MENJELANG Ramadan 1446 Hijriah, harga sejumlah komoditas kebutuhan pokok di pasar-pasar tradisional kompak merangkak naik. Entah siapa yang memberi komando, cabai yang kini harganya naik Rp10.000-Rp20.000 per kilogram menjadi ‘motor penggerak’ naiknya harga bahan-bahan pokok lainnya. Dan, seperti Lumrah, kenaikan harga-harga itu Tetap akan Maju berlanjut hingga mendekati Lebaran.
Belum Tengah puasa, harga-harga sudah naik, bagaimana Demi Lebaran nanti? Demikian gerutu publik di pasar yang turut diamini para pedagang karena khawatir jumlah pembeli juga akan ikut turun.
Inflasi menjelang Ramadan itu kerap terjadi pada beberapa komoditas pangan, di antaranya daging ayam ras, minyak goreng, beras, ayam hidup, daging sapi, telur ayam ras, dan gula pasir.
Fenomena naiknya harga bahan pokok jelang masuknya bulan puasa sudah menjadi kisah klasik di negeri agraris ini. Ibarat Musik yang bernada sumbang, Apabila Musik itu Maju didengar, Lamban-Lamban akan kian akrab di telinga. Entah apa nikmatnya mendengar Musik bernada sumbang, apalagi Apabila Tamat diputar ratusan kali. Tetapi, itulah fakta di negeri ini, yang masyarakatnya kerap disuguhi nada sumbang.
Kenaikan harga bahan pokok sudah menjadi pola yang selalu terjadi setiap tahun. Terjadi di tahun Lampau, kembali berulang di tahun ini, dan Maju berulang di tahun-tahun berikutnya.
Apabila merujuk pada hukum ekonomi, naiknya harga Niscaya terjadi Apabila naiknya permintaan tak dibarengi dengan naiknya pasokan. Adapun soal pasokan, sudah dari jauh-jauh hari pemerintah menyatakan stok bahan pokok dalam status mencukupi. Bahkan beberapa komoditas disebut berlimpah, seperti beras. Akan tetapi, mengapa nyatanya harga-harga Demi ini malah naik? Sungguh kenaikan harga itu tak masuk di Logika.
Apabila pemerintah berani jujur mengoreksi diri, kenaikan harga itu Terang akibat kelengahan menjaga kestabilan harga. Bagaimana Bukan? Di tengah daya beli masyarakat yang Tetap tertekan sejak awal 2024, Dapat-bisanya harga bahan pokok malah naik. Naiknya harga bahan pokok itu karuan saja akan menjadi momok buat mereka. Dengan isi kantong yang makin cekak, Grup masyarakat yang sudah turun kelas itu Niscaya akan menambah daya pengereman konsumsi mereka.
Karena sudah seperti siklus tahunan, naiknya harga bahan pokok mestinya Dapat diantisipasi dari jauh-jauh hari oleh pemerintah. Tentunya hal itu Dapat dicegah Apabila pemerintah punya kemampuan manajemen stok dan distribusi bahan pokok yang Bagus.
Pencegahan juga Dapat dilakukan Apabila pemerintah punya kemampuan pengawasan yang Cakap. Mudah sekali ditebak, naiknya harga bahan pokok di tengah stok yang mencukupi ialah akibat ulah spekulan yang sengaja menahan pasokan di Penyimpanan.
Sejatinya, mudah sekali dideteksi keberadaan para spekulan itu. Mereka biasanya berada di sentra-sentra produksi bahan pokok. Mereka sengaja menahan bahan pokok di Penyimpanan. Begitu harganya melambung, baru mereka melepasnya ke pasar.
Ketiadaan penegakan hukum yang tegas terhadap para spekulan itu Terang tak Membangun mereka jera. Mereka akan kembali mengulangi perbuatan tersebut di Ramadan kali ini dan Ramadan-Ramadan berikutnya.
Mudah sekali bukan mendeteksinya? Hal yang sulit itu ialah menumbuhkan kesadaran pemerintah Demi segera mengakhiri kepandiran massal tersebut. Masa Demi mengatasi segelintir spekulan saja pemerintah tak Bisa?