OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) dan pelaku industri jasa keuangan terus berupaya secara konsisten untuk memperkuat dan mengembangkan industri dana pensiun (dapen) menjadi lebih kontributif terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Beberapa program kebijakan telah dijalankan OJK antara lain meningkatkan permodalan dan pendalaman pasar, memperkuat governansi dan manajemen risiko, mengembangkan ekosistem dapen sesuai standar internasional.
Biaya pensiun berkontribusi besar terhadap aset sektor jasa keuangan. Hingga Juni 2024, total aset dana pensiun mencapai Rp1.448 triliun atau tumbuh 7,58% secara tahunan. Seperti diungkapkan Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Biaya Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono.
Baca juga : OJK Konsentrasi Godok Sistem Biaya Pensiun Pekerja Informal
Total jumlah tersebut terbagi atas aset program pensiun wajib sebesar Rp1.075,58 triliun dan Rp372,70 triliun aset program pensiun sukarela.
Total jumlah peserta dana pensiun menembus 28,39 juta. Terdapatpun tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata kumulatif atau compounded annual growth rate (CAGR) aset dana pensiun pada periode 2020-2023 mencapai 9,95%.
“Total dana pensiun yang sebesar Rp1.448 triliun berkontribusi signifikan terhadap aset sektor jasa keuangan. CAGR pun tumbuh cukup signifikan yakni 7,8% secara tahunan,” ujar Ogi dalam Executive Perhimpunan Media Indonesia ‘Roadmap Biaya Pensiun 2024-2028 Lebih Kuat, Kukuh, Tepercaya’ di Jakarta, Senin (2/9).
Sementara, aset dana pensiun Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) 2023 mencapai 6,73%.
Baca juga : Peta Jalan OJK Menuju Biaya Pensiun Berkelanjutan
Ogi menyampaikan penetrasi dana pensiun Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara-negara di ASEAN. Aset dana pensiun per PDB Indonesia hanya 6,73%. Sementara, di Singapura angkanya sebesar 83,73%, Malaysia sebesar 61,20%.
“Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN kita juga masih cukup rendah. Bahkan di Eropa seperti di Islandia, Belanda, Australia itu sudah di atas 100% dari PDB,” ujarnya.
Salah satu yang digalakkan ialah percepatan transformasi digital program pensiun, termasuk saluran distribusi untuk mendorong perluasan akses dana pensiun.
Baca juga : Pos Indonesia dan Asabri Perkuat Layanan Pembayaran Biaya Pensiun
‘Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Biaya Pensiun Indonesia 2024-2028’ akan dijalankan dalam kurun waktu 2024 hingga 2028.
Ini diawali dengan fase penguatan fondasi (fase pertama), dilanjutkan fase konsolidasi dan menciptakan momentum (fase dua), dan diakhiri dengan fase penyesuaian dan pertumbuhan (fase tiga).
Fase 1 penguatan fondasi akan dilakukan pada 2024-2025. Hal itu akan dilakukan dengan (1) meningkatkan tingkat literasi dan iklusi dana pensiun; (2) manajer investasi diizinkan menjadi pendiri dana pensiun lembaga keuangan (DPLK); (3) penerapan pengelolaan aset dan kewajiban; dan (4) penerapan tata kelola, risiko, dan kepatuhan (GRC) dalam Biaya Pensiun.
Kemudian fase 2 konsolidasi dan penciptaan momentum dilaksanakan pada 2026-2027. Fase ini meliputi (1) digitalisasi dana pensiun; (2) konversi program pensiun sukarela dari manfaat pasti menjadi iuran pasti; (3) investasi berdasarkan profil risiko (life cycle fund); dan (4) penerapan database peserta.
Baca juga : Langkah Menabung Biaya Pensiun, ini Opsi Investasi Terbaik
Terakhir fase 3 penyesuaian dan pertumbuhan dilakukan pada 2028. Itu dilakukan dengan (1) meningkatkan jumlah peserta dari pekerja informal; (2) ketersediaan instrumen investasi jangka panjang untuk Biaya Pensiun; dan (3) mencapai replacement ratio dari 9% saat ini memjadi 40% (target ILO).
Literasi dan inklusi
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perasuransian, Penjaminan dan Biaya Pensiun OJK Djonieri mencatat hingga akhir 2023, aset program pensiun wajib yang terdiri dari aset BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp622,25 triliun atau meningkat 13,36% secara tahunan.
Selanjutnya, total aset Asabri dan Taspen masing-masing sebesar Rp44,72 triliun dan Rp369,55 triliun. Sementara, total aset program pensiun sukarela sebesar Rp368,7 triliun sampai akhir 2023.
