PENYAKIT menular memang merupakan masalah kesehatan penting, sejak dulu dan juga sampai kini. Sustainable Development Goals (SDGs) juga sudah menggariskan di goal 3 kehidupan sehat dan sejahtera, yang jabarannya ialah menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia. Kepada penyakit menular, secara jelas tercantum dalam target 3.3 yang isinya pada 2030, mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis (Tb), malaria, dan penyakit tropis yang terabaikan, dan memerangi hepatitis, penyakit bersumber air, serta penyakit menular lainnya.
Kepada Indonesia, tuberkulosis, AIDS, dan malaria juga merupakan masalah kesehatan penting. Negara kita tercatat sebagai urutan ketiga dari delapan negara yang menyumbang 2/3 kasus Tb di dunia. Pada 2020, diperkirakan ada 93 ribu jiwa meninggal di negara kita, dan 824 ribu orang jatuh sakit Tb. Dari estimasi itu, pada 2020 baru ditemukan sebanyak 384.025 kasus atau sekitar 47%. Letihan penemuan kasus itu menurun 178.024 dari 2019. Nomor kesembuhan pengobatan Tb pun masih suboptimal, yaitu pada 82%, yang masih di bawah target global untuk angka keberhasilan pengobatan seharusnya 90%.
Sementara itu, data 2021 menunjukkan jumlah kasus Tb yang diobati dan dilaporkan ke sistem yang ada ialah sebanyak 356.957 kasus, dengan kata lain dengan cakupan penemuan dan pengobatan (treatment coverage) ialah 43%, padahal targetnya harusnya 85%. Mereka yang tidak ditemukan tentu tidak diobati dan akan menjadi sumber penularan bagi masyarakat di sekitarnya sehingga masalah tuberkulosis jadi terus berkepanjangan di negara kita.
Kepada HIV/AIDS, pada 2020 ada sekitar 24 ribu orang meninggal di negara kita karena penyakit yang berhubungan dengan AIDSA (AIDS-related illnesses). Sementara itu, berdasar estimasi UNAIDS 2020 cakupan pemberian pengobatan antiretroviral kita memang masih rendah, baru sekitar 26%, salah satu cakupan yang rendah di dunia, hanya lebih tinggi dari Sudan Selatan (23%), Madagaskar (14%), Pakistan (12%), dan Afghanistan (9%).
Sementara itu, untuk malaria, negara kita menetapkan target eliminasi berdasar kawasan. Daerah Jawa Bali sudah eliminasi malaria pada 2023, Sumatra, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat pada 2025. Kalimantan dan Maluku Utara pada 2027, Maluku dan Nusa Tenggara Timur pada 2028, serta Papua dan Papua Barat pada 2029, dan kalau semuanya bisa dipertahankan, Indonesia akan eliminasi malaria pada 2030.
Pada 2021, sudah ada 347 kabupaten/kota yang eliminasi malaria, dengan kriteria angka kepositifan kurang dari 5%, annual parasite incidence (API) kurang dari 1 per 1.000 penduduk, dan tidak ada kasus lokal dalam tiga tahun terakhir.
Dengan situasi epidemiologi sekarang ini, jelas merupakan tugas berat dunia dan negara kita, kalau memang akan mencapai target menghentikan epidemi tuberkulosis, AIDS, dan malaria pada 2030 yang hanya tinggal delapan tahun lagi. Perlu juga diketahui bahwa kita masih menghadapi berbagai penyakit tropis terabaikan, seperti kusta yang Indonesia masih peringkat ketiga di dunia. Juga ada filariasis, kecacingan, schistosomiasis, dan lain-lain. Harus ada upaya amat sistematis dengan kegiatan yang jelas tahun per tahun agar target pengendalian penyakit menular pada 2030 dapat dicapai.
Covid-19
Kita tahu bahwa SDGs ini dikeluarkan pada 2015, waktu itu dunia belum tahu bahwa akan ada pandemi covid-19 yang menghantam dunia sejak 2020. Kita tahu bahwa covid-19 pertama terdeteksi oleh WHO (World Health Organization) pada 31 Desember 2019. Waktu itu namanya tentu belum covid-19, namanya masih pneumonia of unknown cause, pneumonia/radang paru yang belum diketahui penyebabnya.
Satu bulan kemudian, pada 30 Januari 2020, penyakit itu oleh WHO sudah dinyatakan sebagai public health emergency of international concern (PHEIC) (kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia), sesuai dengan aturan International Health Regulation (IHR). Pada 30 Januari 2020 itu, atau sebulan sesudah dideteksi, sudah ada hampir 20 ribu kasus konfirmasi dan suspek, tepatnya 19.961. Juga, sudah ditemukan bukti adanya penularan antarmanusia.
