dana dan kini tidak mampu membeli komponen serta merawat peralatan dan persenjataannya,” jelas Zahwi menjawab latar belakang pihak berwenang Libanon tidak membeli senjata dari negara lain.

Berbicara mengenai gengsi profesi militer di Libanon, kolonel purnawirawan ini menjelaskan bahwa tentara dan perwira dulu sangat dihormati oleh masyarakat dan mendapat beberapa manfaat sosial. “Tetapi dari sudut pandang kehidupan, menjadi tidak menguntungkan untuk bertugas. Kalau sebelum krisis saya menerima gaji US$3.500 (sekitar Rp54,6 juta) di posisi saya, sekarang hanya US$300 dolar (sekitar Rp4,6juta), dan karena itu para perwira meninggalkan tentara untuk mencari pekerjaan lain,” ujarnya.

Cek Artikel:  Profil Pavel Durov, Miliader dan Pendiri Telegram yang Dikejar Pemerintah

Baca juga : Daftar Negara Siapkan Rencana Darurat Evakuasi Penduduk dari Libanon

Menurut pakar tersebut, AS meyakini bahwa tentara Libanon ialah bagian dari kelompok pasukan Timur Tengah mereka. Salah satu pangkalan AS terbesar di Mediterania terletak di wilayah Hamat, Libanon utara.

“Keberadaan pangkalan ini tidak sah, dibentuk tanpa koordinasi resmi dengan pihak berwenang Libanon dan tanpa persetujuan resmi dari kepala negara, melainkan hanya berdasarkan perjanjian tertutup dengan sekelompok komandan Tentara Libanon,” kata Zahwi.

Menjelaskan betapa tergantungnya tentara Libanon pada AS, Zahwi menyebutkan insiden di perbatasan beberapa tahun lalu, ketika seorang penjaga perbatasan Libanon, tanpa perintah, menembaki drone Israel yang memasuki wilayah udara Libanon. “Ketika itu, pihak Amerika membekukan pasokan amunisi kaliber 5,65 ke tentara Libanon selama hampir dua tahun,” ia menambahkan.

Cek Artikel:  Hamas Rilis Video tentang Pesan Dua Sandera yang Tewas

Baca juga : Amerika Perkumpulan Perintahkan Penduduknya untuk Evakuasi Berdikari dari Israel

“Tentara Libanon tidak memiliki kekuatan atau sarana untuk melawan intervensi darat Israel. Teknologi militer Israel sepenuhnya unggul dibandingkan dengan Libanon,” simpul pakar militer tersebut.

Pada Selasa, 1 Oktober, tentara Israel memulai operasi darat terbatas di Libanon selatan, berusaha menguasai permukiman di perbatasan. Sejak 23 September, permukiman di selatan dan timur Libanon, serta pinggiran selatan Beirut, telah menjadi sasaran pengeboman besar-besaran. 

Hingga saat ini, lebih dari satu juta warga sudah menjadi pengungsi. Lebih dari 2.000 warga Libanon tewas dan sekitar 9.000 terluka. (Ant/Z-2)

Mungkin Anda Menyukai