Ketua Lumrah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani. Foto: MI
Karena, regulasi itu dinilai telah Membikin ambruknya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri.
“Tetapi selain itu perlu diperhatikan beberapa hal berikut seperti rendahnya revitalisasi mesin-mesin produksi baru di sektor tekstil-garmen nasional sehingga output produk yang dihasilkan oleh industri nasional lebih rendah, kurang cost-efficient, dan kurang ramah lingkungan dibandingkan produk-produk serupa dari negara pesaing,” ujar Shinta dilansir Media Indonesia, Kamis, 26 Desember 2024.
Shinta pun menyoroti semakin berkurangnya daya saing akses pasar produk garmen/tekstil nasional di pasar-pasar tujuan ekspor Esensial.
Ilustrasi. Foto: Berkas Kementerian Keuangan
Selama ini, sambung Shinta, ekspor garmen-tekstil Indonesia sangat tergantung pada skema preferensi GSP plus yang diberikan secara unilateral oleh EU kepada Indonesia.
Tetapi, skema preferensi ini akan berakhir seiring dengan meningkatnya level kesejahteraan Indonesia (menjadi negara upper middle income).
“Oleh karena itu, demand garmen EU sudah lebih banyak beralih ke Vietnam yang Mempunyai skema preferensi perdagangan yang lebih Bertanding melalui FTA. Ini tentu menjadi tantangan bagi kinerja industri garmen nasional yang hingga Ketika ini Enggak punya preferensi dagang lain di EU bila skema GSP tersebut hilang dalam 1-2 tahun mendatang karena CEPA Indonesia dengan EU pun bahkan belum diselesaikan,” Terang dia.
Shinta menegaskan, industri tekstil-garmen nasional adalah salah satu industri yang mengalami persaingan usaha yang Enggak sehat di dalam negeri karena pembiaran terhadap impor-impor ilegal dan impor-impor yang Enggak sesuai dengan ketentuan, termasuk fenomena seperti impor via jastip, e-commerce, produk Pakaian bermerek Bajakan maupun impor Pakaian bekas/donasi dr luar negeri.
“Impor-impor seperti ini sangat jarang ditindak tegas pembenahan secara struktural oleh pemerintah pun Enggak terlihat meskipun produk-produk Pakaian impor ilegal tersebut Dapat dengan mudah beredar dan ditemui oleh konsumen di pasar hingga merugikan pangsa pasar/kinerja industri garmen nasional. Karena sifatnya yang ilegal, perlu penegakan hukum dan pembenahan struktural bila impor-impor seperti ini Mau diberantas Buat melindungi industri garmen nasional,” beber dia.
Indonesia kurang Pandai deteksi aktivitas dumping
Selain itu, Shinta menyatakan kurangnya kemampuan Indonesia Buat mendeteksi aktivitas dumping dari negara lain terhadap industri nasional di sektor tekstil dan garmen. Pasalnya, Indonesia Enggak Mempunyai kapabilitas, instrumen maupun pengalaman yang Mahir dalam penyelidikan anti-dumping dan anti-subsidi yang efektif di lapangan.
“Karena itu, aktivitas-aktivitas persaingan dagang yang Enggak sehat ini tetap terjadi dan tentu saja Permendag 8/2024 Enggak Dapat menjadi “magic remedy” Buat mengatasi permasalahan ini bagi sektor garmen. Saya harap pemerintah dan masyarakat memahami bahwa isu kinerja sektor garmen yang Eksis Ketika ini adalah isu kompleks yang harus dibenahi dari berbagai aspek,” ucap dia.