Lampau, pada 11 Maret 2020 covid-19 dinyatakan sebagai pandemi, ketika itu penyakit sudah menyebar ke 114 negara dengan jumlah kasus 118 ribu orang dan 4.291 yang wafat. Data dunia sampai 20 Mei 2022 menunjukkan sudah ada 521.920.560 kasus terkonfirmasi covid-19 dan 6.274.323 kematian. Dari kacamata penanggulangan, sudah disuntikkan lebih dari 12 miliar dosis vaksin di dunia.
Sejauh ini, dunia sudah mengalami empat gelombang kasus covid-19. Pertama, pada Januari 2021 dengan kasus puncak lebih dari 800 ribu orang sehari. Lampau, kedua pada Maret 2021 dengan kasus hampir 900 ribu sehari. Gelombang ketiga ialah pada Agustus 2021 dengan lebih dari 800 ribu kasus sehari. Lampau kemudian, pada Januari 2022 karena varian omikron dengan jumlah kasus per hari lebih dari 3,8 juta orang. Kini memang kenaikan kasus akibat varian omikron di dunia relatif lebih dapat dikendalikan. Jumlah kasus per hari sudah turun lebih dari 3 juta menjadi sekitar 800 ribu. Tetapi, tentu jumlahnya masih cukup banyak dan dunia tetap masih dalam situasi pandemi hingga saat ini.
Kita ingat bahwa pada 2 Maret 2020 Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama warga Indonesia yang terkonfirmasi positif covid-19. Kemudian, situasi terus berkembang dan pada 21 Mei 2022 sudah ada 6.052.363 warga kita yang terkonfirmasi covid-19, dan dengan sedih ada 156.519 warga kita yang wafat karena penyakit itu.
Sejauh ini kita sudah mengalami tiga gelombang naik turun covid-19. Pertama, pada Januari 2021 dengan kasus puncak lebih dari 13 ribu orang sehari lalu kedua pada Juli 2021 dengan kasus sekitar 54 ribu sehari. Gelombang ketiga, yang berhubungan dengan varian omikron, mencapai puncaknya pada Februari 2022, dengan kasus sekitar 64 ribu orang seharinya. Tentu kita bersyukur bahwa kasus kemudian melandai, data 21 Mei menunjukkan 263 kasus baru dan 6 orang kematian.
Sejalan dengan melandainya kasus, kita ketahui bersama bahwa pada 17 Mei 2022 pemerintah memutuskan untuk melonggarkan kebijakan pemakaian masker. Kalau masyarakat sedang beraktivitas di luar ruangan, atau di area terbuka yang tidak padat orang, diperbolehkan untuk tidak menggunakan masker. Kepada kegiatan di ruangan tertutup dan transportasi publik, tetap harus menggunakan masker.
Masyarakat yang masuk kategori rentan, lansia, atau memiliki komorbid juga tetap disarankan untuk menggunakan masker saat beraktivitas. Pelaku perjalanan dalam negeri dan luar negeri yang sudah mendapatkan dosis vaksinasi lengkap sudah tidak perlu lagi untuk melakukan tes swab PCR dan antigen.
Sehubungan kebijakan baru tentang masker itu, ada lima hal yang dapat disampaikan. Pertama, memang kasus kita sudah melandai dan angka kepositifan serta reproduksi sudah rendah. Juga, di banyak negara sudah banyak yang melonggarkan pemakaian masker di luar ruangan. Kedua, tentu kebijakan baru ini perlu monitor saksama, antara lain dengan meningkatkan jumlah tes sehingga kalau ada kenaikan kasus, kebijakan dapat dievaluasi. Ketiga, juga perlu peningkatan pemeriksaan whole genome sequencing yang dapat mendeteksi kalau-kalau ada varian baru, atau subvarian omikron seperti BA4 dan BA5, yang bahkan sudah terdeteksi di negara tetangga kita.
Keempat, kita tahu ada tiga kemungkinan skenario varian covid-19 di dunia yang perlu diperhitungkan, kalau-kalau terjadi pada bulan-bulan mendatang. Skenario pertama ialah skenario dasar (base scenario), situasi tetap terkendali dan masih memerlukan vaksinasi (dan booster) berulang.
Skenario kedua ialah skenario terbaik (best scenario), keadaan jadi jauh lebih baik dan ringan daripada sekarang. Tetapi, juga mungkin ada skenario ketiga, yaitu skenario terburuk (worst scenario), yang varian baru lebih mudah menyebar dan lebih parah pula. Bahkan, mungkin perlu penyesuaian jenis vaksin. Tentu, kita harapkan skenario yang pertama atau yang kedua yang terjadi, jangan sampai yang ketiga. Skenario apa yang akan terjadi, tentunya akan menentukan begaimana kebijakan pelonggaran pemakaian masker dan pemberlakuan tes.
