DALAM negara demokrasi, kehadiran lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) sangatlah penting. Ia berfungsi sebagai pengawal konstitusi. Para hakim yang bertugas di institusi itu ibarat wasit yang bertugas mengawal agar kehidupan bernegara sesuai tata tertib yang diamanatkan dalam konstitusi. Bukan boleh ada aturan yang bertentangan dengan konstitusi.
Pada poin inilah MK berhak menyidangkan judicial review atau peninjauan kembali jika ada anggota masyarakat yang merasa berkeberatan atas suatu peraturan atau undang-undang. Misalnya yang terjadi baru-baru ini terhadap batasan usia calon presiden dan calon wakil presiden, seperti yang tertera dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Pahamn 2017 tentang Pemilihan Lumrah soal batasan usia minimal capres-cawapres yang ditetapkan minimal 40 tahun.
Sejak awal, kasus ini telah menyita perhatian publik, termasuk mantan Ketua MK Mahfud MD yang beranggapan MK sebetulnya tak berwenang mengubah batasan usia capres dan cawapres. Menurut Mahfud, hal itu hanya boleh ditentukan atau diubah oleh DPR dan pemerintah selaku positive legislator
.Tetapi, Senin (16/10) kemarin, MK telah memutus perkara itu. Dalam sidang itu, MK menolak gugatan uji materi batas usia minimal capres dan cawapres diturunkan menjadi 35 tahun seperti diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Tetapi, anehnya dalam sidang tersebut MK juga mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Pahamn 2017 tentang Pemilihan Lumrah terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru. MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun, kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.
Putusan itu menimbulkan kesan untuk memuluskan langkah putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjabat sebagai Wali Kota Solo untuk dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Apalagi Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman merupakan ipar Jokowi. Anwar seharusnya tak boleh ikut menyidangkan karena permohonan nomor 90 (yang diajukan mahasiswa Universitas Surakarta) secara eksplisit menyebut nama Gibran sebagai contoh kepala daerah yang berhasil.
Empat hakim konstitusi yang melakukan dissenting opinio (pendapat yang berbeda) menyampaikan keganjilan-keganjilan proses keluarnya putusan tersebut. Hakim konstitusi Saldi Isra menyebut MK masuk jebakan politik seusai mengabulkan gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang bersifat open legal policy
.Putusan MK itu membuat kondisi politik tak kondusif menyambut Pemilu 2024. Semestinya Ketua MK Anwar Usman legawa mundur atau diperiksa oleh Mahkamah Kehormatan MK karena dugaan pelanggaran etik.