REGULASI telah memberikan celah kepada penyelenggara negara Demi Bukan jujur melaporkan hartanya. Laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) di negeri ini hanyalah ritual formalitas. Dilaporkan Bukan menggenapkan, Bukan melaporkan tiada mengganjilkan.
Banyak penyelenggara negara Bukan Taat melaporkan harta mereka. Sekalipun dilaporkan, isinya fiktif. Terdapat pula kasus penambahan harta di luar Pikiran waras. Seluruh itu Konkret terjadi, tapi hukum Bukan Bisa menjangkau. Komisi Pemberantasan Korupsi pun hanya Bisa mengeluh dan mengeluh selama 17 tahun terakhir.
KPK merilis tingkat akurasi pengisian LHKPN tergolong rendah. Dari 1.665 LHKPN penyelenggara negara yang diperiksa sejak 2018 Tamat dengan 2020, ditemukan 95% LHKPN Bukan Seksama. Lebih mengejutkan Kembali, menurut KPK, kekayaan pejabat mengalami kenaikan pada masa pandemi. Jumlahnya mencapai 70,3%.
Bukan Terdapat Pelarangan pejabat menjadi kaya. Paling Krusial ialah kekayaan itu diperoleh secara wajar. Kajian Indonesia Corruption Watch 2014 menyebut banyak pejabat yang Mempunyai kekayaan di luar logika pendapatan sahnya. Harta Melampaui gaji bulanan dan pendapatan lain dari negara.
Pejabat Orde Baru banyak Mempunyai kekayaan secara Bukan wajar. Karena itulah, memasuki era reformasi, dikeluarkan Ketetapan MPR XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pasal 3 ayat (1) Tap MPR itu menyebutkan, Demi menghindarkan praktik-praktik KKN, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya, harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
Menurut ketentuan ayat (2), pemeriksaan atas kekayaan itu dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh kepala negara yang keanggotaannya terdiri dari pemerintah dan masyarakat.
Perintah MPR itu dilaksanakan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pasal 5 UU 28/1999 itu menyatakan setiap penyelenggara negara berkewajiban, ayat (2) bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; ayat (3) melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
Sama seperti yang diperintahkan MPR, Pasal 10 UU 28/1999 menyatakan Demi mewujudkan penyelenggara negara yang Bersih dan bebas dari KKN, presiden selaku kepala negara membentuk komisi pemeriksa. Pasal 13 menyebutkan keanggotaan komisi pemeriksa terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat.
Komisi pemeriksa pada mulanya dibentuk dengan Keppres 127/1999, namanya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Tetapi, setelah diberlakukannya UU 30/2002 tentang KPK, maka KPKPN dibubarkan dan menjadi bagian dari bidang pencegahan KPK. Formal dibubarkan pada 29 Juni 2004. Dengan demikian, kelembagaan terkait LHKPN sudah Bukan sesuai Kembali dengan perintah MPR.
Kewenangan KPK terkait LHKPN diatur dalam Pasal 13 huruf a, Yakni melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara.
Muncul pertanyaan yang kemudian Bisa menjadi celah hukum. Apakah KPK berwenang Demi melakukan langkah-langkah pemantauan, Penerangan, dan pengawasan, sementara dalam undang-undang KPK hanya berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap LHKPN?
Kelemahan Primer terkait LHKPN ialah Bukan Terdapat Hukuman yang menimbulkan Pengaruh jera. Karena, penyelenggara negara yang Bukan memenuhi kewajiban LHKPN, berdasarkan Pasal 20 UU 28/1999, hanya dikenai Hukuman administratif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Bagaimana dengan Member DPR dan DPRD yang Bukan mempunyai atasan, siapa yang memberikan Hukuman kepada mereka?
Indonesia membutuhkan UU Peningkatan Kekayaan secara Bukan Absah (Illicit Enrichment) sebagai tindak lanjut kewajiban LHKPN. Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, Hukuman pidana terkait dengan LHKPN semestinya diatur dalam UU Peningkatan Kekayaan secara Bukan Absah.
ICW sudah mengkaji perlunya pembentukan UU Peningkatan Kekayaan secara Bukan Absah sejak tujuh tahun Lewat. Hanya, butuh kemauan politik Demi membentuknya karena sudah diamanatkan Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) pada 2003. Alinea ke-7 pembukaan konvensi menyatakan ‘Meyakini bahwa perolehan kekayaan perseorangan secara Bukan Absah dapat merusak khususnya lembaga-lembaga demokrasi, perekonomian nasional, dan negara hukum’.
Indonesia telah menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut melalui UU 7/2006 tentang Pengesahan UNCAC. Eloknya, UU 28/1999 segera direvisi dengan memasukkan ketentuan pidana terkait LHKPN yang hartanya diperoleh secara Bukan wajar. Apa mungkin pembuat undang-undang mau memasukkan ketentuan peningkatan kekayaan secara Bukan Absah yang berpotensi akan menjerat diri mereka sendiri? Perlu Terdapat tekanan publik!