Hal kelima, tentang kebijakan pelonggaran pemakaian masker ini, dapat kita lihat pula keadaan di negara lain. Di New York, Amerika Perkumpulan, misalnya, di tempat terbuka tidak usah lagi pakai masker, tetap saja ada sejumlah orang yang pakai masker. Sementara itu, di ruangan tertutup yang masih harus pakai masker (kereta api dan bus) serta ruang lain dengan kebijakan setempat serupa (restoran, tempat pertunjukan, dll), masih ada juga orang yang tidak pakai masker.
Lampau, pada 16 Mei 2022 Otoritas Kesehatan New York mengeluarkan kebijakan baru tentang pemakaian masker itu karena ada situasi yang mereka sebut high level of covid-19 alert. Situasi itu berdasar pada peningkatan angka jumlah kasus, juga angka kunjungan ke rumah sakit serta bertambahnya keterisian tempat tidur (bed occupoancy rate/BOR).
Dari lima hal di atas, jelaslah bahwa kebijakan pelonggaran yang sudah diputuskan perlu diawasi implementasinya dengan saksama. Juga, indikator epidemiologis serta kesehatan masyarakat lain perlu dimonitor ketat dan kalau ada kecenderungan ke arah perburukan, pelonggaran harus segera dievaluasi. Kemudian, apa-apa yang akan dilakukan di waktu-waktu mendatang, baik dalam hal pelonggaran, penggalakan vaksinasi, maupun kesiapan kemungkinan ada lagi kenaikan kasus dan lain-lain, memang harus selalu diputuskan berdasar kajan dan bukti ilmiah ilmu kesehatan yang sahih.
Hepatitis yang belum diketahui penyebabnya
Di dalam kita menghadapi pandemi covid-19, dalam beberapa waktu ini ada pula berbagai penyakit menular yang perlu dapat perhatian pula. Kita ketahui bersama bahwa Inggris pada 5 April 2022 melaporkan adanya 10 kasus hepatitis akut yang tidak diketahui penyebabnya pada anak-anak umur 11 bulan sampai 5 tahun, yang tadinya sehat-sehat saja. Laporan itu kemudian oleh WHO dicantumkan dalam disease outbreak news (DONs), yang lalu diperbarui lagi pada 27 April 2022 dengan data berbagai negara lain.
Tiba sekarang, belum jelas apa penyebab hepatitis akut itu, nampaknya masih perlu waktu untuk memastikannya. Memang banyak yang membicarakan kemungkinan adenovirus. Tetapi, masih ada setidaknya lima hal yang belum jelas sehingga belum dapat dipastikan sepenuhnya sebagai penyebab. Pertama, adenovirus memang ditemukan pada sebagian besar pasien, tapi tidak semua kasus. Kedua, sejauh ini pasien biasanya positif adenovirus berdasar pemeriksaan darah, itu pun kadarnya sebagian besar ialah rendah saja.
Ketiga, sebagian sampel pada biopsi hati justru hasilnya sejauh ini masih negatif. Keempat, perangai adenovirus biasanya tidak menimbulkan penyakit berat dan memerlukan transplantasi hati. Kelima, untuk membuktikan ada-tidaknya semacam perubahan pada adenovirus yang ditemukan pada pasien, tentu perlu pemeriksaan whole-genome sequencing, yang sejauh ini hasilnya masih amat terbatas sehingga belum dapat dianalisis memadai untuk mengambil keputusan yang pasti.
Kasus hepatitis akut ini juga sudah dilaporkan di negara kita, bahkan sampai menimbulkan kematian. Dalam hal ini, ada lima hal yang perlu dilakukan sekarang, disertai satu harapan pula. Hal pertama ialah meningkatkan kepekaan (alertness) para orangtua untuk mengenali kecurigaan gejala awal dan membawa anak mereka ke fasilitas pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan juga harus peka dan mengenal dengan baik penyakit itu agar tidak luput dalam diagnosis mereka.
Kedua, harus tersedia pemeriksaan laboratorium memadai atau setidaknya sistem rujukan laboratorium yang baik. Laboratorium diperlukan untuk memastikan ada-tidaknya virus hepatitis A sampai E pada pasien, dan kalau tidak ada, segera dilakukan pemeriksaan laboratorium lanjutan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan lain.
WHO merekomendasikan pemeriksaan darah, serum, urine, feses, sampel saluran napas, dan bila mungkin biopsi hati, semuanya untuk pemeriksaan karakteristik virus secara mendalam, termasuk sequencing.