Selanjutnya, untuk realisasi tingkat densitas industri dana pensiun di Indonesia pada akhir 2023 mencapai 18,94% dari 147,7 juta total jumlah angkatan kerja. OJK menargetkan dalam lima tahun ke depan bisa bertumbuh 2%.
“Dalam lima tahun ke depan target kita menuju tingkat densitas sebesar 20%,’’ ujar Djonieri.
Direktur Eksekutif Asosiasi Biaya Pensiun Lembaga Keuangan Indonesia (DPLK) Syarifudin Yunus menuturkan bahwa yang menjadi tantangan ke depan ialah tingkat literasi dan inklusi dana pensiun yang masih rendah. Menurutnya perlu ada pemain baru dan cara beda dalam mengedukasi akses dana pensiun untuk masyarakat.
“Dari survei OJK terakhir di 2022, tingkat inklusi dana pensiun cuma 5,42%, sementara literasinya 30%. Ini menjadi tantangan ke depan untuk meningkatkan hal tersebut,” katanya.
Yunus menilai masyarakat yang mengikuti dana pensiun atas kesadaran individual hanya 20%, sisanya 80% diikutsertakan oleh perusahaan. Data lainnya menyebutkan dengan angkatan kerja sebanyak 142 juta, sebanyak 90% menyatakan tidak siap berhenti bekerja.
“Mayoritas pekerja di Indonesia tidak siap untuk berhenti bekerja hari ini, apalagi pensiun. Makanya, kasus-kasus pemutusan hubungan kerja itu selalu menguat direspons masyarakat,” sebutnya.
Arah pengembangan
Terdapat 3 arah pengembangan dana pensiun secara global. Yakni digitalisasi di sektor Biaya Pensiun, Program Pensiun Pekerja Kebiasaanl, dan Pergeseran Manfaat Niscaya ke Iuran Niscaya. Digitalisas di sektor Biaya Pensiun bertujuan untuk mendorong perluasan akses dana pensiun dan mendukung pengelolaan dana pensiun lebih efisien.
Lewat, pada program pensiun pekerja normal dilatarbelakangi oleh struktur ketenagakerjaan didominasi oleh sektor informal, namun belum banyak, tersedia produk yang kompatibel dengan karakteristik pekerja sektor informal. Poin terakhir menjelaskan bahwa pergeseran tren dari skema program pensiun dari defined benefit menjadi defined contribution.
Secara garis besar ada dua peranan penting dan strategis dana pensiun pada tatanan perekonomian nasional. Yakni menurut perspektif masyarakat dan makro.
Menurut perspektif masyarakat, dana pensiun itu adalah sarana untuk consumption smoothing pada saat peserta dana pensiun tidak berada dalam usia produktif.
Dan sebagai solusi finansial untuk memutus rantai sandwich generation. Lewat menurut perspektif makro, Biaya Pensiunn berperan sebagai investor institutional yang dapat mendorong perekonomian nasional melalui penyediaan sumber pembiayaan jangka panjang.
Tingkat partisipasi
Sementara itu, Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Kholilul Rahman menjelaskan dengan asumsi tingkat pertumbuhan pendapatan masyarakat Indonesia yang dipatok 3,8%, akan memerlukan waktu sekitar 30 tahun untuk mencapai tingkat partisipasi dana pensiun seperti di Amerika Perkumpulan.
Tetapi, jika Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan menjadi 7,5% per tahun, maka dapat mencapai tingkat partisipasi yang sama dalam waktu sekitar 15 tahun.
“Tapi, kalau kita misalnya mau mencapai level Amerika Perkumpulan dalam waktu 10 tahun, maka dibutuhkan pertumbuhan dari pendapatan masyarakat 11%,” terangnya.
Dalam skenario lain, untuk mencapai tingkat partisipasi pensiun setara dengan Jepang dalam 20 tahun, Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan pendapatan tahunan sebesar 5,48%. Buat mencapai tingkat yang sama dalam waktu hanya 10 tahun, pertumbuhan pendapatan tahunan perlu mencapai 11,27%.
Buat mengatasi tantangan ini, pemerintah atau swasta dapat memperkenalkan berbagai skema pensiun untuk memperluas partisipasi. Managing Partner KKA Halim & Rekan – Milliman Indonesia Halim Gunawan menambahkan proporsi dari mahasiswa yang mempunyai aset kripto lebih tinggi daripada proporsi memiliki asuransi dan dana pensiun.
“Artinya, memang peningkatan literasi kepada generasi muda perlu dilakukan,” pungkasnya. (S-1)