Hal ketiga yang harus dilakukan ialah penyelidikan epidemiologis yang amat mendalam (termasuk sampai pada hewan dan lingkungan), dari semua kasus yang dilaporkan di negara kita. Hal keempat ialah terjaminnya sistem surveilans yang terjaga baik untuk seluruh pelosok Nusantara. Hal kelima, antisipasi pelayanan penanganan pasien, sampai ke kemungkinan transplantasi hati, kalau diperlukan. Satu harapan kita, mudah-mudahan Indonesia dapat menjadi salah satu negara, yang menemukan jawaban tentang penyebab hepatitis akut yang sekarang banyak dibicarakan ini. Tentu, dengan melakukan analisis amat mendalam dan kemudian melaporkannya ke dunia ilmiah internasional.
Dalam beberapa hari ini, juga dibicarakan tentang penyakit cacar monyet (monkey pox) yang bermula dari kasus di Eropa, antara lain Inggris, Portugal, Swedia, dan Spanyol. Tiba 21 Mei 2022, WHO melaporkan ada sekitar 80 kasus di dunia dari 11 negara, dengan 50 kasus lain masih dalam kategori pending karena hasil laboratoriumnya belum final.
Kepada Amerika Perkumpulan, sampel dugaan pasien pertama dari New York ini dikirm ke Laboratorium Kesehatan Masyarakat Kota untuk tes awal dan kalau positif, akan dikirim ke Laboratorium Centers for Disease Control and Prevention (CDC) untuk memastikan apakah memang pasien ini terkonfirmasi penyakit cacar monyet. Ini salah satu bentuk sistem rujukan berjenjang yang baik juga diterapkan di negara kita. Amerika Perkumpulan sekitar 20 tahun yang lalu pernah mengalami outbreak cacar monyet yang waktu itu menularkan sampai 47 kasus dan diduga berhubungan dengan importasi tupai, dan atau hewan pengerat lain dari Ghana, yang kemudian menulari hewan setempat.
One health
Salah satu aspek utama dalam pengendalian penyakit menular ialah pendekatan one health. Data menunjukkan 60% patogen penyebab penyakit pada manusia ternyata berhubungan dengan hewan peliharaan atau hewan liar. Kemudian, 75% dari patogen yang baru muncul juga berasal dari hewan. Lampau, 80% patogen dalam kaitan bioterorisme juga berhubungan dengan hewan. Juga, akan dibutuhkan lebih dari 70% tambahan protein hewani untuk konsumsi manusia sampai 2050 mendatang.
Secara umum, one health berarti suatu pendekatan untuk merancang dan mengimplementasikan program, kebijakan, legislasi, dan riset. Berbagai sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan, pertanian, dan lingkungan berkomunikasi dan bekerja bersama untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang makin baik.
Kepada menanggulangi masalah yang ada, yang merupakan interaksi manusia, hewan, dan lingkungan, memang digunakan konsep one health sebagai pendekatan kolaboratif dalam pelayanan kesehatan yang dilaksanakan secara terpadu lintas sektor terkait dengan bersama masyarakat. Pendekatan one health, terutama diterapkan dalam penanggulangan penyakit zoonosis dan penyakit infeksi emerging untuk mencapai kesehatan yang optimal bagi manusia, hewan, dan lingkungan.
One health juga mencakup area keamanan pangan, penyakit yang terabaikan (neglected tropical diseases), dan resistensi antimikroba (antimicrobial resistance /AMR). Pendekatan one health perlu diterapkan di tingkat lokal, nasional, dan global, yang melibatkan organisasi international terkait seperti WHO, Food and Agriculture Organization (FAO), badan kesehatan hewan dunia OIE, dan United Nations Environment Programme (UNEP).
Di negara kita, penerapan one health di tingkat nasional harus melibatkan lintas sektor terkait yang menangani kesehatan manusia, kesehatan hewan termasuk satwa liar, dan aspek lingkungan, baik berbagai kementerian terkait, dan para pakar profesi masing-masing.
Kita juga menyambut baik bahwa dalam rangka Presidensi G-20 Indonesia akan dilakukan pertemuan khusus one health ini dalam bentuk side event. Kita harapkan agar hasil pertemuan yang sudah disiapkan amat cermat ini juga menjadi bahan penting dan sumbangsih Presidensi Indonesia dalam penerapan konsep one health di dunia.
Sebagai penutup, dapat disampaikan bahwa untuk mengendalikan penyakit menular di negara kita, kita harus berperan aktif dalam kesehatan dunia. Sejak lama, Indonesia sudah dikenal memegang perang penting dalam kaitan IHR di tingkat global dan berbagai program pengendalian penyakit menular di dunia, dan hal ini harus terus dipertahankan.